Chapter 31: Calon Wali Kelas.

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Lar, buka mulutnya!" pinta Garry kecil, bersiap-siap memasukkan permen bulat rasa stroberi itu ke mulut saudara kembarnya. Di sebuah taman, dibelakang rumah mereka.

"Aku ... nggak suka rasa stroberi," tolak Larry, menggeleng, menutup mulutnya rapat-rapat.

Garry menghela napas berat, permennya tinggal satu, orang tua mereka juga belum pulang dari luar kota, hanya ada para pelayan, itupun tidak bisa diandalkan sama sekali.

"Selain Permen, kau mau apa?"

"Susu?"

Garry tersenyum mugil. "Kau sudah menghabiskan jatahku, masih mau susu juga?"

Tiba-tiba pelayan datang, langsung menyodorkan telepon kepada Garry, ia langsung bersorak kegirangan, langsung menempelkan telepon itu ke telinganya yang kecil.

"Iya?"

"Mama akan pulang terlambat, kamu tidak apa-apa, 'kan? Ditinggal satu malam lagi?"

Garry mengangguk, ia tidak merasa keberatan sama sekali, dia masih punya Larry yang akan menemaninya bermain nanti malam.

"Iya, Ma. Ngomong-ngomong kata Larry dia mau permen lagi."

Diam, tak ada tanggapan dari Mama mereka. Garry mencoba memanggil wanita dalam telepon itu lagi, tetapi masih tak ada jawaban.

"Coba kau yang panggil."

Garry memberikan telepon itu ke saudaranya, Larry pun mencoba bicara. "Ma, Mama."

"Ah, maaf ya sayangku, Garry, Mama masih ada urusan, nanti saja."

Tut.
Panggilan telah terputus, Larry memberikan telepon itu lagi ke pelayan wanita dewasa tadi. Pelayan tadi menurunkan kepalanya sesaat, kemudian berlalu pergi.

"Jangan sedih, aku yakin, Mama pasti ngebeliin kita permen lagi." Garry menghibur saudaranya, ia pun membalas tersenyum.

***

Sungguh masa-masa yang tak ingin Garry ingat sama sekali, kenangan itu bagaikan mimpi buruk untuknya, dia menyesali semua yang terjadi di masa lalu. Dia ... tak seharusnya berlaku baik kepada Larry.

Saat ini Garry melewati lorong kelas, banyak siswi yang diam-diam mengambil gambarnya, mereka bahkan mengadakan sistem barter foto. Garry benar-benar seorang models di sekolah ini.

Ketika ia memasuki kelas, terlihat Indah yang menyapanya dengan senyuman, Garry hanya meliriknya sesaat, sebelum akhirnya duduk di bangkunya. Sebenarnya Salwa juga menyapanya saat di gerbang sekolah, tetapi Garry mengabaikannya begitu saja.

Ia meletakkan tas ke meja, dan tiduran di atasnya. Bukan karena kantuk, tetapi lebih ke malas. Setiap hari terasa sama untuknya. Meski sudah gonta-ganti pacar, Garry masih merasakan kejenuhan di kehidupannya.

Ia merasa sedikit bersemangat ketika Cewek yang terkenal di sekolah mengincarnya juga, Salwa Amanda Jaya, tetapi ketertarikan itu hanya berlangsung sebentar, ditambah lagi, dia melihat dengan mata kepalanya sendiri, gadis itu jalan masuk ke hotel bersama seorang om-om.

"Eh, lo jangan coba-coba mesra-mesraan ya di depan gue!" ancam Salwa kepada seseorang di dalam kelas. Garry menoleh, mendapati Salwa yang memarahi Clara yang mengacangi bacotannya. Salwa bahkan membuntuti gadis itu.

"Udah, bacotnya?" balas Clara mendongak, Salwa masih berdiri tegap di depan mejanya. "Kalau udah, gue mau belajar, oke?"

"Lo!" Salwa menunjuknya tajam, Garry langsung bangkit dan mencekam pergelangan tangan gadis itu.

"Jangan coba-coba buat kasarin pacar gue!" ancam balik Garry. Mata mereka terlalu dekat, wajah cowok itu begitu datar memandangi Salwa.

"Pacar?" Salwa mengangkat alisnya tinggi. "Dari sisi mananya kalian pacaran sih, Gar? Bahkan nggak ada sedikitpun romantis yang kalian lakukan."

"Makanan VIP kemaren?" sela Indah, bersedekap dada.

"Oh itu." Salwa memundurkan tubuhnya. "Gue yakin dan percaya kalau semua itu cuma settingan, buat manas-manasin gue, biar gue jadi benci sama Garry. Bener, 'kan?" Salwa beralih menatap Clara.

Gadis itu hanya diam, ia terlalu banyak berpikir hanya untuk sekedar menjawab iya atau tidak.

"Kenapa? Lo mau liat kita makan bersama lagi?" tantang Garry.

"Gar, lo tau sendiri kan, kalau cara yang sama itu nggak bakal ngefek lagi ke gue."

"Yakin?" balas Garry pelan.

Salwa menghapus senyumnya, jangan bilang kalau Garry benar-benar akan makan makanan VIP lagi. Dia akan benar-benar patah hati. Terlebih dengan Clara?

"Kenapa diem? Gue bahkan ragu, lo mampu ngeliat hal serupa lagi. Soalnya ... itu kan yang lo harapkan saat kita pacaran kemaren? Ckckck, gerakan lo terlalu mudah dibaca, Salwa Amanda Jaya!"

"Ada apa ini?!" Tiba-tiba suara berat pria memadamkan suasana panas itu. Seorang guru dengan pakaian olahraga dan rambut gondrong. Kurus.

Semua siswa bahkan tak sadar akan kehadirannya karena terlarut dengan adegan panas Garry dan Salwa.

"Bukan apa-apa." Garry melepas cengkraman tangannya, kemudian berbalik ke mejanya lagi.

Semua siswa duduk di mejanya masing-masing. Sementara guru itu masih berdiri tegap di depan, memandangi seisi kelas.

"Bapak nggak tau apa yang kalian ributkan pagi-pagi begini, tapi tolong jangan pakai kekerasan. Terutama ... kamu."

Guru itu menunjuk Garry dengan tongkat kayu kecilnya.

"Bapak—, keknya kurang masuk ke telinga kalian kalo pake bahasa yang formal. Gue udah sering dapat rumor kalo lo suka nyakitin saudara lo sendiri, bener kan?" Guru itu mengubah gaya bahasanya.

"Kalo bener pun, itu nggak ada urusannya sama lo," balas Garry santai, ia bahkan menyenderkan punggungnya ke kursi.

"Memang benar, semua itu nggak ada urusannya sama gue. Tapi!" Ia menekan kalimat terakhirnya. "Jangan lo lakuin hal itu di depan publik, apalagi ini adalah kawasan sekolah."

"Ya! Gue tau, sekolah ini berdiri berkat Papa lo, 'kan?" lanjutnya cepat, "gue udah ngawasin kelas ini sejak awal, setelah kelas Ekstrakurikuler, gue yang bakal jadi wali kelas kalian."

Semua siswa bersorak kencang, mereka sangat terkejut dengan informasi yang disampaikan oleh guru tersebut.

"Dan lo, Clara," katanya lagi, kali ini ia beralih ke siswa pindahan itu. "Gue yang bertanggung jawab atas diri lo sekarang."

Ia hanya bisa diam, mengunci rapat mulutnya, ia memang kenal orang itu sejak awal, pria gondrong itu sudah sangat sering mampir ke rumahnya. Tapi, ia baru menyadari jika orang itu adalah guru di sekolah ini.

"Lo denger gue, kan, Clara?"

"Iy, Iya, Pak." Clara mengangguk paham.

Sementara Garry masih menatapnya dengan sinis.

"Nama gue Baim Abraham, S2 Universitas Ternama, paling bergengsi. Gue nggak ngajar mata pelajaran lain, selain olahraga, kelas kita setiap hari Rabu, berlaku setelah kelas Ekstrakurikuler."

Tanpa menunggu aba-aba, dia meninggalkan kelas itu begitu saja. Semua murid menggerutu kesal, bagaimana mungkin kelas mereka di pimpin oleh wali kelas bak pengemis jalanan itu?

Terlebih Salwa yang mengutarakan kekesalannya ke Dara. Gadis itu hanya mengangguk-angguk, dia tersenyum kecil setiap kali Salwa meluapkan emosinya.

Tunggu aja, Salwa, gue pasti bakal lepasin pengaruh lo dari Dara. Clara meliriknya dari meja. Selang tiga barisan.

And.... Tbc.....

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro