👑32👑

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Kau Real?" Tanyaku pada wanita berambut putih salju itu. Dia memberi senyum simpul yang begitu lembut. Dia Real, namun sedikit nampak lebih tua daripada Real yang biasanya.

"Akhirnya kita bisa bertemu Ria," ujarnya. Bahkan suaranya terasa hangat. "Kau pasti bingung."

Aku menyengir mendengar itu. "Kurasa itu tidak perlu di tanyakan lagi bukan?" Aku bahkan merasa hampir gila. "Kau akan menjelaskannya bukan?"

Dia melebarkan senyumannya. "Kau benar. Sebelumnya aku ingin mengenalkan diriku." Dia meletakkan telapak tangan kanan ke depan dada. "Aku Real, lebih tepatnya Real dari time line yang kau lalui. Dalam artian aku Real dari alur yang kau tulis."

"Jadi ... Kehidupan Real yang kujalani selama ini berbeda dari Real yang kutahu," sahutku. Aku tidak tahu harus memsang ekpresi apa lagi.

Dia mengangguk. "Real dari time line mu sudah tiada di usia 17 tahun. Tepatnya saat dia demam tinggi, dan di situlah kau masuk sebelum tubuh Real membusuk," jelasnya. Dalam artian selama ini Real yang sebenarnya sudah mati.

"Jadi ... Aku tidak bisa kembali, begitupun Real? Kenapa aku bisa di sini?" Aku berusaha menahan nada tinggi.

Real menggeleng. "Ria di sana masih hidup. Time line Ria terhenti, dia dan dunianya hanya tertidur. Sayangnya aku tidak tahu lebih lanjut."

"Jadi aku bisa kembali?"

"Kemungkinan iya, tapi itu berarti Real akan benar-benar tiada seutuhnya."

Jika aku keluar, otomatis ini akan menjadi tubuh yang kosong. Pada akhirnya Real Mati dengan malang. Di saat tunangannya masih berhubungan dengan wanita lain. Entah kenapa aku merasa semua yang kulakukan terasa sia-sia. Melakukan peran bodoh dengan polosnya berfikir dia akan mendapat akhir bahagia. Padahal Real sudah mati sejak aku membuka mata di sini. Lalu ... Untuk apa aku bertahan sekarang? Andai kau tahu sejak awal tentang ini, aku akan pergi dari Mansion dan mengembara sampai bisa kembali ke duniaku sebenarnya.

"Namun aku punya dua opini mengapa kau bisa ke sini. Tentu saja itu hanya pendapatku," lanjut Real.

"Katakan saja."

"Saat aku berusia 17 tahun dan mengalami demam tinggi yang sama, aku berfikir umurku tidak panjang. Dan saat itu aku tertarik dengan batu-batu sihir dari kerajaan Cleopat."

"Batu pemindah jiwa," gumamku.

"Benar, kemungkinan Real time line mu juga. Dan dia sempat bermain dengan batu sihir itu berharap hidupnya panjang. Namun jutsru dia menyedot jiwa yang lain masuk ke tubuhnya."

"Aku juga sempat berfikir itu ada hubungannya dengan pemindahan jiwa." Namun aku tidak menemukan titik terang tentang itu. Karena ingatan Real yang kupunya terbatas. "Lalu berikutnya?"

"Ini yang agak sulit dipahami. Namun aku berfikir kau di sini ada kaitannya dengan saudarmu yang juga tertarik ke time line ini. Dia mungkin membawa tali merah dan menarikku ke dalam tanpa ia sadar. Kurasa opini pertama lebih masuk akal," jelasnya.

Aku tersenyum mendengar opini yang cukup menggelikan ini. "Jangan bilang aku ke sini untuk memberi pelajaran penting untuk saudariku itu. Kurasa itu opini yang menarik." Karena dia aku menjalani kehidupan yang sulit. Dan jika memang karena dia aku tertarik ke sini, kurasa aku akan benar-benar kehilangan akal sehat.

"Dendam tidak akan menyelesaikan apapun Ria. Cobalah untuk mencintai orang lain, atau setidaknya cintai dirimu sendiri."

"Aku ingin, namun ... Kau harusnya tahu bukan?" Sekeras apapun aku bermain tentang cinta, berusaha menjadi orang biasa yang berdamai dengan segalanya. Atau menganggap manusia sebagai manusia. Yang kudapat hanya luka, luka, dan luka. Seperti jurang ujung tanpa cahaya yang mengurungku.

Dia kembali tersenyum. "Kurasa aku mengerti mengapa kau di sini. Tapi ... Aku tidak akan memberitahumu."

"Jangan mempermainkanku. Lalu ngomong-ngomong, ini tempat apa?"

Hanya ada warna putih saat aku sadar, namun ketika kami mulai berbicara, tempat ini perlahan berubah. Kini ada sebuah gazebo besar di belakang Real, dan air mancur di belakangku. Di kelilingi taman bunga dengan kupu-kupu yang berterbangan.

"Ini tempat yang hanya bisa di masuki oleh jiwa seseorang."

Jiwa? Aku tersadar akan sesuatu. "Jangan bilang di time line mu Real sudah ...."

"Kau benar," jawabannya. Aku baru sadar setengah tubuhnya tembus pandang. "Real di sana hanya bertahan di usia 30 tahun. Namun jangan sedih, karena aku merasa sangat bahagia bisa menghabiskan waktu-waktu terakhirku dengan orang yang ku cintai."

"Kau bahagia? Walau dengan alur sedih seperti itu."

"Kesedihanku hanya sebentar Ria. Namun kebahagiaanku lebih lama dari itu. Terima kasih kau sudah membuat akhir indah bagiku."

"Bukan aku yang menulis alurmu." Aku memalingkan wajah darinya. Tiba-tiba dadaku terasa sesak. "Kau yang menentukan jalan hidupmu sendiri."

"Mungkin Dewi menjadikanmu perantara untuk menulis alur indah bagiku. Dan kuharap kau juga."

"Entahlah, apa aku bisa bahagia? Atau setidaknya merasakan cinta lagi." Karna semuanya terasa hampa, dulu, bahkan sekarang.

"Kurasa kali ini kau akan bahagia Ria. Kau yang sepenuhnya bertanggung jawab dengan tubuh Real di sana." Dia terdiam beberapa saat. "Waktuku sudah habis. Kurasa kita akan bertemu lagi."

Aku melihat Real yang perlahan memudar seperti tersapu angin. Begitupun segala objek yang ada di sekeliling ku. Aku ingin berbicara, namun suaraku tidak bisa keluar, rasanya begitu berat.

"Sampai jumpa Ria," kalimat terakhir yang kudengar.

###

"Ah!" Sentakku ketika sudah terbangun.

Mataku tertuju pada langit-langit istana yang nampak indah dengan lukisan juga ornamen lainnya. Lilin sudah habis terbakar, dan mati tenggelam oleh dirinya sendiri. Aku memegang rambuku, rambut putih panjang, aku masih menjadi Real.

Real sebenarnya sudah mati, dia tidak akan kembali. Akulah yang harus menyelesaikan semuanya sendiri dan tidak menunggunya lagi. Aku bangun, dan berjalan ke meja di mana terdapat jurnal yang tadi ku tulis. Tanpa fikir panjang aku langsung melempar jurnal itu ke dalam perapian yang kebetulan sengaja di hidupkan Dhara tadi. Kurasa tidak perlu lagi menulis kalimat bodoh untuk orang yang tidak akan kembali.

"Apa yang harus kulakukan sekarang?"

Setelah mengetahui bahwa ini bukan time line dari cerita yang kubuat, rasanya seperti aku berada di ambang sesuatu yang hampa. Sebelumnya aku sempat merasa bingung dengan alur yang sangat berbeda. Di mana tokoh utama justru berkahir seperti antagonis. Sekarang semua masuk akal. Walau tetap saja masih ada beberapa hal yang perlu ku cari jawabnya.

Sejauh ini yang sudah terjadi adalah, Rina ternyata berada di sini, memang ada kemungkinan dia yang menarikku ke sini. Layla bukan gadis polos yang berhasil merenggut hati Duke, namun wanita serakah yang menginginkan hal lebih. Aku masih tidak tahu Ryan berpihak pada siapa, aku belum pernah berhadapan lagi dengannya. Bahkan saat pesta dia hanya sekali berdansa dengan Carina, lalu menghilang. Sisanya sama saja, walau sekarang aku lebih tahu bagaimana Silas melakukan pekerjaannya.

Harsukah aku tetap di sisi Silas? Kurasa iya. Kami akan pergi ke Cleopat nanti, aku bisa menggunakan waktu di sana untuk belajar tentang batu-batu sihir. Semoga ada jawaban logis mengapa jiwa orang lain bisa masuk ke tubuh kosong. Aku tidak tahu benar apa tidak. Diingatkan Real dia juga belum pernah ke Cleopat. Aku juga tidak menemukan berlian, pertama, atau lainnya di kamar Real. Apa sebagaian ingatan Real hilang? Setelah dipikir-pikir aku tidak ingan bagaimana keadaan Real sebelum demam tinggi.

Lalu Silas juga berniat menghancurkan Marquez, kurasa ini hal bagus untuk memberi salam untuk Rina. Dia selalu mendapatkan pujian dari kecil, membuat menjadi sombong dan mementingkan dirinya sendiri. Dia terlalu egois dan berfikir bahwa semua yang ia harapkan akan terwujud. Sifat itu juga yang menghancurkan dirinya sendiri. Dendam mungkin tidak baik. Tapi segala hal yang kualami selama ini, luka-luka yang ku dapatkan sampai membuaku hampir gila, sulit untuk tetap berfikir jernih sekarang. Menjadi antagonis yang menghancurkan angan tokoh utama, tidaklah buruk bukan?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro