[15] ikon - goodbye road

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng



𖠁𐂃𖠁


hwang hyunjin merupakan manifestasi dari kata sempurna.

setidaknya, itu yang mereka ketahui.

dibalik topeng tersebut, terdapat seorang remaja berhati rapuh yang merindukan keluarga kecilnya. harum masakan ibu, dan ayah yang setia membantunya mengerjakan pr sepulang dari pengadilan.

sekarang,

semuanya telah berubah.

laki-laki paruh baya itu memilih untuk mendua, sedangkan pasangannya dipaksa bersemayam enam kaki dibawah tanah.

ia benar-benar membenci hidupnya.

hal tersebut semakin diperparah ketika bukti nyata dari kesalahan sang ayah hadir dalam kehidupannya. yang jeongin, sebuah kesalahan yang sekelebat menghancurkan keluarganya hingga tak bersisa. sebuah kesalahan yang seharusnya tidak pernah terjadi.











namun, entah apa yang merasuki dirinya, kehilangan sang penghancur keluarga bagaikan bumerang baginya.

ia khawatir, ia takut.

"yeobo, antarkan aku ke kantor polisi!" tangis jalang itu memenuhi dimensi ruang tamu.

"satu kali dua puluh empat jam," laki-laki paruh baya itu merengkuh sang istri dalam sebuah pelukan hangat. "bila ia tidak juga kembali, aku akan mengantarmu kesana."

kembali pada realita yang terdistorsi, pelatih basket munhwa bertanya, "bagaimana dengan yang jeongin?"

tanpa disadari, seluruh mata kini tertuju pada hyunjin yang terlihat canggung di akhir barisan.

"uh," entah mengapa, otot-otot lidahnya terasa kelu. "y-yang jeongin . . ."

dug!

bagai petir di siang bolong, sebuah dentuman kencang merasuki gendang telinga.

sebelum tiga belas siswa itu dapat menemukan sumber suara, sebuah teriakan melengking dari seorang guru yang sedang melintas menyeruak dari pinggir lapangan.

"tolong!" sahut perempuan itu panik. "seorang siswa terjatuh dari atas atap!"

dan hyunjin menjadi yang pertama berlari.











dismorfik tubuh yang bersimbah darah menjadi hal yang pertama yang hyunjin temukan.

kontradiktif, ia menggigit bibir tebalnya dan bergumam, siswa ini bukan jeongin, siswa ini bukan jeongin, siswa ini bukan—

"—jeongin?!"

"m-maafkan aku, hyung . . ." jeongin berusaha meraih tangan sang kakak. namun naas, kedua matanya lebih dulu terpejam erat.











kematian merupakan sesuatu yang tidak dapat dihindari.

saat ini, kita berpijak di atas tanah, namun keesokan hari, mungkin saja tanah lebih memilih untuk berpijak di atas kita.

semuanya adalah masalah waktu. bagaimana seseorang berpulang, sudah menjadi rahasia tuhan. dan siapa yang dapat menghabiskan sisa waktunya dengan baik, maka ia tidak akan takut kematian.

dan pagi itu, kota seoul diselimuti duka.

hujan turun dengan derasnya, seakan-akan ikut menangis bersama mereka yang saat ini sedang berkabung.

"baik sekali perbuatanmu itu, hambaku yang setia," khotbah seorang pendeta yang memimpin jalannya pemakaman. "engkau telah setia dalam perkara kecil, maka aku akan berikan tanggung jawab dan perkara yang besar. masuklah, dan turutlah dalam kebahagiaan."

hyunjin menatap nanar peti sang adik.

ia tak sanggup menangis. ia tak tahu bagaimana caranya menangis.

mengelus puncak kepala hyunjin pelan, ia menggigit bibirnya keras, berusaha menahan tangis yang diam-diam mengalir membasahi kedua pipi.

bahkan, hubungan mereka semakin memburuk setelah apa yang terjadi di sekolah hari ini.

"maafkan aku dan ibuku, hyung," balas jeongin setelah beberapa saat, sebelum menyelimuti tubuh sang kakak dan kembali ke kamarnya.

seandainya laki-laki itu tahu bahwa hyunjin mendengar semuanya, seandainya laki-laki itu sempat mendengar penerimaan maaf hyunjin sebelum diantar menuruni liang lahat, mungkin hubungan mereka tidak akan serumit ini.

"karena sekarang kau adalah kakakku, dan aku menyayangimu."

"beristirahatlah dengan tenang, yang jeongin," tutup pendeta setelah peti matinya terkubur seluruhnya. "sebab tuhan telah menyediakan sesuatu yang lebih baik untukmu."

mendengar hal tersebut,

air mata mulai membasahi pipinya.











berjalan keluar dari area pemakaman, changbin berpisah dengan chan, minho, jisung dan felix yang memilih untuk menghangatkan diri dengan segelas kopi. ia terus berjalan menjauh, mencari jawaban atas pertanyaan yang menghantuinya selama ini.

unknown:
karena pertemuan sekolah untuk membahas tentangku diundur hingga minggu depan, aku akan memberikanmu keringanan.

unknown:
akui barang harammu disana dan bawa dirimu ke kantor polisi, atau nyawa lain akan segera melayang.

kini changbin yakin, bahwa ia harus mencaritahu siapa pelaku teror yang juga diduga merupakan dalang dibalik kematian jeongin. apapun resiko yang menunggunya, dan apapun alasan yang menjadi motif permasalahan ini, jeongin harus menjadi korban yang terakhir.

menjatuhkan diri untuk menyelamatkan orang lain, sepertinya hal tersebut tidaklah buruk.

menekan sebuah nomor telfon penting, ia mendekatkan ponselnya sebatas telinga dan berkata, "bagaimanapun caranya, bantu aku mencari seseorang yang telah menggangguku, dan bawa keparat itu padaku. hidup atau mati, aku tak peduli."

matanya memicing, seakan-akan mengerti. bila aku jatuh, aku akan memastikan kau untuk ikut bersamaku.

karena hal terakhir yang ia inginkan,

adalah melihat adik kelasnya mati sia-sia.


𖠁𐂃𖠁


buat yang penasaran kenapa jeongin harus
mati, tenang, itu ada alasannya hehehe. justru jadi semacam turning point gitu sih. ada
yang mau berteori lagi?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro