👑30👑

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Hawa lembab menempel ke kulit ketika langkah kaki masuk ke sebuah lorong gelap yang kanan kiri hanya terdapat sel-sel penjara. Aku menutupi kepala dengan tudung, dan menampakkan sedikit helai rambut hitam keluar dari jubah ini. Sedangkan Bea berjalan di depanku dengan sebuah lentera kecil. Tempat kotor berbau kototan tikus ini mengingatkanku dengan rumah lamaku dulu. Bahkan atapnya sama-sama bocor. Tempat ini terasa dingin, dan akan semakin dingin saat masuk musim dingin. Tempat ini adalah penjara khusus untuk daerah Duchy Lote.

Beberapa penjaga berjaga acak di sudut-sudut penjara, dan lebih banyak sel kosong daripada tersisi. Alasannya bukan karena minimnya kejahatan di sini. Melainkan orang-orang ini hanya sementara tinggal di sel, sebelum akhirnya di eksekusi mati. Bahkan jika kau mencuri makanan milik Duke, kau bisa kehilangan kepala. Seperti yang terjadi pada Bea, padahal dia hanya mengatakan kebenaran, namun nyawanya harus melayang. Untung sekarang dia berada di sisiku.

"Lady, di sini," cahaya lampu Bea menyorot sebuah sel gelap yang hanya di terangi oleh satu obor di depannya.

Aku memperhatikan sekeliling, tidak ada orang. Lagipula siapa akan mau menjaga orang yang sebentar lagi akan meninggal. Bahkan orang ini sudah tidak memiliki keluarga satupun. Bodohnya mereka mudah percaya saat kukatakan aku saudara jauh Layla.

Sosok wanita berbaju kumal duduk meringkuk di pinggir sel sambil menatap piring kosong. Tangan dan kakinya terbogol, dan mulutnya sudah tidak tersumpal kain. Kurasa merela mulai membiarkan dia makan makanan terakhir sebelum eksekusi. Aku melepas tudung, dan seketika rambut hitamku berubah menjadi putih. Aku maju ke depan, dan memperlihatkan sosokku pada Layla, anakku yang kisahnya berbanding terbalik sekarang.

Dia menatapku dengan mata frustasi. Aku memberinya sedikit senyum. "Lama tidak jumpa, terakhir kita bertemu saat minum tehku dengan Duke. Saat itu jauh lebih baik."

"Kau? Apa kau akan mengutukku seperti yang lain?" Tanyanya. Dia sangat berani mengatakan itu. Wajar saja, bersikap sopan sesuai etika bangsawan dan orang biasa tetap tidak akan menyelamatkannya.

"Tidak, aku akan menyelamatkanmu. Tapi itu tergantung jawabanmu." Matanya semakin terbuka, sebelumnya dia menatapku dengan mata sipit. Aku memudarkan senyumku, dan memberinya tatapan tajam. "Dari mana kau dapat ide menuangkan ramuan itu ke Duke?" Layla melongok mendengarnya.

Aku tahu Layla, dia mengalami masa lalu yang sulit, namun bukan orang yang serakah, setidaknya itu dulu saat dia masih kecil. Dia menikahi Sam dengan alasan cinta, dan menolak orang lain yang juga berusaha mendekatinya. Lalu pasti ada alasan yang mengubah sosok lugu Layla dulu menjadi orang serakah seperti ini. Aku tidak bisa bilang Ryan tetap mencintainya, meski bukan karena ramuan.

Layla menyengir padaku. "Untuk apa kau ingin tahu tentang itu. Kau senang bukan aku seperti ini? Aku membuat hubunganmu hancur. Jadi ... Jangan berlagak mengulurkan tangan padaku seperti ini!" Hardiknya.

Aku tidak dendam, karena aku bukan Real. Dan walau bukan karenamu, aku tetap tidak menginginkan pertuangan ini. "Kau hanya perlu menjawabnya, jika tidak mau, maka sudahlah. Lagipula eksekusimu sudah di putuskan." Aku kembali tersenyum. "Harusnya tidak kubuat kau dan Sam bercerai jika tahu kau akan mati dengan mudah. Membuang waktuku saja." Kututup mulutku dengan tangan. "Ekpresinya saat melihat kalian berciuman sangat menarik. Sayang sekali hanya aku yang melihatnya."

Layla nampak terteguk. Dia mematung benerapa saat. Sebelum dengan agresif memegang sel penjara dan menggoyangkannya. "Dasar kau wanita licik! Bisa-bisanya kau melakukan itu. Apa kaum kalian suka mempermainkan orang seperti kami?"

"Untuk apa kau marah. Padahal kau nampak lega ketika menandatangani surat perceraian. Kau fikir akan menjadi Duchess setelahnya? Ehh ... Kuharap mimpimu itu terwujud di kehidupan selanjutnya." Layla mengeram tanpa mengatakan kalimat. Apapun yang ia katakan tetap saja dia yang salah. Dia juga tidak mau bekerja sama. "Sayang sekali aku tidak bisa menyelamatkanmu. Aku akan membalas surat Sam dengan kabar kematianmu. Pasti menarik."

Aku menatapnya dengan sinis, dan membalikkan badan. Namun suara borgol yang bertabrakan menggema keras di lorong itu menghentikanku. Aku kembali mengintip Layla yang kini meneteskam air mata sambil menyengir lebar, ekpresi yang sangat mengerikan seperti orang gila. Siapun akan gila jika ada di posisinya.

"Orang sepertimu tidak akan merasakan yang ku rasakan. Bagaimana penderitaan kami. Bagaimana kesedihan kami. Kau dapat mendapatkan apa yang kau inginkan tanpa susah payah. Sedangkan kami harus menaruhkan segalanya hanya untuk bahagia," sentaknya dengan mata penuh kebencian padaku.

Aku menghela nafas. "Kau fikir aku bahagia?" Aku membalikan badan dan berjalan kembali mendekatinya. Senyumku merkah begitu saja, dengan ingatan masa lalu yang berusaha ku tutup. "Kau fikir aku bahagia? Kau bahkan tidak mengenaliku. Bagaimana hidupku kau tidak tahu. Aku justru merasa iri kau hidup memiliki orang yang kau cintai. Sedangkan aku ...?" Aku meneguk air liur berat. Dia hanya mengenali Real, bukan aku yang kini di dalamnya.

"Orang tuaku membenciku, aku tidak punya teman untuk berbagai, atau rumah nyaman untuk melepas lelah." Baik sekolah atau rumah sama saja, semua terasa menyakitkan. Di rumah aku mendapat luka, dan di sekolah aku juga semakin terluka. "Dan di saat aku berharap tentang cinta, semuanya itu patah dan hanya kata-kata manis di depan. Sangat manis, sampai terasa sangat pahit di belakang dan membuaku gila. Aku hanya bertemu dengan orang-orang yang menyakitiku." Cinta hanya sebuah imajinasi yang buta. Tidak ada akhir selain kepahitan di sana. Aku mendengus keras. "Tapi kau tidak akan mengerti, orang sepertimu hanya berfikir bahwa dirimu saja yang menderita. Tanpa tahu bahwa orang yang kufikir bahagia juga menderita." Aku menunjuk diriku sendiri. "Aku sendiri ... Dan kesepian di dunia ini." Baik di sini ataupun sana, sama saja. Semua orang terasa asing bagiku, dan aku tidak bisa mempercayai siapun sepenuhnya. Aku bahkan tidak melihat manusia sebagaimana manusia.

Dia membungkam, sudah kubilang percuma saja berbicara pada tembok yang hanya memikirkan dirinya sendiri. Kata-kata yang kau katakan hanya sesuai untuk Real, bukan aku. Bagaimana aku bertahan di rumah yang hampir sama seperti penjara ini, bagaimana rasanya jika semua orang menjauhmu, dan kau tidak punya teman berbagi. Aku sempat berharap dicintai dari seseorang, namun dia justru mengkhianatiku. Berulang kali aku menjalin hubungan dengan seseorang dengan harapan bisa bahagia, namun justru semaunya berkahir menyakitkan. Aku menjadi gila karenanya, dan berbalik menyakiti orang-orang, setidaknya orang lain merasakan penderitaan yang kurasakan. Namun tetap tidak ada hasilnya.

Aku terus berharap Tuhan mencabut perasanku, akan lebih baik jika aku hidup tanpa merasakan apa-apa. Setidaknya aku tidak perlu mencari tempat menangis, atau pelampiasan yang justru semakin merusak diriku sendiri. Aku seperti terombang-ambing di lautan dan tidak tahu harus berbuat apa selain menunggu Kematian. Dan ada titik di mana aku merasa hidup, namun seperti tidak punya jiwa dalam diriku. Memakai topeng tebal dan menjagi badut di depan semua orang. Di luar aku bahagia, tapi di dalam sungguh aku tersiksa, itu kenyataannya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro