17. Rencana Supri

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Supri tersenyum-senyum, terlihat wajahnya semringah bahagia. Rencananya berhasil. Ia membocorkan rahasia pada kedua orang tua Alma, sebab itulah mereka datang ke sini. Lagi dan lagi mereka dibuat kecewa dengan putri mereka sendiri. Jika Supri tak menelfon, mereka tidak akan tahu bahwa Alma istri yang pembangkang. Selalu berkata kasar pada suaminya, tak pernah nurut apa kata suami, sering keluar tanpa izin suami bahkan pergi dengan laki-laki lain. Mendengar itu, semalam kedua orang tua Alma tak bisa tidur nyenyak. Menjadi beban pikiran, mereka akan memastikan dan berbicara empat mata dengan pasangan suami istri itu, apakah yang dikatakan Supri memang benar atau hanya fitnah semata.

Kini Supri sangat puas, wajah wanita itu bagai benang yang kusut. Alma menghampiri Supri yang tengah duduk santai di teras, mendorong kasar bahu Supri dengan salah satu tangannya,

"Woi!" Alma sengaja mengecilkan suaranya, tak ingin percakapannya dan Supri didengar oleh siapapun. Kedua kupingnya terasa sangat panas, tak tahan mendengar ocehan abi dan umi. Alma pun memutuskan untuk keluar dengan alasan ingin menenangkan diri, padahal ia sedang mencari keberadaan Supri.

"Lo..." Alma mengacungkan jari telunjuknya tepat di depan wajah Supri. Tatapan mata tajam serta wajah yang merah padam menahan amarah.

"Dari mana lo dapet nomor orang tua gue?!"

Supri berdiri, memasukkan kedua tangannya ke dalam saku sweaternya. "Bukan urusan lo," jawabnya.

"Ya, jelas urusan gue. Lo gila, ya? Gak ada kerjaan lagi selain adu domba kayak gini? Kurang kerjaan apa lo? Apa gaji yang diberikan Faris gak cukup? Mau gue tambahin? Sekalian gue beliin makanan yang enak buat mulut lo yang lemes. Oh, iya. Gue lupa, lo 'kan orang kampung mana bisa makan yang enak-enak. Dasar kampungan, pulang sana ke tanah kampung halaman lo itu!"

"Gak usah bawa-bawa kampung halaman gue, mending lo hilangin bekas cupang di leher lo itu. Udah gak perawan lo, ya."

"Dan gue kasih kesempatan sekali lagi, berani lo nyakitin hati sahabat gue lagi. Gue jamin hidup lo akan hancur dan sehancur hancurnya!" bisik Supri, tersenyum miring.

"Lo jangan sembarangan ya kalau ngomong, gue lagi alergi!" bantah Alma.

"Sudahlah, buang waktu aja gua bicara sama wanita bodoh kayak lo. Hidup lo udah beruntung banget tahu, lahir dari keluarga kaya raya dan Agamis, punya suami Ustadz yang shaleh. Semoga nanti Allah SWT membuka pintu hatimu, wassalamualaikum." Supri pamit pergi, masuk ke dalam mobil di halaman rumah. Tak bisa melihat wajah wanita itu lama-lama, ia sangat membenci Alma. Andai Alma seorang laki-laki, mungkin sudah lama Supri menghabisinya. Ia mulai melajukan mobil meninggalkan Alma sendirian.

Tak bisa berkata, apa yang Supri ucapan memang benar. Mahkota kesuciannya direnggut sang kekasih. Selagi tidak ada bukti, Alma akan baik-baik saja. Karena ia percaya, Kevin akan menikahinya secepat mungkin. Tak sedikitpun ia memikirkan, bahwa zina adalah dosa besar.

Alma menghela napas, masuk kembali ke dalam rumah menguping percakapan Faris dan kedua orang tuanya.

"Saya tidak tahu, hati anak itu terbuat dari apa. Kami mengira Alma benar-benar berubah, tapi yasudahlah," ucap Buya Abqari. Merasa tak pantas, Faris terlalu sempurna menjadi suami Alma yang terus-terusan menggores luka di hatinya.

Elena mengelus-elus bahu suaminya, ia tahu suaminya itu sedang tidak baik-baik saja. "Sabar, bi."

"Jadi bagaimana? Maaf, bila nak Faris tidak sanggup lagi untuk membimbing anak kami, akan lebih baik kami membawanya pulang saja," sambung Buya Abqari.

Faris terkejut, dia tak percaya Buya mengatakan itu. "Semua tidak sepenuhnya salah Alma, Abuya," kata Faris.

"Maaf, sebenarnya saya yang terlalu sibuk. Jadi, saya kurang memperhatikannya."

"Untuk ke depannya, saya akan mengurangi aktivitas di luar. Saya akan menjaga istri saya dan lebih banyak menghabiskan waktu bersamanya, Buya."

Alma menghala napas legah, untung Faris tidak menuruti keinginan abinya. Jika itu terjadi, maka ia akan sulit keluar rumah terutama bertemu sang kekasih. Faris benar-benar pahlawan hidupnya.

"Baiklah jika itu yang kamu inginkan, saya tidak bisa memaksa kalian untuk berpisah. Faris, saya percaya suatu hari nanti kamu bisa membimbing Alma. Saya pamit dulu, tapi sebelumnya saya mau titip umi kamu di sini untuk beberapa hari karena saya ada pertemuan di luar kota jadi mohon jaga umi, ya."

"Baik, Buya."

***

"Berapa jadi bu?"

"15 ribu dek."

Kevin merogoh dompet di dalam saku celana bokongnya. Membuka dompet yang tidak ada isinya, ia terkejut. Tidak ada uang sepeserpun, ia mencoba mengingat di mana keberadaan semua uangnya.

"Oh..." kepalanya mengangguk-angguk. Kevin baru ingat kejadian semalam, uangnya diambil oleh petugas bar membayar tempat penginapan bersama pacarnya.

"Sial!" umpatnya dalam hati.

"Bu, maaf. Gak beli, makasih." Ia mengembalikan nasi bungkus, lalu bergegas pergi karena malu.

Mau marah, tapi warungnya lagi ramai. Lagi pula dia bisa menjual nasi ini kepada pembeli lain. "Yaudahlah mas, serah kowe!" pekik anak laki-laki melanjutkan pekerjaannya membungkus nasi pesanan orang-orang.

Kevin kembali ke kantor, masuk ke ruang tempatnya bekerja. Pikirannya kacau, entah dari mana ia mendapatkan uang untuk bertahan hidup sementara gajian pertama masih dua minggu lagi. Sorot matanya tertuju laki-laki berubuh gempal, namanya Hendri. Salah satu rekan kerjanya yang masih tetap berada di ruang ini. Kevin pun menghampirinya, tampak Hendri fokus pada komputer di hadapannya.

"Hen, lagi ngapain?" tanya Kevin.

"Gue boleh pinjem uang gak?"

"Gak," jawab Hendri spontan, rekan kerja Kevin satu ini memang terkenal dingin dan cuek.

"Pas gajian gue pulangin Hen, tolong."

"Gue gak punya uang, makan aja bawa bekal dari rumah." Hendri memperlihatkan kotak makanannya yang sudah tidak ada isi lagi.

"100 ribu aja."

"Gak ada."

"Yaudah, 50 ribu aja deh."

"Gak."

Kevin menghela napas berat, menggaruk tengkuk yang tak gatal. "Pelita amat jadi orang!" batinnya kesal. Ingin sekali ia menonjok wajah datar Hendri.

Kevin kembali ke meja kerjanya yang cukup jauh dari meja kerja milik Hendri, perutnya berbunyi. Ia sangat lapar. Padahal kemarin orang tuanya baru transfer uang, tapi sekarang lenyap seketika. Petugas di bar itu, rasanya Kevin ingin menemui mereka dan menghajar mereka habis-habisan.

"Apa gue harus ketemu mereka, ya?"

"Minta kembaliin uang gue yang mereka curi."

"Tapi mana ada maling yang mau ngaku!"

"Ah, goblok banget. Ngapain coba gue nurut sama Alma, kalau bukan karena dia yang ngajak ke sana uang gue gak akan hilang." Kevin meremas rambutnya, frustasi.

"Permisi, nih. Aku ada uang 200 ribu, mau pinjam?" ucap seorang perempuan membenarkan kaca matanya yang sedikit menurun dan tersenyum manis pada Kevin.

***

Sebelum masuk, Faris mengetuk pintu terlebih dahulu. Sorot matanya langsung tertuju pada Alma yang tampak gelisah, mondar-mandir di dekat tempat tidur. Seperti ada sesuatu yang Alma pikirkan, Faris mendekat padanya.

"Assalamualaikum, Alma."

Tak ada respon, wanita itu sedang bergelut dengan pikirannya sendiri. Dari siang tadi pacarnya tidak ada kabar, nomornya tidak aktif setelah ia menelfon satu kali. Namun, panggilannya dimatikan. Alma sangat khawatir padanya.

"Apa yang sedang kamu pikirkan, Alma?"

Alma terkejut, jantungnya nyaris copot. Ia terperanjat, menyadari suaminya tiba-tiba ada di kamar ini. "Astagfirullah, ngapain lo di sini?!" pekiknya.

"Jangan teriak-teriak, gak enak sama umi nanti kita dikira bertengkar lagi," ucap Faris memperingati istrinya.

"Lo ngapain di sini?!" tanya Alma lagi dengan suara kecil, tapi mata melotot. Terlihat tak suka Faris berada di kamarnya.

"Saya mau tidur di sini," jawab Faris.

"Apa?"

"Gila lo?"

"Gak, pokoknya gue gak mau!"

"Ayo keluar."

Alma menyeret suaminya. Ingin membawanya keluar dari kamar, tapi Faris menghentikannya.

"Gak bisa, umi ada di rumah ini. Saya gak mau jadi beban pikiran Buya dan umi lagi, tolong kasihanilah orang tua kamu. Lagi pula hanya dua hari saja dan walaupun kita sah suami istri saya berjanji gak akan sentuh kamu sedikitpun. Saya akan tidur di sana." Faris menunjuk sofa yang letaknya cukup jauh dari tempat tidur Alma.

Alma terdiam sejenak, menatap lekat laki-laki itu. Meski terkadang kesal padanya, di dalam hati kecil Alma ada sedikit rasa percaya pada Faris. Ia mengangguk terpaksa. "Ya," jawabnya.

Faris legah, ia tersenyum tipis. "Terima kasih," ucap Faris.

"Buat apa?" balas Alma.

"Sudah mau menuruti saya."

"Oh, ya. Alma, komentar saya di instagram sudah saya hapus."

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro