3. I'LL STAY BY YOUR SIDE

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Zee tidak bisa mundur lagi. Dia harus lakukan itu sekarang atau tidak sama sekali. Meta benar, dia harus lakukan ini supaya hubungannya lebih jelas dari sekarang. Kalau salah satu merasa terbebani dan tidak jujur, akan membawa dampak buruk nantinya.

Menurut Meta sih, dia lebih suka kalau mereka fokus belajar dan punya banyak teman. Soal pacaran itu bukan satu keharusan saat menjejaki SMA. Meta cukup dewasa dalam berpikir, berbeda dengan Zee yang masih menganggap usianya ya, masa menikmati waktu remaja dengan banyak kesenangan. Salah satunya punya pacar. Padahal masa remaja yang bahagia tidak luput juga dari masalah yang harus dihadapi. Dan, Zee tidak berpikir sampai ke situ.

Menapakkan kaki di area parkir, Zee sempat ragu. Tetapi dari kejauhan Meta menunggu dan Zee melihatnya mengangguk untuk meyakinkan dirinya. Zee mendekati Jovan yang sedang menekuri ponsel.

"Van, maaf lama nunggu, ya?" Zee mendekat, berusaha bersikap biasa saja seolah tidak terjadi apa-apa.

"Nggak apa-apa, kok! Gimana udah kelar? Nggak ada yang ketinggalan?"

Zee bertanya dalam hati, kenapa Jovan berubah manis kayak gini? Belum lama tadi dia marah-marah karena dia tidak membalas pesannya.

"Van, maaf soal kejadian tadi. Aku cuma nggak mau keluar kelas dan bermasalah dengan guru Matematika." Zee tidak menjawab pertanyaan Jovan, tapi justru memberikan penjelasan.

"Aku cuma ngerasa aneh aja, Zee. Bukan kebiasaan kamu mengabaikan pesanku."

"Oke, artinya semua udah clear, ya? Nggak ada masalah lagi, kan?" tanya Zee sedikit bernapas lega.

"Tapi kamu bisa beliin aku bensin kayak biasanya, kan?" Pertanyaan itu bukti kalau masalah belum selesai.

"Duh, maaf! Uangku habis buat jajan tadi, Van. Dan tadi udah aku kasih ke kamu, kan." Zee agak memelankan volume suaranya. Dia bersiap menunggu reaksi Jovan karena penolakannya.

Tangan Jovan terkepal. Untuk pesan yang diabaikan dia sudah berbaik hati. Tapi sekarang Zee juga sudah berani menolak permintaannya.
"Kamu mau perhitungan, Zee?"

Tatapan Jovan berubah tak ramah. Dia mendekati Zee yang sontak mundur ke belakang.

"Tapi memang uangku udah habis, Van. Bukan mau perhitungan, tetapi sewajarnya cowok nggak minta ke ceweknya terus-terusan." Zee merasa takut dan sedikit lega setelah mengatakan semua kalimatnya.

"Kamu berani sekarang, ya? Kalo gitu kita putus, aja!" Ancaman meluncur dari mulut Jovan.

Biasanya kalimat ini yang akan membuat Zee segera mengubah keputusannya. Tetapi kali ini dia berusaha bertahan. Mungkin ini yang terbaik untuknya, meskipun jauh di dalam hati dia masih menyayangi Jovan.

"Oke, kita putus. Sesuai kemauan kamu, Van." Tangan Zee gemetar. Sempat terbesit untuk berubah pikiran, tapi tidak. Meta benar, hal ini akan terus berulang.

"Ok, mulai sekarang kamu pulang sendiri."

"Nggak masalah, Van. Maaf udah buat kamu kecewa, dan makasih untuk kebersamaan kita."

Meta yang melihat Zee berjalan ke gerbang mulai mendekat dengan motornya. Sebuah helem diserahkan untuk dipakai sahabatnya, dan mereka berdua pergi meninggalkan Jovan yang langsung mengumbar amarah. Gagal sudah rencananya.

Zee lega sekaligus terluka. Meta sesekali melihat Zee dari kaca spion. Sahabatnya tampak tak baik-baik saja. Tetapi semua sudah terbukti kalau Jovan tidak sebaik yang Zee kira. Dia terlalu banyak mengalah dan menyusahkan diri sendiri.

Motor sampai di depan gerbang sebuah rumah yang lumayan besar.
"Zee, udah sampai." Meta mematikan mesin motornya.

Zee baru sadar dari tadi melamun.

"Makasih ya, Met. Udah nganterin sampe rumah. Mau mampir?" Zee tidak banyak berharap Meta akan mampir. Dia terbiasa langsung pulang untuk membantu menjaga adik bungsunya yang masih sekolah dasar.

"Lo tahu gue harus ngapain, Zee. Lo nggak apa-apa, kan?"

"Iya, gue nggak apa-apa. Lo pulang, gih! Jangan ngebut, lo!"

"Siip!"
Meta melajukan motornya setelah memasukkan helem ke bagasi.

Kesepian seketika menyergap suasana hati Zee. Hampir saja dia ingin menelepon Jovan. Tetapi kenyataan menyadarkan bahwa mereka baru saja putus. Rumah sebesar itu tak membuat Zee bahagia. Orang tua sibuk semua, mereka hanya memberi materi tanpa perhatian secara fisik. Seolah-olah kalau Zee terpenuhi semua keinginannya, kewajiban mereka sudah dilakukan.

Mereka hanya bereaksi saat prestasi Zee sempat menurun semester lalu. Lelah menghampiri gadis remaja itu. Bukan hanya fisik, psikisnya nyaris hancur. Tangisnya pecah. Runtuh sudah pertahanannya, rumah tidak lagi menjadi tempat pulang yang menenangkan. Ditambah lagi baru putus dari Jovan.

Ponsel Zee bergetar setelah tangisnya mereda. Layar ponselnya menampakkan nama Derren, seketika wajahnya semringah karena senang.

"Halo, Kak! Apa kabar? Iih, keluar kota nggak ajak-ajak." Zee seperti menemukan oase di padang pasir. Derren adalah seseorang yang dia kenal secara tidak sengaja. Seseorang yang dipanggil Kak, ini tinggal di sebelah rumah. Keluarga Zee dekat dengan Derren seperti saudara. Zee sering main ke rumah Derren begitu pula sebaliknya.

"Maaf, Zee. Klien minta ketemunya dadakan. Kamu udah pulang? Ke sini, dong! Ada oleh-oleh khusus buat kamu. Buruan!"

"Serius?"
Tanpa pikir panjang, dengan masih memakai seragam sekolah dan muka kusut, Zee melesat ke rumah sebelah.

"Kak Derren! Kangen, ih!" Zee langsung duduk bersila di samping Derren.

Derren tersenyum sambil geleng-geleng kepala melihat tingkah Zee. Tiba-tiba saja Zee mendekatkan wajahnya, sontak Derren agak mundur. Jantungnya berdegup kencang, tambah parah karena Zee tidak kunjung mundur. Malah mengulurkan tangannya menunjuk sebuah jerawat di keningnya.

"Kak, habis liburan kok, jerawatan?"

Derren bisa bernapas setelah Zee sempurna mengalihkan perhatiannya pada kotak di atas meja.

"Lagi salah makan, mungkin. Karena Jogja cuacanya panas, juga bisa, " dalih Derren. Padahal dia menahan rindu pada gadis di depannya. Ya, rasa yang muncul itu Derren simpan sendiri. Tak ada yang tahu, dan dia sedang mengatur perhatiannya dengan wajar. Sehingga Zee tidak merasa risih karenanya.

"Jangan-jangan Kak Derren lagi jatuh cinta, nih. Ya, kaan? Cerita dong, Kak!" Zee mencomot bakpia dan langsung memasukkan ke mulutnya.

"Kamu ini random banget, sih? Apa hubungannya jerawat sama jatuh cinta? Ntar cuci muka terus diobatin juga sembuh."

Zee jadi menyesal dengan bahasan randomnya. Dia jadi ingat lagi kalau dia baru saja putus. Air mata sudah menggenang dan siap jatuh, tapi ditahannya. Zee mengambil botol air minum di depannya.

Perubahan ekspresi muka itu tak luput dari Derren. Ada yang tidak beres dengan gadisnya. Dia sengaja tidak menegur saat Zee mengambil botol minumnya.

"Zee, are you ok? Whats wrong?"

"Nothing. Nggak ada apa-apa kok, Kak."

"Enggak, kamu bohong! Kamu habis nangis, kan?"

Perhatian ini yang Zee butuhkan dari orang tuanya. Tetapi justru orang lain selalu melakukannya. Derren sangat peka kalau Zee sedang ada masalah.
Pertahanan Zee jebol lagi. Dia nangis sambil memeluk lututnya. Derren mendekat lalu mengulurkan tangannya ke pundak Zee. Derren tak siap dengan reaksi Zee yang langsung memeluknya sambil terisak.

"Zee, kamu nggak tahu efek dari pelukan ini," batin Derren.

Mati-matian Derren menahan gejolak perasaannya. Jangan sampai merusak suasana, karena gadis kecilnya sedang rapuh.

Bersambung

Thank you for reading. See you on the next part.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro