19. Posesif

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Sorry for typo
.
.
.




"Maisha ...."

Maisha pamerkan senyum manisnya tepat di hadapan Pak Ezar. Mata mereka bertemu, saling bersitatap selama beberapa detik.

"Hape kamu tadi ketinggalan di mobil." Berbicara seraya mengangsurkan benda di tangannya tanpa mengalihkan pandangan sedikit pun dari Maisha. Seperti terhipnotis dengan penampilan gadis di hadapannya, Ezar mendadak jadi kehilangan banyak kosakata. Tidak ada yang keluar dari mulutnya kecuali tatapan kagum selama beberapa saat. Rumaisha Shakila Mufti terlihat sangat berbeda dari biasanya. Wajah Maisha yang mengenakan riasan natural saat di kantor saja masuk kategori cantik di matanya dan mungkin juga bagi banyak kaum Adam, apalagi sekarang saat Maisha merias wajah dan rambutnya. Ditambah kebaya tutu berwarna peach yang kontras sekali dengan kulit putihnya. Siapa pun pasti akan tersihir - menoleh dua kali saat bersitatap dengan Maisha.

"Oh, makasih Pak Ezar udah repot-repot nganterin ke sini." Maisha merapal terima kasih. Tanpa diduga Pak Ezar merapat ke sisinya. Lelaki jangkung itu menjulang tepat di sebelah Maisha.

"Kamu cantik hari ini ... dan saya suka," bisiknya tanpa basa-basi. Gantian Maisha membeku di tempat. Tanpa diprediksi jantungnya berdegup kencang gara-gara ungkapan Pak Ezar barusan. Dia boleh GR, kan? Kesadaran Maisha kembali dari keterpakuan, saat bersamaan Pak Ezar telah enyah dari pandangannya.

Ballroom hotel lalu lalang oleh para tamu undangan. Usai sesi foto bersama sepasang pengantin, Maisha memutuskan melipir sejenak menuju buffet tempat prasmanan. Sejak tadi cacing-cacing di perutnya berontak akibat didera rasa lapar ; juga haus mendera kerongkongannya. Maisha sengaja melangkah sendiri tanpa menunggu Pak Ezar yang terekam sedang asyik berbincang bersama kawan baiknya,  Elbayu.

Pasalnya sejak tiba di Surabaya, Pak Ezar memang belum bersemuka sama sekali dengan Elbayu karena yang Maisha tangkap dari obrolan di rumah Tante Bulan, putranya tersebut masih berada di Aussie. Elbayu baru tiba sesaat sebelum acara resepsi dimulai. Lelaki itu langsung bergabung bersama keluarga inti si pengantin dan juga menemui Pak Ezar dan Maisha.

Surabaya dan hawa panasnya yang luar biasa membuat gerah. Maisha merasakan peluh menderas di sekitar kening. Padahal ruangan ini full AC - tapi tetap saja rasa panas menyambangi tubuhnya. Mata Maisha menangkap deretan jar berisikan aneka minuman dingin berukuran besar yang berderet di salah satu meja buffet. Gegas langkahnya terayun mendekat ke arah buffet, tidak sabar ingin membasahi kerongkongannya dengan segelas minuman dingin.

"Hai, sendirian?" Sapaan itu menarik atensi Maisha. Seketika dia menoleh. Sosok yang tidak asing, tapi juga tidak seberapa kenal ; baru dikenalkan beberapa jam lalu. Jonathan. Lelaki itu berdiri tepat di belakangan Maisha yang sedang antre mengisi gelasnya dengan iced Coffe dari jar minuman.

"Hai, Kak," sapa Maisha balik.

"Panggil Jo aja," sahut lelaki yang memakai pakaian sama seperti Pak Ezar itu. "Temennya Ezar, atau ...?" Pengimbuhan itu belum sempat dijawab Maisha karena dengan gerakan langkah cepatnya Pak Ezar lebih dulu sampai tepat di sisi Maisha.

"Calon istri, jangan gangguin Jo!" Sebuah ulmatum ditebar Pak Ezar. Seketika mata Maisha membulat sempurna. Berani dan frontal sekali si Pak E.

"Lagakmu, sok posesif, Zar." Jonathan menguarkan tawa usai berkata-kata.

"Harus. Kalau enggak buaya darat sepertimu ini bakal berbuat semena-mena, Jo." Pak Ezar melirik Maisha sekilas ketika berkata-kata. Sang gadis terekam menggeleng pelan, lantas meneruskan langkah mengisi piringnya dengan makanan pilihannya.

"Njiir, bucin Lo, Zar!" Komentar Jonathan. Ezar tak acuh, kakinya berderap menyusul langkah Maisha. Gadis itu bergerak mendekati stand bakso dalam bentuk gebyok.

"Maisha," panggil Ezar. Maisha menoleh.

"Kenapa, Pak?" Tatapan mata Maisha sengaja difokuskan pada pramusaji yang sedang menghidangkan bakso Malang untuknya. Bukan tanpa sebab, pasalnya sejak kalimat bernada pujian yang dilontarkan Pak Ezar tadi, Maisha merasa jantungnya jadi tidak baik-baik saja setiap kali matanya bersitatap dengan pemilik sepasang manik legam itu.

Tanpa aba-aba Pak Ezar mengeluarkan sapu tangan dari saku celananya. Tangannya bergerak lincah mengusap kening Maisha yang dilapisi titik-titik keringat.

"Gerah, ya?"

Badai, angin ribut, petir, rasanya semuanya berkolaborasi saling sahut menyahut di dalam otak Maisha akibat perlakuan Pak Ezar.

"Saya bisa sendiri, Pak!" Sahutnya menyambar sapu tangan dari Pak Ezar. Entah, ada apa dengan bos-nya te sebut. Kenapa akhir-akhir Pak Ezar hibi banget menciptakan gemuruh di hati Maisha.

"Sha, kamu mau makan apa lagi? Biar saya ambilkan, kamu duduk aja." Tawaran yang seketika digelengi Maisha.

"Enggak usah, Pak. Makasih, Pak Ezar juga belum makan, kan? Mendingan Bapak ambil makanan juga, nanti kalau telat makan terus kena asam lambung saya juga yang repot, Pak." Maisha akan beranjak, tapi sebelum kalinya melangkah dia kembali menoleh Pak Ezar. "Maaf Pak, kayaknya nanti kita harus bicara, penting."

"Bicara aja, Sha."

Maisha mendengus pelan. "Enggak di sini, Pak. Tapi nanti, kalau acaranya udah kelar." Dia benar-benar meninggalkan Pak Ezar yang masih mematung di tempat. Maisha tidak ingin terlena dengan semua perhatian Pak Ezar. Bisa saja itu cuma jebakan yang akan membuatnya terbelenggu rasa nyaman berada di dekat lelaki itu. Tidak boleh. Maisha ingin sepenuhnya move on dan melupakan Rendra terlebih dulu, sebelum dia benar-benar yakin bisa menerima orang baru untuk mengisi kekosongan hatinya. Maisha hanya takut menjadikan Pak Ezar pelarian - atau justru sebaliknya, Pak Ezar yang menjadikannya pelarian. Rasanya masih terlalu prematur untuk mengakui kalau dia jatuh suka pada boss-nya itu.

___

"Makasih ya, Maisha mau repot-repot bantuin di acara kemarin." Malam ini, hari kedua di Surabaya. Maisha dan Pak Ezar berada di kediaman Tante Bulan. Perempuan paruh baya yang memiliki wajah teduh itu mengundang keduanya untuk singgah dalam acara syukuran kecil-kecilan berupa makan malam bersama sebagai ungkapan terima kasih dan rasa syukur atas lancarnya acara resepsi pernikahan Sagara dan Azalea. Makan malam baru saja selesai. Anak-anak Tante Bulan baru saja pamit pulang ; Tsabita dan Rashad serta putri mereka. Om Surya menemani ngobrol kerabat yang lain. Sementara Tante Bulan menghela Maisha dan Ezar ke ruang tengah untuk sekadar berbincang santai.

Maisha tersenyum sopan pada Tante Bulan. "Sama-sama Tante, enggak repot, kok. Kan, memang itu salah satu tujuannya ke sini." Maisha tidak salah, kan? Selain urusan bisnis, memang Pak Ezar sudah menjelaskan jika mereka akan turut serta dalam acara keluarga Elbayu.

"Habis ini giliran kamu sama Maisha ya, Zar." Celetukan Tante Bulan kontan menciptakan batuk kecil Pak Ezar - akibat tersedak teh yang sedang diseruput lelaki itu.

"Yaelah, pake kaget segala, Zar." Elbayu ikut menukas. Lelaki itu menepuk-nepuk pundak Pak Ezar yang bergetar akibat tersedak ringan.

Maisha hanya bisa bergeming menyimak godaan yang saling dilempar oleh ibu dan anak. Dia sempat melirik sekilas pada Pak Ezar. Usai batuknya reda, Lelaki itu tertangkap matanya menarik samar kedua sudut bibir. Tersenyum tipis merespons kata-kata Tante Bulan.

"Dianya belum siap, Tante." Setelah beberapa saat akhirnya Pak Ezar menindaklanjuti dengan suara. Matanya berkedip beberapa kali ke arah Maisha. "Iya kan, Sha?" Todongnya seakan menanti reaksi Maisha - seketika membuat gadis itu melongo sendiri.

"Belum siap kenapa, Maisha?" Tante Bulan bertanya penasaran.

"Masih mau berkarir, Tante." Jawaban klise yang dirasa paling aman menurut Maisha.

"Kalau belum siap jangan dipaksa ya, Zar," sahut Tante Bulan. "Oh iya, kalian selisih berapa tahun sih?" Pengimbuhan disertai ekspresi penasaran Tante Bulan.

Ezar tertawa pelan sebelum menjawab. "Jauh kayaknya, Tan. Mungkin 11 tahun," jawabnya.

Mata Tante Bulan berbinar mendengarnya. "Wah, sama kayak kamu sama Hawa ya, Bang." Atensinya beralih pada sang putra. Elbayu. Yang diajak bicara manggut-manggut pelan tanpa berkata-kata. Elbayu sibuk memainkan jarinya di atas tuts piano, lelaki itu unjuk gigi di depan Ezar dan Maisha.

"Hawa gimana kabarnya Tante?" Ezar yang tertarik untuk bertanya.

Tante Bulan melepas embusan napas pelan. "Insyaallah, Hawa baik." Jawaban klise - yang bercabang makna. Pasalnya saat menjawab tanya Pak Ezar, rona Tante Bulan berubah sendu.

"Maaf Tante, Hawa itu siapa ya?" Maisha yang sejak tadi menyimak akhirnya ikut menimpali.

"Calon istrinya Elbayu, Sha. Kenapa kamu kepo?" Pak Ezar yang menyahut lebih dulu sebelum Tante Bulan. Sementara  Maisha merespons jawaban Pak Ezar dengan ber-oh-pendek.

Suara lagu menggema dihasilkan dari permainan jemari dan kaki Elbayu yang bergerak intens di atas pedal serta balok not piano. Permainannya mutlak menarik penuh atensi Maisha.

"Huwa! Pak Bayu bisa main piano. Keren banget." Puji Maisha menatap takjub. Tangannya refleks bertepuk tangan.

"Biasa aja kali, Sha." Respons sebaliknya justru ditunjukkan Pak Ezar. Kentara sekali airmuka lelaki itu terlihat tidak suka merespons pujian Maisha untuk Elbayu.










Eeets ada yang cembokur. 🤐

Guys, Insyaallah bab depan Kachan umumkan ya pemenang novel Epiphany.

















01-06-2024
1343

Tabik
Chan








Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro