[21] cnblue - i'm sorry

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


warning: very, very long chapter ahead.
the next will be an epilogue.



𖠁𐂃𖠁


pagi ini, kegiatan belajar mengajar ditiadakan.

seluruh siswa diharapkan untuk berkumpul di aula dan berbaris rapih, tepat pukul delapan pagi, seakan-akan terbelenggu dengan derita eksekusi.

meskipun begitu, hal tersebut tidak berlaku dengan han jisung selaku siswa terpintar dalam bidang komputer. saat ini, ia tengah bersiap di dalam ruang kontrol, mengarahkan jalannya pertemuan yang akan membahas terkait isu-isu yang telah merusak nama baik munhwa, entah disengaja maupun tidak.

pagi ini adalah hari yang indah.

pagi ini, rencana mereka akan segera dimulai.











seorang laki-laki paruh baya bermarga seo kini terduduk di atas podium bersama jajaran staff lainnya, sedangkan sang anak memilih untuk bersembunyi di antara barisan. selaku pemilik dari yayasan munhwa, sesungguhnya ia tidak habis pikir dengan seluruh rentetan kejadian yang telah berhasil mempermalukannya.

seandainya ia mengetahui bahwa semua itu dimulai dari keputusan bodoh yang diambilnya bertahun-tahun lalu.

"selamat pagi, anak-anak," buka sang kepala sekolah dengan senyuman sarkastik. sesekali, ia terlihat membenarkan posisi kerahnya, seakan-akan dilanda kegugupan yang amat sangat. "ah, kurasa kalian sudah mengetahui apa yang akan dibicarakan dalam pertemuan ini. kalau begitu, langsung kita mulai saja."

sesekali, hyunjin dan changbin bertukar tatapan sinis. hal tersebut diikuti oleh felix dan minho yang berada beberapa baris dibelakang mereka, dengan chan yang terapit di tengah.

benar-benar menegangkan.

menatap kearah jisung yang terduduk manis dibalik ruang kendali yang berjarak beberapa meter dari depan podium, sang kepala sekolah memberikan isyarat dengan menganggukkan kepalanya.

"dalam slide pertama," mulainya setelah pointer yang ia genggam berhasil mengeluarkan cahaya merah. "seseorang dengan otoritas penuh telah menggunakan, atau lebih tepatnya melakukan teror laman sekolah dan menyebarkan kabar-kabar yang tak senonoh. asumsi ini dibuktikan dengan—"

klik.

"—sebuah foto dimana seorang siswa dan guru tertangkap basah sedang berada di dalam area hotel. kepada jeon somi dan guru kim, silahkan maju ke depan."

saat perempuan berusia enam belas tahun itu menggigit bibirnya takut, suasana di dalam aula mendadak ricuh. dasar jalang, celoteh tersebut menggema di antara bisikan para siswa.

"sebelum eksekusi dimulai, sangat disayangkan bahwa semua rentetan permasalahan ini masih terus berlanjut."

klik.

setelah kericuhan yang disebabkan oleh foto pertama mulai mereda, kali ini foto kedua dari teror laman sekolah mengundang cibiran yang khas dari para siswa reguler.

"pantas saja ia lulus seleksi high society."

"kasus-kasus ini membuatku mempertanyakan kredibilitas komunitas itu."

bila tidak terkurung jauh dari keramaian, ingin rasanya jisung memberontak. bahkan, saat tes penerimaan masuk, ia melupakan makan siang dan malam demi menghafal setumpuk buku pelajaran.

"seorang siswa terlihat memberikan sejumlah uang pada gurunya, entah untuk alasan apa. sungguh gila," mata laki-laki itu memerah. "lai kuanlin, dapatkah kau mengikuti jeon somi dan menjelaskan transaksimu dengan guru yoon setelah diskusi ini berakhir?"

dengan terpaksa, laki-laki berparas oriental itu berjalan mengikuti perintah dengan wajah yang tertunduk malu.

"dan yang terakhir, untuk kasus narkoba—"

klik.

"—benar-benar kelewatan! akui penggunaan barang harammu sekarang juga, atau sekolah munhwa akan bertindak lebih jauh!"

senyuman sadis chan kian mengembang. satu langkah menuju kehancuran anak dari laki-laki yang telah menghancurkan keluarganya.

namun, sesuai dengan rencana,

sebelum kepala sekolah dapat melanjutkan sesi diskusi, dengan bangga changbin memisahkan diri dari barisan, menuju podium dimana jeon somi dan lai kuanlin berada.

"saya," ia menggidikkan bahunya acuh. "saya mengakui telah mengonsumsi barang tersebut, dan akan bertanggungjawab atas segala bentuk hukum yang akan menjerat di kemudian hari."

melihat anak laki-laki satu-satunya melenggang dengan santai, menghiraukan segala kekuasaan yang ia miliki, sang ayah segera berlari menuju tempatnya berada dan berbisik, "seo changbin, apa yang sedang kau lakukan?!"

menggenggam tangan changbin dengan erat, sang ayah kini berusaha membawanya pergi menjauhi aula, sebelum pengakuan gila itu semakin berdampak buruk pada citra dirinya sebagai pemilik yayasan.

"ayah, hentikan!" changbin melepasnya kasar, sebelum menunjuk kearah proyektor yang masih bekerja. kini ia menyampingkan tubuhnya agar tidak menghalangi pandangan, dengan tatapan yang terkunci pada seorang siswa berkulit putih di tengah barisan. "remember, what goes around . . . comes around."

dan setelahnya, klik.






masih ingat kasus kematian yang jeongin beberapa saat lalu?






klik.






bagaimana jika ia tidak pernah melakukan
tindakan bunuh diri atau tergelincir saat menyandarkan tubuhnya di balkon?






klik.






kira-kira, apa yang dapat terjadi bila
pembunuhnya sedang berada di dalam ruangan ini?







kedua mata chan membulat sempurna.

senyuman puas terukir di bibir changbin, felix, minho, hyunjin dan jisung yang bersembunyi dibalik layar monitor, yang sebentar lagi akan berhasil membongkar seluruh kejahatan yang dilakukannya.

di antara jeritan para siswa yang menggema, satu-satunya hal yang terlintas di benak chan adalah:  siapa yang berniat untuk menggagalkan rencana balas dendamnya? bukankah ia telah berhati-hati dalam melakukan setiap tahapan yang telah ia rekonstruksikan sedemikian rupa?

apa yang mungkin terjadi bila seluruh variabel pengecoh yang dibuat chan justru akan menjadi bumerang yang menghancurkannya?






meskipun kamera cctv tidak mampu mendeteksi wajah pelaku pembunuhan korban, hasil tes luminol yang dilakukan
oleh aparat kepolisian membuktikan bahwa terdapat kandungan DNA tidak langsung
yang ditemukan di antara semburat darah korban pada dinding bercat tua.






sial, sial, sial!

mengeratkan sarung tangan yang melapisi kulit susunya, chan mencengkram kerah kemeja adik kelasnya dengan kuat, sebelum jeongin — yang kini dipenuhi lebam biru — meludahinya dengan saliva yang sudah tercampur dengan darah.

"namun, tidakkah saat ini aku sedang hidup dalam namanya?"

mengusap pipinya yang kotor terkena darah dan mengelapnya asal pada dinding terdekat, chan segera menyeret jeongin menuju tepi atap dan mendorong tubuh mungilnya menuju baka.

laki-laki itu baru mengingatnya sekarang.

namun naas, sebelum ia dapat menggerakkan tubuhnya dan melarikan diri, dua lengan yang tak terasa asing telah berhasil mengunci seluruh pergerakannya. "felix, minho! apa-apaan ini—"

lalu, suara itu kembali terdengar.

klik.






bukan hanya pembunuh, melainkan
dalang dibalik teror laman sekolah. ia
adalah . . .






klik.






bang chan.






changbin mendekatkan tubuhnya pada sang ayah dan berbisik dengan bangga. "kuncinya adalah bertanggungjawab, ayah. hal itu yang akan aku lakukan sebagai individu yang tidak luput dari kesalahan."

lalu, ia beralih pada chan yang masih berada di bawah kekangan para sahabat dan berkata,

"in behalf of my father, chris bang, i beg you my apology," senyum changbin lirih. "seandainya kecelakaan malam itu tidak pernah terjadi . . . mungkin kita dapat bertemu dengan cara yang lebih baik."

dan tanpa menunggu waktu lama, seperti yang telah direncanakan sebelumnya, para anggota kepolisian segera berlari mendobrak pintu aula yang terkunci, menggagalkan rencana sang iblis yang berusaha menyelamatkan diri.











"hentikan!"

membebaskan dirinya dari cengkraman minho dan felix, chan mengambil sebuah pistol yang bersembunyi di dalam blazer seragam yang ia kenakan sebelum mengarahkannya menuju tempat dimana changbin berdiri.

kericuhan semakin terdengar hebat, memaksa seluruh aparat yang hadir untuk menghentikan penangkapan. peluh keringat mulai membasahi wajahnya.

"seo changbin," isak chan. "kau tak akan pernah mengerti apa yang kurasakan selama ini."

"ya, aku tidak akan pernah mengerti perasaan itu," angguknya tenang. kedua tangannya kini terangkat di udara. "seluruh kekecewaan dan sakit yang kau rasakan adalah hal yang wajar, chan. namun, aku tidak dapat membenarkan
apa yang telah kau lakukan."

berusaha kembali merengkuhnya, felix segera mencondongkan tubuhnya dan berkata. "chan-hyung, lepaskan genggamanmu pada itu—"

"—tidak akan!"

sekelebat, amarah chan memuncak.

"aku akan menghancurkan siapa saja yang berusaha menghalangiku," ia menggelengkan kepalanya.

bersiap-siap untuk menarik pelatuk pistolnya, segenap jajaran staff dan siswa segera berlari menjauh, berhamburan kesana kemari hingga satu-satunya suara yang dapat terdengar adalah tangisan pertolongan.

"termasuk kau, seo changbin!"






dor!






changbin tidak pernah merasakan timah panas yang seharusnya telah menghujam jantungnya. karena pada akhirnya, yang terjadi adalah,

"lee minho!"

segera, chan menjatuhkan pistolnya.











chan memiliki alasannya tersendiri saat berjanji untuk tidak akan pernah menyakiti jisung dan minho.

tanpa mereka sadari, kedua sekawan itu telah membantunya menikmati kehidupan normal yang sesungguhnya. bersenda gurau, bermain video game dan makan siang bersama . . .

mungkin chan tidak akan bertahan dan memilih untuk menyusul sang kakak bila takdir menolak mempertemukan mereka.

"perkenalkan, namaku minho!"

"dan aku jisung!"

"kuharap, selamanya kalian akan menjadi teman baikku, baik di sekolah maupun dunia nyata."

"aku sangat menghormatimu, hyung!"

"hmm, jangan tinggalkan aku sendiri lagi . . ."

karena setidaknya, dalam suatu fraksi, mereka telah membuatnya hidup kembali, sesuatu yang hampir tidak mungkin terjadi bila ia memilih untuk menyendiri.











"m-minho . . ."

bersimbah darah, chan menempatkan kepala minho yang setengah tersadar diatas pahanya dan menangis tersedu, berharap jika ia dapat memutar waktu dan menghentikan dirinya dari melakukan tindakan gegabah.

namun, semua itu hanyalah mimpi.

humoris bagaimana terkadang semesta senang mencampuri urusan realita. karena di saat chan berusaha untuk mencurahkan kebenciannya terhadap seorang keparat yang tanpa sengaja telah menghancurkan hidupnya, pada akhirnya, ia justru bermetamorfosis menjadi seorang monster — sama persis seperti laki-laki paruh baya itu.

"aku benar-benar pantas untuk mendapatkan hukuman yang setimpal . . ."

"chan! jangan—"

mengusap air mata yang membasahi pipinya, chan segera mengambil pistol yang tergeletak beberapa meter darinya.

dan dengan berat hati,

dor!


𖠁𐂃𖠁


aaah udah lama nggak sempet nulis chapter panjang seneng banget! semoga kalian suka
ya, bisa dibilang ini chapter terakhir, jadi
chapter selanjutnya bakalan jadi epilogue dari high society. ditunggu feedback-nya ❤️

p.s: i will not be updating this book until
at least friday due to silence day. rahajeng
rahina nyepi untuk temen-temen yang merayakan!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro