7. NIGHTMARE FOR ZEE

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

CERAI? 

Itu yang harus didengar Zee setelah makan malam usai. Semua seperti mimpi dan Zee ingin segera bangun dari tidurnya. Tetapi ini bukan mimpi, selama ini dia sudah sering ditinggal karena alasan pekerjaan. Sekarang dengan mudahnya mereka mengatakan hal yang tidak pernah terpikir sedikitpun. 

"Kami sudah tidak cocok satu sama lain, Sayang. Jadi sekarang kamu bebas pilih mau ikut Papa atau Mama." 

Seketika amarah menguasai gadis remaja itu. Kata cerai saja masih membuatnya shock dan tidak mampu berkata-kata. Eh, ditambah lagi dengan permintaan memilih di antara keduanya. 

"Ini omong kosong. Kalian nggak pernah anggap Zee hidup, ya? Kalian ambil keputusan sendiri, tanpa memedulikan hak Zee untuk tahu." 

"Karena kamu nggak perlu ikut mikir, Nak. Masalahnya terjadi di antara kami dan kamu nggak ada sangkut pautnya dengan itu." Zarra menjelaskan dengan derai air mata. 

Sedangkan Brian, jangankan peduli, matanya tidak bisa lepas dari layar ponsel. Zee gerah melihat Brian yang super-duper cuek pada sekitarnya. 

"Papa sepertinya sudah anggap Zee mati, Ma. Persoalan sepenting ini juga nggak ada pentingnya buat dia." 

Sindiran Zee langsung membuat Brian menatap tajam padanya. 

"Seperti itu hasil didikan kamu, Ra. Bahkan hormat saja enggak. Sepertinya mendadak dia amnesia kalau selama ini yang kasih dia makan, uang saku berlebih itu papanya." 

Miris. Hal itu tak bisa dipungkiri Zee sampai detik ini. Bahkan beberapa tahun ke depan, pasokan dana pendidikan bersumber dari laki-laki yang disebutnya PAPA. 

"Ya, Pa! Sayangnya Zee harus terima fakta itu. Terima kasih sudah diingatkan. Selama ini Zee ditinggal, bertemu kalian bisa dihitung dengan jari. Tapi Zee nggak protes karena kalian bekerja untuk Zee juga. Dan sekarang, Zee harus menerima  perpisahan kalian. Apa Zee nggak boleh sedih? Nggak boleh marah?"

Bahkan apa yang terjadi pada Zee akhir-akhir ini pun mereka pasti nggak tahu. 

"Zee nggak mau ikut kalian. Zee akan hidup sendiri aja. Sepertinya itu adil, kan? Usiaku sudah 17 tahun dan berhak menentukan hidup sendiri." 

Air mata yang sedari tadi mengalir deras, diusap Zee dengan kasar. Langkahnya tergesa menuju kamar di lantai atas. Dikuncinya pintu rapat-rapat. Zee yakin setelah dirinya pergi, kedua orang tuanya akan berdebat hebat. Dia tidak sudi mendengarkan tuduhan yang saling dilemparkan. 

To Derren:
Kak, bisa bantu cari kos yang aman? 

Beberapa detik pesannya tak terbaca. Zee menghela napas, sama siapa lagi dia percaya dan minta tolong selain Derren. Tetapi sepertinya dia juga tidak bisa diganggu. 

Derren yang berjibaku dengan banyak berkas, masih tidak menyadari kalau ada pesan masuk. Hari ini banyak hal yang harus dicek. Jelang tengah malam, Derren mengecek baterai ponselnya. Keningnya berkerut melihat ada pesan dari Zee. 

Ada yang tidak beres dengan gadis kecilnya. Kenapa tiba-tiba menanyakan tentang kos? Dia mau pindah? Kenapa? Hampir saja dia menelepon kalau tidak ingat sekarang sudah sangat malam. Apalagi orang tua Zee ada di rumah, bisa kena damprat dia kalau ketahuan. 

Aneh. Seharusnya Zee senang seperti biasanya kalau orang tuanya pulang. Bahkan dia seperti lupa diri, tak sekalipun mengirim pesan, karena quality time, katanya. 

Hampir saja Derren menjatuhkan ponsel saat Zee meneleponnya. Tambah janggal lagi, nih. Sudah jam 12.30 dan gadis nakal itu belum tidur juga. Minta diomelin nih, anak.

"Zee, kamu …." Omelan berhenti di ujung lidah, saat isakan terdengar dari seberang. 

"Kak Derren jahat. Masa lama banget balas pesannya. Lagi sibuk, ya?" 

"Saya pikir kamu lagi quality time sama ortu. Niatnya mau bales tadi, takut kamunya udah tidur." 

"Zee mau ngekos, Kak. Bantu nyari, dong!" Zee berusaha untuk menutupi sedihnya. Suaranya masih serak, tapi nada bicaranya seolah tak terjadi apa-apa. 

"Saya akan bantu. Tapi ada  syaratnya, kita carinya besok. Sekarang kamu tidur dulu." 

"Nggak bisa." 

"Doa, Zee." 

"Udah juga, tapi kayaknya aku kebanyakan dosa, makanya Allah nggak mau dengerin." 

"Husst, nggak boleh ngomong, gitu!" 

Anak ini kalau sudah merengek, membuat Derren hilang akal. Inginnya saat itu juga dia datang dan menenangkan gadis cilik itu. 

"Zee, listen! Doanya yang tulus. Minta kalau Zee pengen tidur nyenyak, karena besok masih harus sekolah." 

"Besok juga mau cari kos." 

Derren menghela napas. Sabar sabar. 

"Iya, besok kita cari kos. Tidur, ya." 

"Ok, thank you, Kak." 

Sambungan terputus dari Zee. Ada kejadian apa di rumah sebelah? Kantuknya belum datang juga. Derren coba mengambil satu buku ke tempat tidur. Tak lama dia mengantuk dan terlelap. 

***

"Hai, selamat pagi, Derren. Apa kabar?" 

"Baik, Mas Bri. Mas sendiri lancar kan proyeknya?" 

Pagi itu Derren membersihkan mobilnya. Kebetulan Brian juga melakukan hal yang sama, jadi dia menyapa. Mungkin sekadar basa-basi tetapi sebagai tetangga yang baik, Derren menyambut ramah, dong! 

"Ya, begitulah, ada yang gagal juga ikut tender. So far masih bisa ditangani. Kamu sendiri makin sukses iklannya. Tim kreatifnya keren, sih!" 

Derren mengangguk. Dia akui timnya sangat kompeten di bidangnya masing-masing. 

"Kak Derren, udah lama?" Zee keluar rumah dengan seragam lengkap. 

"Zee udah siap? Uang saku masih ada, atau perlu ditambah lagi?" 

Pertanyaan penuh perhatian begini membuat Zee tak berdaya. Dia menolak menerima tambahan uang. Tabungannya masih lebih dari cukup kalau hanya untuk mencari tempat tinggal. 

"Zee, Papa ambil kunci mobil dulu, ya."

"Nggak perlu, Pa. Makasih." 

Zee langsung menuju halaman rumah Derren tanpa memedulikan panggilan mamanya. 

Bersambung 

Zee wajar kan, kalo kesal, Guys. Dia nggak minta lebih padahal.

Thank you for reading. See you on the next chapter.

Stay safe and healthy.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro