🔆Siapa Satria?🔆

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

~ Tak ada pasangan yang benar-benar sempurna. Yang ada pasangan yang hatinya begitu luas menerima ketidaksempurnaan~

***

Hidden Paradise by Galuch Fema


Happy reading jangan lupa vote

Suara yang lembut menghipnotis, mata yang terpejam dan rahang yang tegas membuat mata Astari tak henti menikmati pemandangan di depannya.

Suara barusan membuat jantung seperti lari maraton, wajah panas karena menahan malu. Namun, beberapa detik kemudian Astari baru merasakan jika genggaman tangan terasa hangat tak sedingin seperti biasanya.

"Bagus suaranya."

Satu kata lolos dari bibir Astari. Satria hanya bisa mendengus pelan. Entah itu hanya sekadar pujian atau komentar untuk membuatnya senang. Namun, ia sendiri merasa nyaman mendengarnya walaupun ia sendiri tak paham seperti apa suara yang dinyanyikan barusan.

Astari pura-pura menyapu pandangan ke tengah-tangan telaga. Hanya perahu yang ia naiki di telaga ini karena sebagian pengunjung hanya menikmati pemandangan di tepi telaga saja. Dan, tangan Satria masih menggenggam erat tangannya membuat aliran hangat menjalar di sekujur tubuh saat mendapati laki-laki itu terus menatapnya.

"Pulang," rengek Astari karena tak nyaman situasi seperti ini. Ia masih nyaman jika di depannya ada tumpukan tugas kantor atau ditempatkan di kandang bersama Raden dibandingkan berdua demgan Satria.

"Aku ingin bertahan di tempat ini. Sampai malam pun tidak masalah," goda Satria masih dengan kerlingan nakalnya.

"Aku ingin pulang sekarang."

Genggaman tangan segera dilepaskan oleh Astari dan segera meraih dayung yang beberapa menit tadi ia letakkan sebelum lagu berdendang.

"Pulang saja sendiri. Telaga ini dalam, loh," canda Satria sambil tersenyum. Ia sukses membuat perempuan itu tersipu  malu, tapi ia menyukai itu. Kapan lagi bisa seperti ini dan untuk ke depannya ia harus lebih dekat dan memberikan perhatian lebih pada Astari karena ia tak mau kehilangan untuk kedua kalinya.

Bibir Astari cemberut, niat hati mau bolak-balik mendayung agar ke tepi ternyata hanya membuat perahu terombang-ambing pelan tak jelas.

"Aku sudah menduga jika kamu adalah cinta sejatiku   karena aku percaya bahwa hanya orang yang akan bersamaku  sampai akhir hidupkulah yang akan menjadi cinta sejatiku."

Bibir digigit karena tak percaya ungkapan Satria barusan. Hatinya seperti melambung tinggi dan kepala seperti dipenuhi ratusan kupu-kupu yang beterbangan di atas.

"Dan kamu juga dulu pernah berharap seperti itu kan sama Dania?" tebak Astari sambil terus memperhatikan wajah Satria.

Satria langsung menggaruk belakang telinga dan mulut seketika terkunci dan ragu untuk terbuka.

Namun, Astari bisa menguasai dirinya. Sudut bibir terangkat membentuk senyum bulan sabit.

"Tak apa, lupakanlah. Maaf atas pertanyaan aku barusan."

Astari melihat perubahan wajah Satria sekarang, laki-laki tampak frustasi, sedih dan kesal.

Perahu mulai bergerak karena Satria sudah mendayung pelan dan Astari mengikuti mendayung agar perahu sampai ke tepi. Dalam waktu sepuluh menit perahu sudah berada di tepian dan petugas di sana sudah bersiap mengikat pada tiang kayu di pinggiran telaga.

Walaupun Satria masih terdiam tetapi ia masih memperlakukan Astari dengan lembut, tangan tak pernah terlepas dan selalu menjaga dengan hati-hati apalagi saat menuruni perahu.

Astari maju selangkah kemudian berbalik menatap Satria, sontak laki-laki itu pun menghentikan langkahnya.

"Aku minta maaf atas ucapan tadi di atas perahu," sesal Astari sambil memasang wajah sedihnya.

"Aku yang seharusnya minta maaf karena tak konsekuen dengan ucapan aku. Boleh aku minta sesuatu dari kamu?"

Astari menganguk cepat sebagai tanda mengiyakan.

"Jangan sebut nama dia lagi?"

"Dania maksud kamu," balas Astari dengan polos membuat Satria langsung kesal karena lagi-lagi Astari menyebut nama itu.

"Ups, maaf."

Dua jari diacungkan ke atas dan salah satu tangan menutup mulut karena kelepasan bicara. Satria hanya menggeleng sambil berjalan tertatih untuk duduk di atas batu di bawah pohon yang daunnya meranggas dan berganti pucuk daun yang siap tumbuh.

Duduk di perahu dengan ruang sempit membuat kakinya kembali terasa nyeri. Kaki diluruskan kemudian dipijatnya lirih.

"Eh, sakit lagi ya?"

Astari sedikit panik dan kemudian berlari kecil menuju Satria di pinggir telaga yang duduk.

"Tak apa, nyeri sedikit saja."

Astari duduk di sebelah Satria kemudian dengan hati-hati menaikkan celana hitam milik Satria. Di sana ada bekas jahitan, dengan hati-hati Astari memijit kaki itu.

"Belum sembuh juga? Padahal kecelakan itu sudah lama, kan?"

Satria meringis kemudian menyuruh Astari menurunkan kembali celana miliknya karena merasa sudah baikan.

"Belum lama terpeleset dari tangga di rumah, jatuh tepat di luka yang sama."

Astari tersentak kaget, tangga di rumah adalah tempat yang membuatnya bertanya-tanya karena ada apa gerangan di atas. Niat hati mau bertanya tetapi ia urungkan karena Astari paham jika Satria tak suka ditanya yang menjadi privasinya.  Suatu saat nanti ia harus menemukan jawaban sendiri tanpa harus bertanya.

"Aku saja yang kurang gerak sehingga menjadi  pengecut seperti ini, yang selalu menyerah pada keadaan."

Setelah mengucapkan itu, dengan bantuan berpegangan pada pundak Astari, mencoba berdiri dan berhasil.

"Tunggu di sini sebentar, aku mau latihan jalan sebentar."

"Tak perlu dipaksakan, bisa nanti di rumah saja," balas Astari tak yakin karena sedari tadi saat berjalan mereka selalu saling berpegang erat.

Satria tersenyum, ia memegang dagu Astari kemudian berucap, "Terima kasih sudah mengkhawatirkan aku."

Lagi-lagi sentuhan fisik membuat Astari menegang, untung saja Satria langsung berjalan di atas setapak menjauh darinya.

Udara sekitar yang sedari tadi mendadak pengap perlahan sedikit lega. Lagi-lagi Astari selalu salah tingkah jika mereka berdekatan apalagi harus sentuhan fisik.

Benar saja ketika melihat wajah sendiri di ponsel terlihat jelas jika wajahnya memerah karena menahan malu.

"Ya Allah aku kenapa?" batin Astari bertanya-tanya karena baru kali ini perasaan disambungkan tinggi ketika sudah dilaksanakan dengan laki-laki halalnya.

Perempuan itu tersentak dari lamunan karena di depan mata mendadak ada bunga yang tiba-tiba hadir. Wajah mendongak ke atas, raut wajah yang sedang ia pikirkan tengah tersenyum. Bersama dengan Satria membuat Astari paham kapan Satria tersenyum terlihat dari mata yang. berbinar walaupun senyum itu tertutup masker.

"Untukmu."

Astari menerima sambil tersenyum. Dalam hati bertanya kapan Satria membeli bunga yang sedang ia genggam tetapi mata yang tak bersalah menangkap pemandangan bunga yang sama tumbuh di tepi telaga.

"Ambil dari situ?" sungut Astari dengan kesal karena tak jadi bahagia.

Satria terkekeh karena ternyata Astari cerdas dan tak bisa dibohongi.

"Besok aku belikan yang bagus. Mau bunga apa?"

"Bunga bangkai."

Satria semakin terkekeh, mengacak kerudung Astari kemudian duduk berhadapan dengan dengkul saling bersentuhan. Wajah Astari kesal setengah mati, dari tadi saja terus menjaga kerudung agar selalu rapi karena sarayu di telaga berembus mengenai kerudung yang ia kenakan. Dan sekarang, Satria dengan sengaja mengajaknya.

"I love you."

Ekor mata melirik ke Satria tetapi ia abaikan karena pekerjaan merapikan kerudung lebih penting. Goyangan di tangan Astari membuat perempuan itu menyudahi geraknya.

"Kenapa?"

"Kok gak dibalas?"

Kening berkerut dan ujung bibir terangkat karena bingung mau membalas apa. Rasa aneh dalam dada masih ada ketika mereka berdekatan tetapi belum bisa sepenuhnya itu dikatakan cinta karena bagi Astari sendiri sangat sulit untuk mengatakan cinta lewat lisan.

"Apa kamu tidak membalas cinta aku?"

Astari menarik napas panjang sebelum berucap karena ia harus lebih hati-hati.

"Bukan tidak tetapi belum," cicitnya lirih sambil menatap pada bunga yang masih dalam genggaman tangannya.

"Boleh tahu alasannya apa?"

Astari semakin terpojok, netra menatap manik mata hitam di depannya kemudian melihat ke bawah lagi.

"Ini semua perihal waktu yang terlalu serba tiba-tiba dan mengharuskan aku seperti ini."

Astari menatap ke depan setelah beberapa detik tak ada suara dari bibir Satria. Dari ekor mata bisa menangkap jika wajah itu sedang berpikir keras dan  ia sudah siap dengan risikonya.

"Tak apa, aku tak akan memaksa."

Astari mengembus napas lirih, beban yang sedari tadi menyesakkan kemudian pergi.

"Kita pulang sekarang, kakiku sepertinya sudah ingin minta diajak istirahat."

Astari menganguk, ia membantu Satria berdiri dengan hati-hati. Sudah menjadi kewajibannya untuk saling melengkapi satu sama lain.

"Tangan kamu."

Astari sudah bisa menebak permintaan Satria. Ini bukan untuk pertama kali bergandengan tangan tetapi masih saja deru jantung kembali cepat.

"Bersih kok," tolak Astari seperti alasan pertamanya.

Satria meminta lagi sehingga tangan kiri Astari ia  ulurkan ke depan. Dengan gerakan cepat, Satria meraih sesuatu dari saku celana gelapnya dan memakaikan pada jari manis Astari yang sekarang wajahnya syok karena terkejut.

"Terima kasih," ucapnya dengan mata berbinar dengan kejutan yang diberikan Satria kemudian menatap lagi pada cincin yang sederhana tetapi bagi Astari sendiri penuh makna. Keduanya kembali berjalan beriringan menuju home stay bersiap untuk pulang ke rumah.


Selama perjalanan entah mengapa terbesit rasa tidak enak di hati Satria sehingga permintaan Astari ia abaikan.

"Eh apa, maaf," tukas Satria melirik samping kemudian fokus ke depan sambil menyetir karena ia tak mau celaka lagi untuk kedua kalinya.

"Mampir ke supermarket dulu. Stok makanan habis."

Mobil menepi ketika berada di depan supermarket. Satria bersiap turun tetapi dicegah oleh Astari.

"Mau ikutan turun juga? Di dalam pasti ramai dan banyak orang. Takut kamu tak suka dan terganggu."

Satria memiringkan kepala menikmati wajah Astari yang mengkhawatirkannya.

"Aku lebih tak suka membiarkanmu sendirian di sana."

Wajah yang tadi khawatir berubah tersenyum karena secara tak langsung Satria tak rela membiarkannya belanja sendirian."

Setelah sampai dalam, keduanya sibuk memilih semua belanjaan dari kebutuhan dapur sampai kebutuhan rumah. Satria tetap setia mendorong troli yang sudah penuh tetapi Astari sendiri masih asyik menimang dua jajanan yang ada ditangannya. Setelah berpikir akhirnya salah satu saja yang dimasukkan ke troli dan beranjak pergi ke kasir. Satria sendiri hanya bisa menggeleng dan mengambil salah satu jajan yang barusan diletakkan rak oleh Astari tanpa sepengetahuan perempuan itu.

Tiba di kasir, Astari yang sudah bersiap dengan uang tunai dicegah oleh Satria karena laki-laki itu sudah menyodorkan sebuah kartu kredit kepada kasir.  Kening Astari berkerut karena teka-teki satu lagi sepertinya harus ia pecahkan.

Untuk seorang pengangguran seperti Satria kenapa bisa memakai kartu kredit seperti itu.

"Siapa dia sebenarnya?" Pertanyaan itu selalu terbesit di otak Astari sampai tiba di halaman rumah mereka membuat masih bertahan di dalam mobil sedangkan Satria sudah turun terlebih dahulu.

Satria membuka pintu rumah. Lubang kunci rusak dan ketika pintu dipegang tiba-tiba langsung terbuka dengan sendiri. Lampu ruang tamu yang selalu mati tiba-tiba menyala dan menampilkan isi ruangan yang sudah porak poranda.

¤To be continue¤

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro