8. BERUSAHA TETAP TENANG

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Kamu sekolah sampai jam berapa?" 

Sebenarnya Derren ingin bertanya saat itu juga, karena masalahnya tak sesederhana yang dia pikirkan. Tetapi waktunya tidak tepat. Lebih baik Zee fokus belajar dulu, baru dia ajak diskusi sepulang sekolah. 

"Kenapa? Kak Derren nggak bisa jemput? Kalo iya, aku cari kos sama Meta, aja. Dia pasti tahu, barangkali dia tahu kos puteri yang aman di mana." 

Derren menghela napas lalu mngembuskan perlahan. Asli sih, masalah Zee parah. Atau mungkin lebih tepat masalah orang tuanya. Kalau sudah ranah keluarga, dirinya tidak ada hak ikut campur. Itu sepenuhnya menjadi hak orang tua Zee. 

Derren mengingat kembali interaksi dirinya dengan Meta selama ini sudah sangat dalam. Apa masalah ini akan jadi pengecualian? Padahal Zee sangat tidak baik-baik saja. 

"Kak Derren nggak usah jemput. Nanti …." 

"Saya bisa jemput, Zee. Makanya saya tanya hari ini pulang jam berapa?" 

"Kayaknya seperti biasa, Kak. Yakin Kak Derren bisa jemput? Atau nanti aku hubungi Kakak, deh." 

"Ya, sudah. Kabari saya nanti, jangan sampai enggak" 

"Issh, pemaksaan." Zee tersenyum. Ada hangat merasuki hati saat perhatian Derren tertuju padanya. 

Sebelum Zee turun, Derren menahan lengannya. 

"Zee, saya minta fokus belajar saja dulu. Soal kos dan yang lain kita omongin nanti sepulang kamu sekolah." 

"Ya, Kak. Aku turun, ya."

Derren mengangguk. Mobilnya melaju setelah Zee masuk gerbang sekolahnya. Masalah ini terlalu riskan bagi Zee. Dia kelas XII dan sebentar lagi ujian akhir. Cita-citanya sudah di depan mata. Meskipun Derren belum tahu gadis kecilnya akan kuliah di mana, dia yakin pasti sudah punya rencana bersama teman atau dirinya sendiri. 

"Selamat pagi, Derren. Apa kabar, lo?" 

"Pagi, Yo! Gimana klien yang lo tangani ada kendala?" 

Aryo mengikuti langkah Derren ke ruangannya. Sudah lama dia jadi rekan bisnis sahabatnya itu. Bahkan sejak mereka belum punya gedung sendiri. Karyawan pun belum punya, semua mereka selesaikan berdua. 

"Semua beres, cuma ada permintaan supaya konsep untuk video nanti memakai kekasih si klien ini. Dia nggak mau orang lain." 

"Nggak masalah, dong. Malahan bisa menghemat biaya produksi. Nggak masalah buat gue. So, show must go on." 

Derren tidak kepikiran untuk bertanya soal identitas klien yang didapat Aryo. Dia lebuh fokus pada ada tidaknya kendala, soal dana, lalu konsep membuatnya klien menginginkan seperti apa, hal-hal itulah yang menjadi prioritas. 

"Yo, lo kan baru balik, nih! Kalau kita makan malam weekend ini, ok?" Derren ingin diskusi dengan sahabatnya itu. Dia tidak mungkin menyimpan hal pribadi ke orang yang tidak dia percaya. 

"Weekend banget nih, Bro?" Aryo kira selama dia tinggal, Derren bakalan udah dapat pasangan. 

"Nggak usah nyindir, deh! Gue pengen bahas sesuatu sama lo, nih." 

"Kalau bahas kerjaan, sorry, mending gue ke klub." 

Pergaulan Aryo ini fleksibel. Diajak lurus bisa, diajak belok juga ikut. Satu hal yang Derren acungi jempol, Aryo bakal nolak minum alkohol apalagi mabuk. Soal perempuan, bukan dia yang player, tapi memang kegantengannya bikin cewek mendekat dengan sendirinya. 

"Sebagai bayaran ntar gue traktir ke  klub. Gimana?" 

"Serius?" Aryo tak mau melepaskan kesempatan. Selain gratisan, dia mau sahabatnya juga refreshing sekali-kali. Namanya cowok dewasa, tidak masalah ke klub selama bisa jaga diri. 

"Hmm. Gue pergi dulu, lo atur lagi konsep baru buat klien lo. Gue mau lihat ntar." 

Aryo mencebik, status sahabat tak ada artinya kalau sudah menyangkut pekerjaan. 

***

Meeting baru saja selesai. Sudah jam 13.45 tapi Zee belum kasih kabar sama  sekali. Biasanya kelas berakhir jam 15.30, Derren harus memastikan sebelum Zee melakukan semuanya sendiri. 

Kenapa harus Zee yang dia cinta, sih? Terkadang ingin sekali dia pindah saja ke lain hati. Apa lagi usianya jauh di atas Zee. Yang paling penting Zee masih menganggapnya sebatas teman dekat. Zee masih memilih kekasih yang seumuran dengannya. Meskipun dia baru putus dan galau. 

"Pak Derren, mau dipesankan makan siang? Sudah lewat sekali waktunya, jadi Bapak harus makan." Sekretaris pribadinya Derren masuk ke ruangannya begitu melihatnya sudah selesai meeting

"Saya sebentar lagi keluar. Udah nggak ada jadwal meeting, kan?" Derren merapikan meja dan memasukkan laptop ke dalam tasnya. 

"Tidak, Pak. Jadwal Bapak ada lagi besok jam 8, meeting di kantor klien." 

Derren teringat sesuatu. "Oiya, kliennya Aryo, ya? Memangnya saya harus ikut, bukannya Aryo aja sudah cukup?" 

"Info dari Pak Aryo, Pak Derren mau lihat langsung konsep video yang baru." 

Ide yang Aryo punya selalu segar dan klien suka. Baru kali ini ada klien yang kurang cocok. Ya, sudah bukan masalah kalau besok dia ikut meeting juga. Paling enggak dia tidak lepas tangan jika ada masalah. 

Derren mengiakan lalu segera melangkah keluar kantor. Tepat setelah masuk mobil ponselnya bergetar. 

"Ya, Zee. Udah pulang?" 

"Kak Derren masih di kantor?" 

"Udah di jalan, kok! Kamu tunggu sebentar, ya. Please, jangan kabur." 

Di sekolah, sebenarnya Zee sudah bersiap pulang bareng Meta. Dia ingin cerita pada seseorang, belum ada seorang pun yang tahu termasuk Derren. Tetapi mendengar suara Derren yang memohon, membuat Zee ragu. 

"Ta, gue nggak jadi ke rumah lo. Weekend deh, gue nginep ke rumah lo. Boleh, kan?" 

"Boleh, dong! Lo dijemput kakak rasa pacar lo, ya?" 

"Apaan, sih, sebutannya gitu banget. Nggak mungkinlah dia tertarik sama gue." 

Meta tidak melanjutkan bicara apa yang dia pikirkan. Itu bukan areanya lagi, toh, belum ada kepastian juga. Perhatian Derren selama ini mungkin karena dia tetangga dan simpati melihat situasi sahabatnya. 

"Lo nggak apa-apa nunggu sendirian? Kalau Jovan deketin lagi, gimana?" 

"Mana berani dia ganggu lagi, kecuali pengen diskors silakan saja." 

Meta tertawa. Dia lega Zee udah bisa mengatasi rasa takutnya karena mantan pacarnya itu. Setelah pasti Zee bisa jaga diri, Meta melajukan motornya dengan kecepatan sedang. Dia akan menelepon Zee lagi nanti malam. Sebagai sahabat dia merasa ada yang disembunyikan Zee. Entah, karena alasan apa. Yang pasti Zee tidak baik-baik saja. 

"Halo, cewek! Sendirian aja, nih?" 

Kening Zee berkerut mengetahui ada seseorang menggodanya. 

Bersambung

Siapa nih, yang iseng? Jovankah?

Thank you for reading. See you on the next part, ya.


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro