Huni-4

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng




Kacau.

bunda kini sudah tahu aku dan yogi sedang bertengkar.

Rasanya emosiku semakin bergelut tidak jelas, semua tercampur menjadi satu antara marah, sedih, takut, perasaan negative itu kini menggumpal tidak jelas dalam tubuhku. Selain itu pikiranku penuh, lebih dari kapasitas otaku bisa menahan semua masalah ini yang tidak kunjung kelar dan malah terus bertambah. Semua kekacauan itu di tambah rasa laparku, perutku belum di beri asupan selain makan roti oat tadi pagi sedangkan kini matahari sudah berada di puncak langit, berderang dengan terang pada siang hari.

Langkah kakiku cepat, begitupun Langkah kaki yogi. Mungkin dirinya marah, kecewa, sama seperti ku saat ini. Kami berdua sama sama kacau. Mendapat ceramah singkat dari bunda membuat kami bingung, di tambah kini semuanya malah semakin buruk.

Memasuki Gedung lobby perusahaan, yogi tampak menghela nafas Panjang hinga membuatku menegakan tubuhku. Aku memang marah padanya, tapi tidak menutup kemungkinan aku sendiri takut padanya, in deeply, aku sangat takut padanya saat ini.

"bisa gak di jelasin alasanya secara logika?" tanya yogi, memelankan Langkah kakinya ketika kami sudah berada di Lorong sepi menuju lift. Selain kami hanya ada mbak Rin, asisten yogi serta pak damar, ajudan miliknya. Melihat mimic muka mereka, rasanya mereka juga ingin kabur dari kami, cangung tahu kami akan mulai beradu mulut setelah menahan di sepanjang perjalanan usai makan siang taadi bersama bunda.

"gi, aku belum cukup ilmu. Aku udah jelasin kemarin-kemarin, keputusanku buat nolak udah mutlak. Aku belum cukup ilmu dan pengalaman. Ada banyak karyawan lainya yang lebih pantas memenuhi standard untuk jabatan itu, sainganku tuh dokter semua gi, gelar sarjananya lebih tinggi, lebih pantas." Jawabku berusaha memelankan suaraku.

Yogi menatapku tidak percaya, ku liat dadanya naik turun serta tatapanya yang begitu kecewa terhadap keputusanku. Lalu setelah itu, ia memalingkan wajahnya dengan cepat, mendecak sebal sambal menyilangkan tanganya.

Melihatnya bungkam, aku menjadi kesal sendiri. Tanganku terangkat untuk menarik lenganya, memaksa dia menatapku saat aku bicara kata kata selanjutnya. "aku bakal ambil, aku bakal naik sendiri pake usahaku, setelah aku rasa mampu gi."

Bola matanya memutar malas, "iya, kapan kamu bisa ngerasa kaya gitu? Kamu tuh selalu ngerasa---apasih? Gak mampu? Gak percaya diri? Terus sampai kapan kamu nunggu ngerasa mampu? Lama."

"gi aku tuh gak ada pengalaman!." nadaku meninggi dengan cepat

"gitu? Terus apa tuh bisa di rekrut media amerika jalur undangan, bisa adaptasi disini dengan cepat?. Kamu belum coba aja udah ngomong kalu gak mampu, di coba aja dulu sih?"

"aku kan udah bilang-"

"bu, pak, maaf. Lebih baik di lanjutan pembicaraanya di ruang tertutup." Pak damar menyela ucapanku yang mulai semakin tinggi. Akibat ucapanya juga adu mulutku dengan yogi bisa berhenti sementara, pertengkaran kami terselamatkan dari bahan gossip orang kantor yang mulai datang ikut mengantri lift.

Tanganku terlepas dari mencenkram lengan yogi, kami saling memalingkah wajah untuk menarik nafas yang benar satu sama lain, menata kembali perasaan yang sempat kacau.

Saat pintu lift terbuka, pak damar masuk lebih dahulu, beliau yang menahan sensor lift agar tidak tertutup tiba-tiba, barulah yogi dan mbak rin masuk, di susul karyawan kantor lainya yang masuk memenuhi lift. Aku masih berdiri menyilangkan tangan di depan dada, tidak menggerakan kakiku sedikitpun dari tempat ku berada hingga membuat penghuni lift menatapku kebingungan.

"bu?" mbak Rin mulai menegurku.

Kepalaku menggeleng, "duluan saja, masih urusan di lobby."jawabku ketus

Sebenarnya aku ingin mampir ke minimarket depan Gedung, membeli manakan instan untuk mengisi perut laparku. Memang Namanya saja tadi aku makan siang Bersama yogi, ulah bunda yang mengajak kami makan siang malah bunda yang harus pergi duluan akibat urusanya, tertinggalah aku dan yogi dalam satu meja makan di restaurant, kembali kami berdebat soal jabatan itu hingga aku tidak memiliki nafsu makan, akhirnya aku tidak memakan makanan apapun selain memakan emosi duduk 15 menit bersamanya.

"duluan bu diana." Salah satu karyawan membungku kepadaku, di susul lainya. Sebenarnya mereka anak magang yang minggu lalu di tempaatkan dalam kelompoku, makanya mereka masih mengenalku disbanding pria yang berdiri dengan mereka adalah pemilik Gedung ini.

Yogi entah kenapa, sulit sekali di ajak bicara beberapa minggu terakhir. Niatku untuk menyelesaikan masalah tidak pernah terealisasikan akibat ikut terpancingnya emmosiku.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro