4. TAK TAHU DIRI

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Kenapa, sih?" tanya Derren lembut.

Zee menarik dirinya dari pelukan Derren. Zee memilih diam, setelah menangis dirinya lebih rileks. Derren baru pulang dari luar kota, dia pasti lelah dan butuh istirahat. Sebab itu Zee menahan diri membuka masalahnya.

"Nggak apa-apa, Kak. Aku mau oleh-olehnya aja, terus pulang, ya."

Kening Derren berkerut. Zee sedang menahan dirinya, Derren tahu itu. Masalahnya kali ini mungkin tidak bisa dibagi dengan siapa pun.

"Itu di atas meja. Semoga kamu suka."
Derren menunjuk dengan isyarat matanya.

"Aku buka di rumah ya, Kak. Makasih. Aku pulang dulu."

Derren mengangguk. Tidak biasanya Zee bersikap begitu. Selama ini dia akan cerewet, bercerita semua yang dia alami tanpa diminta. Kali ini gadis itu bungkam, menyimpan sendiri kekalutan dan mungkin sakit hati.

Andai saja sekarang ada kemungkinan, Derren ingin terus di dekatnya, demi memastikan gadis kecilnya itu baik-baik saja. Sudah sejak lama mereka dekat, tetapi ada tembok yang menghalangi Derren mendekat. Dia hanya bisa menjaga Zee dari jarak jauh. Usia yang jadi penghalang perasaannya terucap.

"Zee, tunggu!" Derren mengejar sebelum Zee sampai keluar pagar. Dia  tak tega membiarkan semua kesedihan terjadi di depan matanya.

Zee menghentikan langkah. Dia sudah ingin sampai di kamarnya. Tetapi  juga tidak mungkin mengabaikan panggilan Derren. Akan semakin tampak kalau dia sedang tdak baik-baik saja.

"Kamu sendirian di rumah? Kalo kamu mau kita bisa nonton film di sini, sambil nunggu orang tua kamu pulang. Kebetulan Mbok Nah masak ayam bakar. Kamu belum makan, kan?" Mbok Nah adalah ART Derren yang sudah mengenal baik kebiasaan majikannya. Termasuk kehadiran Zee yang sering datang ke sana.

Derren berharap Zee mengangguk. Dia khawatir terjadi sesuatu kalau dia cuma sendirian saat kalut begini. Dan pada akhirnya, dia yang akan kepikiran hingga bolak-balik ke security rumah Zee, demi menanyakan kondisinya. Meskipun lampu kamar Zee padam belum tentu dia sudah tertidur. Dan semua itu sangat menyiksanya.

"Filmnya aku yang pilih, ya? Terus Kak Derren nggak boleh tidur kalo filmnya belum selesai." Syarat sudah dijabarkan Zee, lalu kembali diam. Tetangganya ini selalu berhasil membuatnya merasa nyaman dan kembali ke dunianya lagi.

Derren tersenyum lega. Tanpa menunda dia mengangguk setuju. Dan, keceriaan Zee perlahan kembali, meskipun rasa sakit itu masih terasa. Mereka menikmati waktu bersama dengan film, makan, dan camilan. Hingga tak terasa hari menjelang senja.

Zee tak ingin pulang, tetapi badannya sudah tak nyaman. Saat ini menuruti kemauannya lebih aman daripada menasehati untuk pulang dan mandi. Karena itu Derren mengiakan saat Zee ingin mandi di rumahnya. Oleh-oleh kaos buatan anak muda Jogja, langsung dipakai Zee sebagai ganti seragamnya. 

Waktu beranjak malam, belum juga terdengar tanda-tanda kepulangan orang tua Zee. ART di rumah Zee—Lilis mendatangi rumah Derren.

"Maaf! Mbak Zee, kira-kira mau dimasakin atau enggak, ya? Barusan Ibu nelepon katanya pulang telat lagi."

Zee menghela napas. Lagi-lagi dia akan menghabiskan malam sendirian. Derren tahu hal ini sering terjadi dan membuat Zee sangat kesepian. Apalagi saat dia ada masalah di usia remajanya.

"Sepertinya nggak usah, Mbak. Tadi udah makan, kok! Nanti sebelum jam sembilan, saya antar pulang." Derren yang mewakili Zee untuk menjawab.

Lilis balik lagi ke rumah. Film masih berlanjut, tapi perhatian Zee dan Derren sama-sama tidak fokus pada film. Hingga film berakhir justru Zee yang tertidur. Sesuai janji Derren membawa gadis itu pulang.

Dia memberi isyarat ke security untuk menemaninya ke kamar Zee.  Saat dalam gendongannya, Zee mengigau dan didengar semua orang rumah. Bahkan Zee menangis dalam tidurnya. Dengan perlahan Zee direbahkan ke tempat tidurnya. Sejenak Derren mengusap lembut rambut Zee, lalu beranjak pergi.

"Saya titip Zee. Kabari saya kalau ada apa-apa. Tapi kalau orang tuanya sudah pulang, tidak perlu dilakukan," pinta Derren ke semua orang di rumah Zee.

Mereka sudah percaya dengan Derren, bukan baru sekarang saja mereka terbantu, tapi semenjak Derren tinggal di rumah sebelah, Zee tidak pernah lagi marah-marah dan ngambek ke seluruh rumah. Mungkin marah dan kesalnya Zee sebagai bentuk protes dan pelampiasannya, karena saking tak ada orang yang bisa diajak cerita.

"Ya, Mas. Makasih sudah sering bantu kita urus Mbak Zee. Kasihan nggak ada teman cerita, kecuali Mbak Meta. Itu juga nggak bisa sering, Mas."  Lilis yang sering mendapati Zee mengurung diri di balkon kamarnya.

"Ya, saya tahu. Saya pulang dulu, kalo ponsel saya susah dihubungi langsung ke rumah, aja!"

***

Keesokan paginya, Zee bangun dengan mata berat dan kepala pusing. Dia langsung ingat kelamaan nangis kemarin. Dibukanya tirai jendela, masih gelap keadaan di luar, mungkin karena matahari belum sempurna terbit. Beberapa tempat masih terlihat gelap.

"Mbak Zee, sudah bangun?" panggil Lilis sambil bawa sarapan.

"Iya, Mbak. Masuk, aja!" Penciuman Zee langsung tertuju ke nampan yang dibawa Lilis. Rasa laparnya langsung muncul minta segera dipuaskan.

"Makasih, Mbak. Saya lapar sekali." Tak menunggu lama Zee langsung menyantap sepiring nasi goreng yang masih hangat.

Lilis lega, majikannya masih mau makan. Dia pikir karena masih sedih, majikannya tidak selera makan. Lilis segera membereskan piring kotor dan dibawa ke dapur.

Zee melihat jam masih pukul 05.00. Masih ada waktu subuh untuk menjalankan ibadah. Di ruang tengah masih sama seperti semalam. Orang tuanya tidak pulang dan Zee berusaha berpikir tentang hal lain. Novel dan materi pelajaran cukup ampuh untuk melupakan sejenak dengan masalah yang terjadi.

Waktunya sudah tiba berangkat. Zee selesai memakai sepatu saat klakson mobil berbunyi di depan rumahnya. Itu mobil Jovan, dan Zee malas meladeni. Jelas-jelas dia minta putus dan penyebabnya membuat Zee tidak percaya hingga detik ini.

"Zee, aku minta maaf. Kita balikan lagi, ya? Please! Kamu masih cinta sama aku, kan?" Jovan merengek seperti anak kecil. Membuntuti kemana pun Zee melangkah.

Dulu Zee akan kasihan padanya dan akan kembali. Tapi sekarang semua tak sama lagi. Zee sudah merasa jengah dan ingin membuka lembaran hidup baru.

Kalimat Jovan yang penuh keyakinan kalau Zee masih mencintainya,  membuat Zee yakin untuk tetap pada keputusannya. Meskipun harus kembali dia sadari, cinta itu masih tersisa dan rawan menyubur lagi.

"Sorry, Van. Aku nggak bisa, kita temenan aja, ya." Zee bersikeras menolak.

Jovan gusar, kalau dia sampai putus dari Zee, dia akan diremehkan oleh teman se-gengnya. Selama ini Jovan adalah cowok yang selalu mudah mendapatkan gebetan. Kalau bosan dia bisa minta putus semaunya. Hal ini yang Zee tak pernah mau peduli, karena dibutakan cinta masa remajanya. Zee merasa di tempat yang asing, dan dia tidak suka di sana. Dia butuh seseorang menariknya dari sana.

Jovan tidak mau pergi. Padahal Zee sudah mengeluarkan motornya dari garasi. Jovan nekat mencabut kunci motor Zee dan melemparnya ke halaman rumah Derren.

"Van, apa-apaan sih, kamu?" Zee turun dari motor dan beranjak ke rumah Derren untuk mengambil kunci motornya.

Tetapi Jovan mencegah dengan mencekal lengan Zee. Hadis itu meringis kesakitan dan minta dilepaskan.

"Van, lepasin aku! Sakit!"

"Nggak akan aku lepas sebelum kamu mau nerima aku lagi, dan kita jadian."

Situasi semakin tak terkendali, security rumah Zee datang tergopoh dari dalam dan langsung membantu.

"Heh, lepasin Mbak Zee!"

Jovan tidak bereaksi, dia lebih terima dipukul daripada menanggung malu. Dia menganggap harga dirinya lebih berharga. Cowok ini egois sekali.

Derren yang baru saja selesai mandi mendengar ribut-ribut dari rumah sebelah. Tak peduli apa yang dia pakai, Derren melesat turun untuk memastikan. Begitu melihat posisi Zee yang kesakitan, Derren menendang kaki Jovan dari arah belakang. Jovan roboh, dan Zee terlepas.

"Kalo laki-laki jangan melawan perempuan. Kamu bisa lawan saya. Lumayan buat olahraga pagi." Derren sebenarnya tidak ingin melawan remaja seperti Jovan. Tetapi cowok ini harus diberi pelajaran, tidak sepantasnya memperlakukan perempuan sekasar itu.

"Lo ini siapa, sih? Nggak usah ikut campur, deh!" Jovan makin terlihat arogan dan tidak sopan sama sekali.

"Sudah jelas saya penjaganya Zee." Derren mengambil sikap kuda-kudanya siap berkelahi.

Jovan kesal, dia tidak bisa karate atau bela diri lain. Sedangkan penjaga Zee di depannya tampak handal dengan tubuh atletisnya. Apa yang harus dia lakukan?

Bersambung

Gimana, nih? Makin arogan nih, Jovan. Kita rileks dulu, tarik napas terus embus perlahan. Jangan ikutan stres, ya.

Thank you for reading.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro