6.ADA APA INI?

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Zee takut kalau Jovan datang lagi mengganggu. Saat mendengar suara langkah kaki di belakangnya, Zee menoleh. Dia reflek teriak tapi tangan orang itu segera membungkamnya. 

"Ini aku, Zee. Jangan takut!" Jovan melepaskan tangannya. Dia mundur beberapa langkah. 

"Ka … kamu mau apa?" tanya Zee gugup. 

Banyak siswa lain mondar-mandir tapi tidak berani ikut campur. Yang mereka tahu Zee dan Jovan memang pacaran, wajar kalau keduanya ngobrol atau bertengkar. Terlepas dari bagaimana Jovan dan cara Zee menerima kekurangan itu. Toh, selama ini keburukan Jovan, Zee pun sudah tahu. 

"Tinggalin aku, Van! Kumohon!" Zee berusaha melawan rasa takutnya. Dia minta Jovan pergi. 

"Jangan gini dong, Zee! Aku masih sayang sama kamu. Kita balikan, ya? Aku akan berubah. Janji." Jovan tidak menyerah, dia harus balikan sama Zee kalau tidak mau kalah taruhan. Masa taruhannya seminggu lagi, dan dia akan campakkan cewek di depannya itu. 

"Nggak bisa, Van." 

Jovan berniat kasar lagi pada Zee tapi urung karena orang-orang mulai curiga dengan interaksi keduanya. 

"Kamu akan menyesal, Zee. Kita nggak bisa  putus gitu, aja!" Jovan menatap tajam Zee, penuh ancaman dan amarah. 

"Aku bisa laporin kamu karena melakukan pengancaman di sekolah, Jovan." Derren t8ba tepat waktu. 

Tidak hanya Jovan yang terkejut dan langsung menoleh. Zee tidak melepas kesempatan untuk menjauh dan berlindung di balik punggung Derren. Dari kejauhan Meta langsung bergegas saat melihat Jovan seperti bikin ulah lagi. 

"Zee, sorry, tadi antri di toilet. Kamu nggak apa-apa?" Meta panik Jovan bisa nekat. Tetapi dia lega mengetahui sahabatnya tidak terluka. 

"Van, lo kebangetan! Zee udah nggak mau jangan di paksa, dong! Nggak bisa cari cewek lain yang mau sama lo?" semprot Meta dan bersiap memukulnya. 

"Jangan sia-siain tenaga kamu. Dia udah ngerti, kok!" cegah Derren sambil menatap Jovan dan memberikan isyarat supaya dia pergi. 

Jovan kalah jumlah orang. Dia tahu diri dan tidak mungkin melawan Meta yang jago taekwondo. Ditambah tetangga Zee yang jago karate. Dia memilih aman dan meninggalkan tempat itu. 

Zee pulang bersama Derren. 

"Kamu mau langsung pulang atau …." 

"Zee nggak mau pulang." Zee menunduk lalu melihat luar dari sisi jendela. 

"Kita makan, ya? Kamu mau apa?" Derren berusaha tidak membahas soal Jovan atau bertanya alasan Zee tidak mau pulang. 

"Rumah kan cuma Zee sendiri, Kak. Papa masih di luar kota. Bisa dipastikan Mama juga nggak pulang. Zee tadi minta Mbak Lilis masak buat orang rumah, aja." Zee asyik sendiri. Dia melihat orang-orang yang bekerja keras di jalanan tapi mereka tampak bahagia. 

Derren memahami perasaan Zee. Kesepian adalah satu hal yang paling dibencinya. Mungkin kalau dia ada di posisi Zee, dia akan lakukan hal yang sama. Malas pulang ke rumah kalau akhirnya cuma ketemu ART. Bagaimanapun seorang anak masih butuh orang tuanya. 

Awalnya selera makan Zee entah hilang ke mana. Tetapi dia akui kalau pilihan Derren memilihkan menu tak pernah salah. Perutnya keroncongan saat seporsi mi ayam dengan ceker dan bakso tersaji di depannya. 

"Saos dan sambalnya jangan banyak-banyak, ya." Derren menuangkan saos dan sambal di pinggir mangkuk milik Zee. 

"Boleh tambah sedikit sambalnya, nggak? Janji cuma sedikit." 

Derren mengangkat alisnya, dia sudah menuangkan cukup sambal, tapi gadis itu masih bilang kurang. 

"Serius, ini kurang dikiiiit," rengek Zee dengan tatapan memohon. 

Derren mengangguk. Dia tuangkan lagi sedikit sambal, lalu meracik mi miliknya. Dalam hati dia lega Zee mau makan. Bahkan selahap ini, semoga saja dia bisa segera move on dari Jovan.

***

Zee sampai rumah sudah sore. Derren sendiri langsung memarkirkan mobil di garasi rumahnya. Tak menunggu lama dia segera membersihkan diri dan sibuk lagi dengan pekerjaannya. 

Usia muda sudah punya perusahaan iklan sendiri merupakan kebanggaan tersendiri bagi Derren. Dia punya karyawan dan tim yang selama ini cukup loyal dan bisa dipercaya. Sebagai pria dia sudah memiliki semua hal yang bisa memikat hati wanita, tampan, kaya, dan dia sangat menghargai perempuan. Tetapi hatinya sudah terlanjur jatuh pada satu orang. Zee. 

Gadis belia itu sudah lancang mencuri hatinya. Tanpa permisi mengajak pergi tanpa rencana lebih dulu. Kerandoman tingkah remaja dan kisah hidupnya, telah mengikat hati Derren begitu saja. 

"Lama-lama aku beneran gila kalau kepikiran Zee terus. Mending urus kerjaan." Derren menggerutu sambil membuat kopi untuk dirinya. Dia tidak pernah ingin merepotkan Mbok Nah untuk hal sepele. Pria itu akan lakukan sendiri, apalagi Mbok Nah semakin tua. Mana tega menyuruhnya melakukan banyak hal. 

"Mas, kok, bikin sendiri kopinya. Bilang saja sama Mbok." Mbok Nah tergopoh datang dari belakang setelah menyiram tanaman bunga milik majikannya. 

"Nggak apa-apa, Mbok. Cuma secangkir kopi apa susahnya. Mbok istirahat saja, nanti kalau saya mau makan, biar saya angetin sendiri." Derren menepuk pundak Mbok Nah lembut, lalu bergegas ke ruang kerjanya. 

Di rumah, Zee terkejut melihat Brian dan Zarra ada di rumah. Perasaan tadi tidak ada mobil terparkir di depan. 

"Baru pulang, Zee?" tanya Brian lalu meletakkan buku yang sedanng dibacanya. 

"Iya, Pa. Maaf, Zee pulang agak telat." Zee langsung menyesali ucapannya. Mana Brian tahu jam berapa dia pulang sekolah? Tidak seharusnya dia minta maaf, toh, keduanya tidak peduli. Bahkan jika Zee pulang malam sekalipun. 

"Nggak apa-apa, Zee. Kamu mandi terus makan. Mama sudah masak buat kamu." Zarra menimpali sambil meletakkan secangkir kopi untuk suaminya. 

Zee merasa ada yang aneh. Kebiasaan yang tak biasa begini malah membuatnya takut. 

Bersambung

Di luar kebiasaan ortunya Zee, nih. Tapi gak boleh buruk sangka dulu, kan.

Thank you for reading. See you on the next chapter.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro