5. TAKUT

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Jovan tidak melawan Derren. Bisa dipastikan dia akan kalah melawan orang sekekar 'penjaganya' Zee. Dengan menahan rasa malu, marah, dan dendam, Jovan melangkah pergi tanpa pamit. Diliriknya sekilas Zee yang tengah menatapnya. 

Zee sontak menunduk saat tatapan mereka bertemu. Dia takut, tangannya gemetar. Tak pernah dia duga Jovan bisa sekasar itu. Selama ini dia tidak pernah memaksa atau menekan Zee dalam hal apa pun. 

"Mbak Zee, minum dulu." Lilis tergopoh datang dengan segelas air putih. Dia cemas wajah majikannya pucat pasi. 

"Zee, kamu terluka? Kita ke rumah sakit, ya?" 

"Aku nggak apa-apa, Kak." 

"Kamu nggak baik-baik saja, Zee. Lihat, tanganmu gemetar, mukamu pucat. Hari ini nggak usah ke sekolah, ya?" mohon Derrendan berharap Zee menurut. 

Zee memang takut, tetapi apa Jovan akan berani melakukan hal buruk padanya di sekolah? Kalau dia tidak masuk, lalu Brian—ayahnya tahu apa yang terjadi, dia yang akan disalahkan. Bahkan setelah keadaan seperti ini, Brian dan ibunya—Zarra, tidak lekas pulang setelah dihubungi Lilis. 

Biasanya Lilis akan bilang kalau mereka akan segera pulang, kali ini tidak. Zee sungguh merasa tidak memiliki siapa pun, bahkan orang tuanya tidak bisa dijadikan tempat berlindung di saat genting. 

Derren yang mendengar itu meraih tangan Zee dan menggenggamnya erat. Ditatapnya gadis kecil yang begitu rapuh tetapi ada saja masalah datang menghampiri. Derren melihat Zee seperti punya kekuatan yang belum pernah dia sadari. Sampai detik ini Zee hanya menangis, atau mengadu padanya. Tetapi dengan cepat pula dia akan kembali ceria. 

Namun, hari ini Zee tampak kacau. Derren tidak bisa tinggal diam. Dia ambil kunci motor Zee, dan memasukkan motor itu kembali ke garasi. Setelah pulang untuk ganti baju, Derren mengeluarkan mobil dari rumahnya. 

Dia turun dan segera menghampiri Zee. 

"Serius kamu mau sekolah?" Derren meyakinkan gadisnya lagi. 

Zee mengangguk. 

"Ok, kita berangkat sekarang. Masih ada waktu sebelum pagar sekolah kamu ditutup." 

Perlu waktu sekitar lima belas menit menuju ke sekolah. Sekarang ada waktu tiga puluh menit, dan tanpa berpikir lagi Derren mengambil tas sekolah Zee dan menarik lengannya perlahan. Zee menurut, bangun dan mengikuti langkah Derren. 

***

"Mulai hari ini laporkan semua yang terjadi di sekolah. Termasuk Jovan, masih mengganggu kamu atau tidak." Derren membuka percakapan setelah sesaat hening. 

Dia jadi ragu melanjutkan ke sekolah atau tidak. Jelas sekali kalau Zee tidak baik-baik saja. Sayang Derren tidak punya kapasitas untuk memaksa Zee. Dia mau diantar saja sudah bagus. 

"Zee, saya dan semua orang di rumah sayang sama kamu, khawatir sama kamu. Jadi, tolong jaga diri kamu demi kami. Paling tidak untuk dirimu sendiri," lanjut Derren supaya Zee tidak diam saja dan menghadapi semuanya sendiri. 

Zee mengangguk. "Aku tahu, Kak. Aku pastikan nanti sore pulang utuh, tak kurang satu apa pun." 

Derren lega, akhirnya Zee merespon juga. Peristiwa tadi sudah cukup membuatnya shock

"Ok. Saya percaya itu."  Belum ada keyakinan pasti yang dirasakan Derren. Meskipun begitu Zee sudah besar dan dia berhak untuk diberikan kepercayaan. 

Langkah awal mengingatkan Zee, sudah dilakukan Derren. Selanjutnya dia hanya bisa menunggu, dan itu sangat tidak mengenakkan. Dia pasti tidak bisa tenang di tempat kerja. Sempat pula terpikir untuk menyewa bodyguard. Namun Derren menggeleng, tidak mungkin dia melakukan itu. Zee masih punya orang tua, dia akan dianggap lancang dan mencampuri urusan pribadi keluarga. Bagaimanapun juga Derren tidak punya hubungan apa pun dengan Zee. 

"Pak Derren ada rapat sepuluh menit lagi." Sebuah pesan masuk dari sekretarisnya di kantor. 

"Kuharap kamu aman, Zee!" gumam Derren sambil menginjak gas perlahan. 

***

"Van, mantan cewek lo, tuh!" 

Jovan menoleh ke arah yang ditunjuk Jefry. Rokok yang baru dihisap langsung dilempar dan diinjak Jovan. Tak sengaja Zee juga melihat Jovan yang sedang mematikan rokok. Zee melangkah mundur, dan menabrak seseorang di belakangnya.

"Zee, kok, malah mundur?" 

Mendengar suara Meta, Zee langsung menoleh dan menggamit lengannya. 

"Kita barengan ya, Ta?" Zee berusaha tetap tenang. Dengan ekspresi yang dipaksa tertawa, Zee mengisyaratkan untuk cepat pergi dari sana. 

Meta menaruh curiga. Tidak biasanya Zee menggamit lengannya seperti ini. 

"Lo nggak apa-apa, Zee?" Meta bertanya sambil terus berjalan. 

"Eh, lo bawa nasi uduk lagi, nggak?" Zee mengalihkan pembicaraan. 

Meta paham, Zee tidak ingin membicarakan masalahnya sekarang. Jadi, dia diam dan terus berjalan sampai masuk kelas. 

Zee terduduk lemas. Keringat dingin mengucur di seluruh tubuhnya. Meta tidak bisa tinggal diam. Dia berlari menuju kantin dan membeli teh hangat. 

"Zee, minum dulu. Lo sakit, ya? Gue antar pulang? Atau mau ke UKS?" tanya Meta khawatir. 

Zee mengambil napas dalam dan mengembuskannya perlahan. Satu hal yang pernah diajarkan Derren, saat ini lumayan bekerja. 

"Ta, gue nggak apa-apa. Nanti gue pulang bareng lo, ya?" mohon Zee dengan suara lemah. 

"Iya, kita bareng nanti." Meta yakin sesuatu sudah terjadi. Dugaannya mengarah pada Jovan. 

Pelajaran berjalan dengan lancar, Zee bisa menjalani waktunya di sekolah tanpa gangguan Jovan, meskipun rasa takut masih menghantui. 

***

Derren menghubungi Zee tepat saat jam makan siang. 

"Zee, semua aman?" Suara Derren memberikan kenyamanan yang tak bisa dijelaskan dengan apa pun. 

"Ehm, iya, Kak! Aku aman, ini … lagi jajan sama Meta." Zee gugup, entah kenapa dia harus berbohong. Padahal saat itu mereka hanya di kelas. 

Mendengar namanya disebut, Meta menoleh. Bertanya siapa yang menelepon dengan mengangkat kedua alisnya. 

"Kak Derren!" bisik Zee. 

Meta mengangguk. Dia kembali fokus dengan buku Fisikanya. 

"Serius? Semua ok?" 

"Iya, aku baik-baik aja, Kak!" 

Terdengar helaan napas di seberang. Belum sempat bicara lebih banyak, bel masuk berbunyi. Derren juga mendengar, setelah berjanji akan menjemput, Derren menutup obrolan. 

Rencana awal, Derren akan pulang lebih awal. Jadi sampai di sekolah sebelum bel pulang dibunyikan. Sayang karena ada laporan yang harus diedit lagi, Derren agak terlambat keluar area kantor. Secepat mungkin dia lajukan mobil supaya cepat sampai. Jam di pergelangan tangan kirinya, sudah menunjukkan, ini lewat sepuluh menit dari waktu bel pulang dibunyikan. 

Zee ditemani Meta menunggu di dekat pagar depan. Mendadak Meta ingin buang air kecil. 

"Zee, gue ke toilet sebentar, ya? Pengen pipis." 

Zee gelisah, dia akan sendirian menunggu di sana. Melihat pos satpam juga pas sekali orangnya tidak ada. Zee menenangkan diri, toilet tidak jauh dan banyak kendaraan bolak-balik. Meskipun ada di luar gerbang sekolah banyak orang juga ada disana. Zee akan berteriak kalau sampai terjadi sesuatu. Zee sempat melihat mobil Jovan masih di sana. Itu artinya cowok itu belum pulang. 

Karena sudah tak tahan Meta langsung melesat ke toilet. 

"Gue janji nggak lama." 

Zee mengangguk. Matanya melihat ke berbagai arah. Mungkin atau tidak ya, seharusnya dia tidak shock seperti tadi. Jovan memang kasar, tetapi baru kali ini, kan. Sebelumnya tidak pernah. Yang tidak dimengerti kenapa Zee setakut ini?  

Sedang berpikir sendirian, Zee tidak menyadari seseorang mendekat ke arahnya. Perlahan dan tanpa suara. 

Bersambung

Siapa, tuh?

Thank you for reading, Guys.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro