[4] rm - seoul

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng



𖠁𐂃𖠁


seoul, salah satu kota tersibuk di dunia dengan total populasi kurang lebih sembilan juta tujuh ratus tujuh puluh enam ribu jiwa.

seoul, sebuah kota dengan warnanya sendiri, yakni tangis, tawa, harapan serta keputusasaan.

itu semua menjadikan seoul, seoul — ibukota metropolitan yang dinamis dan penuh intrik, namun tetap menjadi rumah bagi mereka yang tinggal.

seperti rumah sakit universitas nasional seoul, dengan jutaan cerita yang tersimpan di antara bilik-bilik hidup dan mati.











harum air purifier menguasai indera penciuman kim woojin. membuka matanya perlahan, ia disuguhkan oleh pelukan tirai putih dan wajah kelelahan kedua orang tuanya — pemandangan terakhir yang ingin dilihatnya selama jantung ini masih berdetak.

"kau sudar sadar," sang ibu berjalan mendekat, sesekali mengusap rambutnya lembut sebelum menatap kearah laki-laki yang lidahnya terlalu kelu untuk mengeluarkan sepatah kata. "yeobo, cepat panggil dokter choi."

tanpa menatap kearahnya sekalipun, ia hanya mengangguk paham dan segera melaksanakan perintah.

selang beberapa menit kemudian, ia kembali dengan seorang dokter yang mengenakan jas putih bertuliskan choi minho, head of emergency room. ia terlihat ramah dan palsu.

"woojin-ah," sapa dokter choi. "apa yang saat ini kau rasakan?"

"pusing dan sedikit mual."

mengangguk puas, ia mencatat beberapa hal pada notebook-nya dan tersenyum. "selain itu, ada keluhan lain?"

"sementara ini tidak," woojin menggelengkan kepalanya.

"semuanya baik-baik saja, tidak ada masalah. tetaplah beristirahat sampai kau benar-benar pulih," lanjutnya. "sebentar lagi, seorang suster akan datang untuk mengambil sampel darah harian. kami harus memastikan tidak ada zat kimia yang tersisa di dalam tubuh."

sebelum woojin dapat mengatakan apapun, sang ibu lebih dulu membungkukkan tubuhnya dan berkata, "terima kasih dokter choi, semoga harimu menyenangkan."

"bukan masalah, nyonya kim. saya permisi."











setelah kepergian dokter choi, atmosfer ruang rawat inap tersebut menjadi canggung. woojin yang masih berusaha mengingat-ingat apa yang terjadi malam itu, serta sepasang suami istri yang merasa terinjak-injak egonya.

ini semua lebih buruk dari yang ia pikirkan.

"kim woojin," setelah sekian lama, sang ayah akhirnya bersuara. nadanya terdengar sangat berat — entah karena marah atau kecewa.

"jangan sekarang, yeobo—"

"—kau benar-benar membuat ayah sakit hati."

menghujam jantung, adalah istilah yang pas untuk mengekspresikan perasaan woojin saat mendengar ultimatum tersebut. tentu, ia tidak kaget dengan segala konsekuensi yang akan ia terima, namun nyatanya, mempraktekkannya jauh lebih sulit dibandingkan teori.

keheningan kembali menyelimuti ruangan tersebut, hingga akhirnya, air mata mulai membasahi pipinya.

"apakah ayah satu-satunya orang yang berhak untuk sakit hati?" balas woojin pelan. "lalu, bagaimana dengan perasaanku?"

"kau masih bisa-bisanya mementingkan dirimu sendiri? tidakkah kau malu dengan apa yang telah kau lakukan?"

"ah, tentu saja ayah akan berpikir begitu," ia tertawa sarkas. "kim woojin berhutang budi padaku. aku telah membesarkannya dengan susah payah, memberikan pendidikan dan fasilitas yang terbaik, tapi ini balasannya? wah, benar-benar hebat."

refleks, laki-laki paruh baya itu mencengkram ponselnya kuat sebelum melemparkan benda tersebut ke lantai rumah sakit.

"kim woojin!"

seluruh bagiannya kini telah hancur berkeping-keping, menjadi debu bersama gambaran keluarga bahagia yang selama ini ia bangun dengan susah payah.











terkadang,

sebagai orang tua, mereka lupa, bahwa gambaran keluarga yang bahagia harus diawali dari kebahagiaan itu sendiri.

"ah, kenapa aku tidak mati saja?" bisik woojin sebelum menutup matanya, membiarkan sang ayah meninggalkan ruangan dengan amarah yang menggebu-gebu.











tepat pada ruangan di sampingnya, lee minho baru saja menyelesaikan seluruh administrasi rumah sakit sang ibu. laki-laki itu terlihat lega, karena setidaknya, ia tidak harus mencari uang tambahan hingga beberapa waktu kedepan.

"ibu, ayo makan dulu," senyum minho sebelum mengambil semangkuk bubur yang baru saja di antar.

sang ibu hanya mengangguk senang. sembari menikmati makan malam, ia bertanya, "minho-ya, dapatkah ibu bertanya sesuatu padamu?"

"hmm, tentu saja."

"dari mana kau mendapatkan uang sebanyak itu untuk membayar pengobatan ibu?"

terperanjat, minho menggigit bibirnya.

"uh—"

"—jangan kau pikir ibu tidak tahu jumlahnya."

"aku mendapatkan uang tambahan dari studio tari tempatku mengajar," ia menggelengkan kepalanya. "ibu t-tak perlu khawatir, semuanya akan baik-baik saja."

"sebanyak itukah?"

"tentu saja," remaja itu tersenyum untuk menutupi kesedihannya. "ibu tahu sendiri kan, aku adalah penari yang handal. selain itu, aku tidak perlu membayar uang sekolah, sehingga uang beasiswa yang kuterima dapat digunakan untuk bertahan hidup."

jujur, berbohong membuatnya merasa sangat bersalah.

namun, bila ia memperlihatkan kelemahannya, maka siapa yang akan menguatkan sang ibu?

"aigoo, anakku . . ." perempuan paruh baya itu mengelus pipinya dengan lembut. sesekali, air mata mengalir membasahi wajahnya. "maafkan ibu yang selalu membebanimu. seharusnya, kau masih bisa menikmati masa muda dan hidup dengan layak. kau tidak perlu tumbuh dewasa lebih cepat dari teman-temanmu."

"aku tidak butuh itu semua. bagiku, kesehatan ibu adalah nomor satu—"

tiba-tiba, ponselnya berdering kencang.

sebuah panggilan dari customer.

"—maaf bu, sepertinya aku harus mengangkat telfon ini."











menutup pintu di belakangnya, minho bergegas menjauhi area gedung rumah sakit dan segera memencet tombol berwarna hijau.

"bagaimana, lee minho?"

"aku sudah menyalin semua latihan soal high society yang kau butuhkan, kim younghoon," balasnya sambil mengetuk-ngetukkan kaki di atas trotoar.

"kerja yang bagus. kalau begitu, temui aku dan teman-temanku di boyz club. ruangan vip, lantai tiga, seperti biasa. apa kau mengerti?"

"tentu saja," minho bernapas lega. "terima kasih telah membayarkan tagihanku lebih dahulu."

"bukan hal yang sulit," jawab laki-laki itu dari ujung sambungan. "aku cukup puas dengan cara kerjamu sejak tahun pertama."











tik. tok. tik. tok.

waktu menunjukkan tepat pukul dua belas malam.

menatap laman sekolah yang kini dibanjiri oleh ratusan komentar, laki-laki itu tersenyum lebar sebelum menggerakkan kursornya — membuka beberapa laman baru yang kini menunjukkan tiga rekaman cctv berbeda.

yang pertama, dimana seorang siswa berparas oriental tengah menunggu seseorang yang terlihat penting sambil bersandar pada mobil sports miliknya,

yang kedua, dimana seorang siswa teladan tengah mengendarai mobil dan dengan sengaja mencipratkan genangan air pada adiknya yang berjalan kaki,

dan yang terakhir, dimana seorang siswa tengah berjalan memasuki salah satu klub malam yang paling terkenal di kawasan hongdae.

"setelah jeon somi," monolognya santai. "siapa lagi yang harus kuusik demi kehancuran high society?"











sebagian besar manusia mencari uang untuk bertahan hidup, sedangkan yang lain hanya ingin bersenang-senang.

seseorang mengatakan bahwa hidup adalah roda yang terus berputar. dan di kota inilah,

mereka menggunakan segala cara untuk tetap berada di atas.


𖠁𐂃𖠁


iya, jadi minho ngasih salinan buku-buku pelajaran high society plus jawabannya ke anak-anak reguler. kalo soal somi masih disimpen sampe chapter selanjutnya hehehe. sampai sini ada yg mau nebak siapa orang dibalik laptop
itu? 🤔

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro