Bab 17 - Pacaran

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Kehidupan Asya kini menjadi super sibuk setelah Deon masuk rumah sakit. Perempuan dengan rambut yang diikat satu itu pun memutuskan untuk menginap di kamar rawat teman seangkatannya tersebut dan dia juga membawa semua barang-barang yang akan dia gunakan selama beberapa hari mendatang.

Syukurnya libur sekolah masih ada beberapa hari lagi dan Deon tidak perlu izin karena sakitnya kali ini.

Setelah kejadian terakhir, orang tua Deon tidak pernah mengunjungi pria itu lagi dan Jujur, Asya sedikit merasa bersalah akan hal tersebut. Dia memutuskan untuk minta maaf pada Deon.

"Maafin gue ya," ucap Asya tiba-tiba saat perempuan itu tengah mengupas kulit jeruk yang nantinya Deon makan.

"Maaf buat apa?" tanya Deon dengan wajah bingung.

Asya mengangkat pandangannya dan mata keduanya kemudian bertemu. "Gara-gara gue, orang tua lo nggak kesini lagi."

Deon tersenyum kecil seraya mengusap kepala Asya. "Bukan salah lo kok, gue kenal banget sama orang tua gue. Mereka nggak bakal peduli sama gue."

Sakit, tentu Deon sakit hati. Namun, pria itu berusaha tegar agar Asya tidak merasa bersalah.

Asya nyaris menangis sekarang. Namun, tiba-tiba pintu kamar rawat Deon terbuka. Suaranya cukup keras sehingga membuat perempuan tersebut langsung berdiri.

Asya mengusap matanya yang kini sudah berkaca-kaca hingga kembali seperti semula.

"Eh, Bu Ariana," sapa Asya saat melihat pembantu Deon tersebut datang dengan sebuah tas baru. Sepertinya di dalam tas tersebut ada pakaian bersih Deon, karena pakaian pria itu sudah kotor semua.

"Sini saya bantu, Bu."

Asya segera mengambil alih tas yang cukup berat tersebut, kemudian dia letakkan di atas sofa.

Di sisi lain, Ariana berjalan mendekat ke arah Deon. "Gimana keadaan kamu?" tanya pembantunya itu dengan lembut.

Jujur, Asya sedikit bingung pada sikap ibu Ariana karena wanita paruh bayah itu lebih cocok menjadi ibu kandung Deon karena sikapnya yang begitu lembut. Menjaga Deon layaknya anaknya sendiri.

"Udah enakkan kok, Bu."

"Syukurlah. Oh iya, saya mau nyampaikan kalau orang tua Mas Deon kembali ke china buat ngurus kerjaan."

Deon terdiam sesaat dengan wajah yang berubah murung. Di sisi lain, Asya yang mendengar percakapan mereka berdua akhirnya berjalan kembali menuju kasur Deon.

Asya tersenyum manis ke arah Ibu Ariana, kemudian beralih pada Deon. Diusapnya punggung pria tersebut sehingga dia mengangkat wajahnya.

"It's okay, ada gue kok di sini buat lo."

Semacam mantra yang tiba-tiba keluar, ucapan Asya berhasil membuat suasana hati Deon membaik dan pria itu dapat mengulas senyum kecil di wajahnya.

Beralih pada Ibu Ariana, Asya kemudian menatap wajah wanita paruh bayah itu dengan penuh tanya.

"Deon, kapan bisa pulang ya, Bu?" tanya Asya dengan tiba-tiba.

Deon sudah nyaris satu minggu berada di rumah sakit ini. Namun, semua urusan mengenai pria itu diurus oleh Ibu Ariana dan Asya tidak tau apa-apa mengenai kepulangan pria itu.

"Kata Dokter Fian, kalau engga besok, lusa, Mbak," jelas Ibu Ariana yang langsung membuat Asya mengangguk paham. "Oh iya, Mbak. Saya titip Mas Deon ya, saya mau balik, mau cuci baju Mas Deon yang kotor."

"Iya, Bu. Silakan."

Ibu Ariana kemudian berjalan menuju sofa dan mengambil sebuah tas yang berisi baju kotor Deon.

Sepeninggal ibu Ariana, hanya ada mereka berdua di dalam ruang rawat tersebut. Jujur, ketika hanya berdua mereka terlihat sama-sama gugup. Asya yang biasanya cerewet juga akhirnya terdiam dengan pikiran penuh pada suatu hal.

"Hmm, mau jeruk lagi?" tanya Asya basa basi.

Deon menggeleng pelan, "Nggak, gue udah kenyang."

Percobaan Asya ternyata tidak menghasilkan apa-apa. Setelah percakapan tadi, mereka kembali sama-sama diam.

Di sisi lain, Deon kemudian melirik sekilas pada Asya yang ternyata tengah melamun.

Pria itu mengulas senyumnya saat melihat wajah Asya yang begitu mengemaskan, bahkan tanpa sadar tangannya menyentuh lembut pipi tirus perempuan itu.

Sentuhan itu membuat Asya terkejut. "Astagfirullah, Deon!" pekik Asya dengan cukup keras.

"Sorry, sorry."

"Gue kaget tau!"

Seperti tidak memiliki dosa, Deon malah tertawa kecil saat melihat wajah marah Asya.

Setelah kembali normal, Deon kemudian menatap serius ke arah Asya. "Hmm, Sya, gue boleh nanya sesuatu nggak?"

Asya menatap balik ke arah Deon dengan wajah bingung. "Nanya apa?"

"Kenapa sampe sekarang lo belum jawab pernyataan cinta gue?"

Pertanyaan yang ditakutkan Asya kini terdengar di telinga perempuan itu. Jujur, dia selalu berusaha agar Deon tidak ingat pada hal tersebut.

"Apa karena gue sama lo beda agama?" tanya Deon lagi.

Wajah Asya yang sebelumnya dia tundukkan, tiba-tiba saja dia angkat kembali.

"Bukan gara-gara itu kok," bantah Asya dengan wajah yang berubah sendu.

"Terus? Gara-gara lo nggak suka gue."

"Bukan," potong Asya tiba-tiba yang membuat Deon kaget.

"Kalau lo suka gue, kenapa lo nggak jawab ia?"

Asya terdiam sesaat, kemudian perempuan itu menatap dalam ke arah Deon. "Gue nggak yakin bisa jadi pacar yang baik buat lo."

"Maksud lo?"

"Gue punya masa lalu yang buruk dan itu semua mempengaruhi hidup gue."

Deon mencerna ucapan Asya yang begitu membingungkan. Pria itu tau bahwa Asya memiliki keluarga yang kurang harmonis. Namun, kenapa hal tersebut bisa memengaruhinya sebanyak ini?.

"Lo berhak buat dapet yang lebih baik dari gue. Mulai dari segi sikap, sifat juga penampilan."

Memang benar semua ucapan Asya tadi, sikap perempuan itu jauh dari kata baik. Sifatnya apalagi dan untuk penampilan, Asya terlihat begitu biasa. Dia cantik. Namun, jangan lupakan luka yang ada di kepalanya sehingga membuat dia kurang percaya diri.

"Tapi, gue sayang sama lo, Sya."

"Gue juga."

"Terus, kenapa lo nggak mau coba? Gue nggak butuh kesempurnaan, yang gue butuh itu elo."

Asya terkejut saat mendengar ucapan Deon yang tiba-tiba. Tidak seperti sebelumnya, pria itu menjadi banyak bicara saat melakukan pembicaraan yang serius ini.

"Tapi, Eon ... ."

"Sya, lo pikir gue sempurna? Enggak, Sya. Apa bedanya kita berdua?"

Ucapan Deon memang benar adanya, mereka berdua memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Namun, nyatanya semua itu menjadikan mereka bisa saling melengkapi satu sama lainnya dan untuk masalah agama, Asya tidak terlalu mengambil pusing karena menurutnya cinta adalah cinta. Perasaan tentu tidak bisa memilih pada siapa dia akan berlabuh.

Deon perlahan memegang tangan Asya dan mengusap punggung tangan perempuan itu menggunakan jempol tangannya.

"Gue mau, kita sama-sama jalanin semuanya. Saling nguatin dan ngasih semangat," jelas Deon yang berhasil membuat Asya menatap ke arahnya.

"Lo yakin?"

Deon mengangguk pelan, "Gue yakin."

"Kenapa lo bisa seyakin ini? Padahal kita baru kenal?" tanya Asya yang membuat Deon salah tingkah.

Pria itu kemudian menggigit bibir dalamnya untuk menutupi rasa gugup yang tiba-tiba muncul. "Hmm, sebenernya gue udah lama suka sama lo."

Kali ini, Asya yang dibuat bingung pada ucapan Deon. "Maksud lo?"

"Iya, gue udah lama suka sama lo. Tanpa lo sadari, gue selalu perhatiin lo."

"Eon," panggil Asya dengan lembut.

"Jadi, lo nggak perlu ragu karena gue bener-bener suka sama lo."

Asya sudah nyaris menangis sekarang. Namun, karena tidak ingin melihatkan wajahnya yang tengah menangis. Perempuan itu menarik Deon ke dalam pelukannya.

Tubuh Asya bergetar karena dia menangis cukup kencang dan hal itu membuat Deon ikut sedih. Pria itu kemudian mengusap punggung Asya dengan perlahan.

"Sya, gue janji, gue bakal selalu ada di samping lo. Karena gue sayang banget sama lo."

***

Yeay. Part 17😍

Semoga suka ya.

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro