🔆Satu Hari Bersamamu🔆

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Kita sudah terikat benang indah melebihi emas. Daripada melelahkan diri untu menyangkal, mengapa tak kita mulai merajut segalanya dengan cinta yang halal

***
Hidden Paradise by Galuch Fema


Happy reading jangan lupa vote

💐Sebelum membaca wajib sediakan camilan seperti wafer karena di part ini bakal bikin teman-teman laper. Anak Teman Satu Atap mana nih suaranya, silakan absen dulu.💐

Perkenalkan dulu cast cerita ini

1. Satria

2. Astari


💐💐💐💐💐

Astari menahan napasnya. Pura-pura menyapukan pandangan ke ruangan ini, kemudian menghembus napas pelan, bersusah payah mengusir sesuatu yang menjalar panas di pipinya.

"Tidak salah dengar?"

Astari berharap ini adalah gurauan semata karena Satria bisa secepat ini belajar mencintainya. Padahal baru beberapa menit lalu menyebutkan nama perempuan lain.

Ada bongkahan besar yang seolah mengganjal dalam hati, membuatnya tiba-tiba merasakan atmosfer di dadanya mendadak pengap padahal barusan laki-laki itu melambungkan namanya.

Laki-laki itu terkekeh geli karena ungkapan cintanya tak berbuah manis karena Astari ragu bahkan tak percaya dengan dirinya.

"Kapan aku bohong?"

Astari berpikir keras sambil mengingat yang sudah-sudah. Lelaki misterius seperti Satria pasti banyak menyembunyikan sesuatu darinya.

"Aku bisa menebak jika banyak yang kamu sembunyikan dari aku."

Satria tersenyum dan ia pun memajukan wajahnya menjadi lebih dekat dengan Astari sehingga perempuan itu menahan napas karena parfum aroma mint yang dipakai laki-laku itu terasa menusuk hidungnya.

"Tapi aku tak bisa berbohong untuk perasaan aku."

Sebuah tiupan segar dari mulut Satria mengenai pipi Astari membuat pipi di sana semakin merah. Sebuah bantal berbentuk hati warna pink yang sedari tadi digunakan Satria mengganjal kepala sekarang berpindah ke tangan Astari.

"Aku mandi dulu. Setelah itu kita pergi," sahut Satria berdiri sambil berpegangan ranjang.

Astari mengernyitkan kening tanda tak paham. Ia meraba ucapan barusan dengan hati-hati.

"Pergi ke mana?"

Satria yang sudah berada di ambang pintu kamar mandi dan di bahunya sudah melingkar handuk warna putih langsung menatap Astari sambil tersenyum kemudian mengerling dengan nakal.

"Honeymoon, sayang."

Astari membeku sampai tak sadar jika sosok itu sudah masuk kamar mandi, suara pintu di tutup membuatnya sadar dari lamunan.

Hati Astari berdebar tanpa bisa ia hindari, debar yang sama saat seperti dulu. Ia hanya bisa tersenyum sendirian sambil melihat bantal di tangannya. Tulisan di benda itu yang membuatnya tersenyum tak henti.

"I love you?" ucap Astari membaca tulisan itu kemudian mendekapnya dalam pelukan sambil geleng-geleng kepala.

"Seperti ini ya rasanya jatuh cinta pada cinta yang halal," tukasnya setengah berbisik.

Astari pura-pura sibuk menatap laptop ketika pintu kamar mandi terbuka. Ia sebisa mungkin tak menoleh ke arah Satria yang baru muncul. Aroma sabun wangi menyeruak di ruangan ini. Entah berapa botol, dia menggunakannya.

Astari semakin tegang ketika deru langkah itu mendekatinya. Mata ia paksa menatap layar padahal otak sudah tak bisa merekam sampai mana tadi ia mengetik tugasnya.

"Sudah sana mandi!" perintahnya sambil dibarengi handuk yang barusan dipakai sekarang melingkar di leher Astari.

"Seperti tak ada handuk lain saja," dengusnya dalam hati. Terpaksa ia menoleh Satria dengan rambut yang masih basah. Laki-laki itu memakai kaos pendek warna biru gelap. Bawahan menggunakan celana training warna hitam.

"Aku matikan ini dulu," sahut Astari meraih mouse tetapi pergelangan tangannya ditahan oleh Satria sehingga lagi-lagi menatap Satria yang sudah duduk di samping berdampingan dengan dirinya.

"Aku saja yang mematikan."

Benda kecil yang di tangan Astari berpindah ke tangan Satria membuat perempuan itu cemberut.

"Jangan lupa di-save!" perintahnya karena tak mau ketikan hari ini berakhir sia-sia.

"Di delete, kan?" goda Satria sambil terus memperhatikan tulisan di sana.

"JANGAN!!!"

Astari berhenti di depan pintu sambil memberikan tatapan tajam. Bisa runyam jika tugas tak kelar hari ini juga. Bakal kena amuk ibu hamil.

"Iya aku tahu," balas Satria mengalah.

Astari melanjutkan selangkah lagi menuju kamar mandi tetapi lagi-lagi namanya dipanggil membuat ia geleng-geleng kepala. Tahu seperti itu tak ada satu menit layar laptop sudah mati dan tidak dibumbui banyak pertanyaan.

"Apa lagi?"

Suara Astari terdengar menahan kesal. Bagaimana tidak Satria tengah tersenyum mengamati layar di sana.

"Kok ada namaku di tugas kamu? Yakin kamu tidak salah ketik kata?"

Raut wajah Astari langsung berubah merah menahan malu yang sangat luar biasa. Ia tak sadar jika saat posisi genting tadi bisa-bisanya tangannya mengetik nama itu.

"Hapus!" pekik Astari lari masuk ke ruangan di depannya karena saking malunya. Bahkan menutup pintu setengah dibanting kemudian berdiri bersandar di pintu merutuki kebodohannya.

Samar-samar terdengar suara masuk sampai kamar mandi.

"Hapus semua, ya?"

Perempuan itu tak mengindahkan ucapan barusan. Buru-buru membuka kran air hangat untuk memenuhi bathtub, tempatnya membenamkan tubuhnya sambil menenangkan pikirannya.

Untuk setelan hari ini, Astari memakai terusan panjang berwarna Krem motif bunga, kerudung warna senada tetapi warna lebih gelap. Tak lupa memoles wajah agar terlihat lebih cantik, entah mengapa sejak ungkapan Satria barusan membuat Astari bolak-balik menatap cermin dan wajahnya masih sama yaitu merah padahal tak memakai blush on.

"Cepat, mumpung cuaca cerah," ajak Satria sudah lengkap dengan jaket dan masker warna gelap.

"Bukannya kita di sekitar area sini saja, kan?"

Astari kebingungan karena Satria sendiri sudah mengeluarkan kunci mobil dari tas selempang bahunya. Sayangnya laki-laki itu tak menjawab, dengan isyarat mata menyuruh Astari untuk segera keluar dari home stay.

Tiba di anak tangga saat mereka turun, Satria melirik Astari sekilas kemudian menyapu pandangan di sekitar yang sudah ramai orang-orang untuk tamasya.

"Your hand."

Astari terkejut, ia menghadapkan telapak tangan ke atas dan mata dengan teliti melihat sela-sela jari, siapa tahu kotor.

"Tangan aku bersih kok, tadi pakai hand...."

Belum sempat meneruskan ucapan tiba-tiba tangan tersebut sudah diraih dan digandeng oleh Satria. Perempuan itu mematung dan tak melanjutkan langkah pada hal tangan mereka saling bertaut.

Satria yang satu langkah di depan menoleh sembari berucap,"Ayo."

Perasaan asing kembali hadir. Astari memilih menunduk tak berani menatap samping. Jalannya juga terasa kaku ingin memilih berhenti tetapi kaitan tangan mereka sulit dipisahkan. Belum sarayu bolak-balik menerbangkan kerudung membuat Astari semakin salah tingkah.

"Grogi?"

Satria bertanya membuat Astari semakin terpojok. Dan perempuan itu menggeleng sambil memeluk dan mengusap lengannya sendiri.

Satria hanya tersenyum melihat gerak-gerik Astari yang terlihat lucu di matanya. Dalam otak Satria pun tak habis pikir kenapa Astari tak memakai baju hangat padahal cuaca lagi dingin-dinginnya.

Hati Astari sedikit lega ketika Satria melepas genggaman tangan mereka. Namun, di detik berikutnya lagi-lagi tubuhnya tegang ketika jaket yang Satria kenakan sudah berpindah di tubuhnya.

"Ak...."

Lagi-lagi Satria memberikan kejutan yang tak henti. Salah satu tangannya merangkul Astari dari belakang membuat Astari menggigit bibirnya. Untung saja parkiran tinggal beberapa langkah lagi dan kedekatan mereka pasti akan disudahi.

"Kita ke mana?"

Perempuan yang sedang merapikan kerudung akhirnya memasang seat belt ketika mobil melaju meninggalkan parkiran.

"Kamu sudah bertanya ke sekian kali. Apakah aku harus menjawab juga?"

Lagi-lagi kerlingan nakal dari mata Satria membuat mata Astari melotot dan memilih fokus ke depan. Hati merutuki bibir yang selalu saja membuatnya selalu terpojok.

Kekeh tawa Satria terdengar jelas di telinga Astari dan detik berikutnya telapak tangan itu mengusap atas kerudung Astari dan mendekatkan kepala pada bahu Satria. Kedekatan mereka seperti ini membuat Astari bolak-balik memejamkan matanya karena sudah tak tahu lagi seperti apa wajahnya.

"Tidurlah, aku tahu kamu pasti ngantuk," bisiknya pelan.

Mata langsung menutup rapat dan membiarkan kepalanya bersandar pada bahu itu. Walaupun Astari sendiri tak habis pikir apa tidak akan mengganggu dia menyetir mobil.

Sebuah usapan lembut di dagu Astari membuat mata langsung terjaga.

"Bangun, sudah sampai."

Astari terkejut karena wajah yang tertutup masker itu beberapa senti dari wajahnya sehingga deru napas dari hidung Satria terdengar sampai ke telinga.

Buru-buru Astari menggeser tubuhnya ke samping, pura-pura menatap luar lewat kaca jendela dan ternyata mobil sudah berada di suatu tempat.



Kedekatan barusan membuat perempuan itu gerah karena memang Satria sudah mematikan mesin mobil berikut AC. Jaket yang sedari tadi ia kenakan taruh di jok belakang.

"Ayo turun."

Astari menganguk, tak lagi berani bertanya sekarang di mana karena laki-laki itu pasti akan menjawab dengan jawaban sama seperti sebelumnya.

Mereka berjalan menyusuri setapak kecil yang ditumbuhi rerumputan ditambah pohon menjulang tinggi. Tangan mereka masih saling bertaut satu sama lain membuat Astari bungkam.

Tiba saatnya di tepi sebuah telaga. Suasana sepi, dingin dan romantis membuat perasaan Astari semakin tak menentu. Aliran hangat menjalar di sekujur tubuh saat Satria tengah menatapnya. Detik berikutnya diisi suara langkah pejalan kaki pengunjung telaga sini.

Di tepi telaga Astari hanya masih berdiri melihat laki-laki itu tengah mengeluarkan uang untuk diserahkan pada penjaga perahu.

"Ayo."

Astari ragu untuk naik perahu itu karena takut tenggelam tetapi Satria masih mengulurkan tangan padanya.

"Ayo kita naik perahu."

Perempuan itu melangkah masih dengan perasaan ragu dan cemas. Ragu untuk naik dan ragu untuk menerima uluran tangan Satria. Akhirnya ia melangkah dan sekarang sudah di atas perahu. Benda yang mengapung itu sedikit bergerak membuat Astari memegang tangan Satria dengan kencang tetapi laki-laki itu meyakinkan jika tak akan terjadi apa-apa.

"Tak usah takut, semua akan aman."

Astari pura-pura mengangguk walaupun kecemasan pada wajahnya belum bisa dihilangkan.

"Perahu yang kita tumpangi sama saja seperti kehidupan. Aku sebagai nahkoda dan kamu penumpangnya. Jika kamu percaya dengan nakhoda pasti semua akan aman. Kita akan dayung perlahan dan pelan tetapi jangan sampai kamu menoleh ke arah perahu yang lain karena nanti kita akan sama-sama karam dan tenggelam. Aku tak mau mengulangi itu untuk kedua kalinya."

Astari menganguk, awal tadi ketakutan sekarang perlahan menikmati setiap dayungannya. Satria sendiri mendayung lebih kuat mengarahkan perahu ke tengah, Astari di belakang mengayunkan dayung sebisa mungkin.

Di tengah telaga yang tenang dan dihiasi sinar matahari yang tak begitu terang bersinar dan kabut juga tak begitu tebal membuat suasana semakin syahdu.

Mereka duduk berhadapan, Astari bisa menebak laki-laki itu yang seperti sedang mendendangkan lagu lirih tapi masih terdengar ke telinganya. Dengan lembut tangan Astari digenggam dan didekatkan depan dada Satria.

Sebuah lagu dari Virza berdendang dari bibir Satria membuat Astari bungkam seribu kata.

Mungkin pelukku tak sehangat senja
Ucapku tak menghapus air mata
Tapi 'ku di sini sebagai lelakimu

Akulah yang tetap memelukmu erat
Saat kau berpikir mungkinkah berpaling
Akulah yang nanti menenangkan badai
Agar tetap tegar kau berjalan nanti

¤To be continue¤

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro