2. MANIS YANG MEMUDAR

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Sekolah hampir ditutup gerbangnya, andai saja Jovan tidak menahan pak satpam. Tentu saja dengan janji manis Jovan yang mengatakan tidak akan mengulang lagi.

"Mas, beneran jangan diulang. Saya nanti yang kena semprot kepala sekolah. Pekerjaan saya terancam juga." Pak satpam itu membuka kembali gerbang, sehingga Jovan dan Zee bisa masuk.

"Makasih ya, Pak. Janji, deh, hari ini terakhir," ujar Zee sambil mengacungkan jari tengah dan jari telunjuk dari bangku penumpang.

Tak menunggu lama mereka berdua segera berjalan cepat menuju kelas masing-masing. Zee dan Jovan tidak berada di kelas yang sama. Sudah banyak peringatan menghampiri, kalau Jovan adalah cowok yang tidak cukup baik buat Zee.

Zee dikenal baik dan tidak neko-neko di antara teman sekelasnya. Prestasi akademik juga terhitung bagus meskipun tidak menempati peringkat pertama. Tetapi prestasinya dalam bidang menulis fiksi tidak diragukan lagi. Dunia menulis memang belum lama Zee lakukan. Tetapi ceritanya di dunia platform online banyak digemari. Bahkan ada dua cerita yang sudah dilirik oleh penerbit besar.

"Zee, lo bawa bekel, nggak? Gue nggak sempet sarapan, nih!"sambut Meta, teman sebangku sekaligus sahabat terdekat Zee sejak setahun lalu. Meta yang hobi makan tapi nggak gampang gemuk, sempat Zee curigai kena cacingan.

Lagipula tidak mungkin kalau dia belum sarapan, masakan ibunya Meta sangat enak dan tidak pernah absen menyiapkan kudapan. Malah Zee iri karena di rumahnya lebih sering tersaji makanan beli dari luar. Mamanya mana sempat masak, kesibukannya bekerja menyita banyak waktu.

"Ta, harusnya gue yang tanya itu, emak lo kan, rajin masak. Nggak mungkinlah kalo sampe belum sarapan. Salah alamat, lo." Zee malah berasa curhat memberikan jawaban itu.

Meta menatap iba sahabatnya itu. Zee itu tidak kekurangan, bahkan uang saku bulanannya saja, lebih besar darinya. Bisa buat beli sarapan tiap hari di kafe dekat sekolah.

"Gue bercanda, kok! Nih, emak gue nitip nasi uduk buat lo. Dimakan, jangan dianggurin!"

Seketika ekspresi muka Zee cerah. Nasi uduk buatan Mak Rido—ibunya Meta terkenal enak. Kalau buka warung makan pasti laris manis. Tetapi hal itu tidak dilakukan karena penghasilan ayah Meta sudah cukup bagi mereka. Mak Rido sepenuhnya mengurus rumah dan adik Meta yang masih kecil.

Nasi uduk di sebuah kotak makan segera di buka Zee. Masih hangat dan makin menimbulkan selera makan Zee. Belum juga menyuap sendok pertama, bel masuk berbunyi. Gagal total Zee menikmati sarapannya.

"Lain kali berangkat lebih pagi, Non. Jadi sarapan bisa santai," bisik Meta sambil mengeluarkan buku mata pelajaran pertama.

Beruntung rasa lapar Zee cukup ditenangkan dengan PR yang sudah siap dikumpulkan.

"Iya. Besok gue berangkat sendiri, aja. Bareng sama Jovan selalu sport jantung."

Sejak lama Meta ingin mengutarakan pendapatnya soal Jovan. Tetapi Meta cukup tahu diri kalau hal itu bukanlah urusannya. Toh, kabar negatif soal Jovan belum dia lihat sendiri. Masih terhitung gosip, dan dia juga masih ingin persahabatannya baik-baik saja.

***

"Sayang, ke kantin, yuk!" Seperti biasa adegan Jovan tiba-tiba datang ke kelas Zee membuat beberapa orang bereaksi beragam. Ada yang iri, ada pula yang memandang sinis. Tidak ada yang tahu kesinisan itu ditujukan untuk Zee atau Jovan. Dan Zee memilih menutup panca inderanya demi kenyamanan pacarannya dengan Jovan. Lambat laun rasa nyaman itu memudar.

"Lagi malas, Van. Kamu aja sama teman-teman kamu, ya." Pandangan Zee mengarah ke arah luar, dari pintu tampak gengnya Jovan sudah menunggu.

"Serius? Kalo gitu bagi duit aja, ya. Biasa lupa nggak bawa, ketinggalan." Jovan nyengir kuda, tanpa rasa malu dia minta uang sama ceweknya. Sontak semua tatapan kagum berubah 180 derajat.

Tak banyak basa-basi Zee mengangsurkan selembar uang warna biru pada Jovan. Disambut senyuman paling manis menurut versi Jovan sendiri.

Tiba-tiba saja ada rasa tak nyaman lagi di hati Zee. Jovan memang lumayan sering minta uang padanya. Tidak banyak hanya sekadar buat jajan di kantin bersama gengnya. Bahkan saat isi bensin mobilnya terkadang Jovan minta padanya. Ke mana saja uang yang diberikan orang tuanya? Zee tidak punya keberanian untuk bertanya soal itu, dia takut menyinggung dan Jovan marah.

"Zee, saran gue sih, jangan dituruti terus maunya Jovan. Dia kan cowok, harusnya yang keluar uang. Maaf nih, ya. Bukan maksud mau ikut campur privasi lo."

Zee membenarkan kalimat sahabatnya. Mungkin dia sesekali menolak kemauan Jovan, lalu lihat bagaimana reaksinya. Selama ini dia terlalu takut terjadi keributan, karena Zee tidak suka itu. Dia akan langsung kalah argumen meskipun dia benar.

"Saran lo akan gue coba, Met. Meskipun jujur gue belum siap dengan hasilnya."

"Gue ada buat lo, Zee. Dukungan gue selalu full apa pun keputusan lo."

Guru mata pelajaran Matematika masuk tepat setelah Zee menandaskan nasi uduk dan minum air mineral yang dibawa Meta dari rumah. Tak lama getar halus terasa dari ponsel Zee. Dia lupa belum mematikan ponsel, bisa dihukum kalau sampai ketahuan guru. Pelajaran Matematika tidak mengijinkan siapa pun menghidupkan ponsel saat pelajaran berlangsung. Tanpa melihat isi chat dari siapa, Zee mematikan ponselnya dengan sekali tekan.

Dari pihak pengirim pesan merasa diabaikan. Ya, Jovan yang mengirim pesan pada Zee untuk membelikannya bensin lagi saat pulang nanti. Biasanya pesan akan dibalas apa pun kondisi Zee. Ini kali pertama Zee melakukannya. Jovan kesal.

***

"Zee, kamu kenapa, sih?" semprot Jovan begitu guru keluar dari kelas Zee.

Zee yang belum siap mendapat protes, mengerutkan keningnya.

"Apaan, sih? Nggak jelas banget kamu." Zee tidak mau ribut, apalagi masih banyak orang di kelas. Tapi dia masih lelah, baru saja guru memberi tugas yang nggak kira-kira jumlahnya. Ditambah lagi Jovan datang marah-marah.

"Kamu nggak balas pesanku tadi. Padahal kamu nggak pernah kayak gini."

"Yaelah, cuma nggak balas chat, to?" sindir teman Zee sambil berlalu keluar.

Zee malu. Meta yang tahu Zee pasti akan diam, coba menengahi supaya tidak ramai di kelas.

"Van, mendingan lo nunggu dulu di luar, gih! Kalo Zee udah kelar dia pasti nemuin lo. Kalian bisa ngomong nanti." Kalau bisa memilih Meta ingin bicara dengan nada tinggi. Tapi demi melihat Zee yang menahan emosi, membuat Meta akhirnya melakukan hal yang sama.

"Oke, gue keluar."

Sepeninggal Jovan, Zee mengecek ponselnya. Hatinya makin kesal setelah tahu isinya apa. Meta yang ikut membaca ikut merasakan kekesalan yang sama.

"Zee, ini saatnya lo coba tolak kemauan cowok lo. Gue bakal nungguin di depan, kalo sampe terjadi apa-apa. Gimana?"

Bersambung

Zee ini bikin geregetan, ya. Jangan mau diporotin terus, apalagi dengan kedok cinta. Hadeuh, nikmati dulu masa SMA, Sayang.

Thank you for reading
See you on the next part.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro