16

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Sudah hampir lima belas menit mungkin lebih ketika tak ada suara yang keluar dari bibir mereka kecuali angin laut yang berhembus cukup kencang menerpa dan menggoyangkan rambut Wendy. Hanya memandang lurus ke arah gulungan ombak tengah mengecup manja pantai Sawangan meninggalkan buih di atas pasir putih. Dua sejoli itu terlalu lama tenggelam dalam sesuatu yang tak dapat diukur oleh apa pun bahkan debaran dalam dada mereka sepertinya tak terkalahkan dengan deburan ombak di sana. 

Wendy berpaling, mengamati garis rahang Bimo dipahat tegas oleh Sang Pencipta seraya menerka-nerka apa yang sedang dipikirkan lelaki di sampingnya ini. Apakah tentang permainan panas mereka? Apakah Bimo akan mengatakan kalau itu cuma kesalahpahaman yang perlu dilupakan walau meninggalkan benih di rahim Wendy? Atau ... opsi lain, Bimo telah membuka hati setelah percintaan itu?

Sepertinya pilihan ketiga adalah mustahil kecuali kepala Mas Bimo terbentur batu karang.

Sejauh yang diketahui Wendy dalam novel-novel harlequin yang selalu menyajikan hubungan intim nan panas antara dua manusia dewasa . Ikatan seperti itu pada akhirnya mendobrak dan meluluh lantakkan hati yang terkunci rapat bahkan berdebu sekali pun. Dia juga teringat ada satu adegan di mana karakter pria begitu anti dengan wanita namun bertekuk lutut setelah melewati malam-malam bergairah nan penuh hasrat. Apakah Wendy perlu mempraktikkan segala yang ada dalam buku romance? Mencoba menjadi perempuan agresif misalnya?

Menjijikkan! 

"Sampai kapan kita diem-dieman kayak gini?" Wendy membuka suara mencoba memecah keheningan walau di depan mereka laut tak bisa diam barang sedetik. 

Bimo menoleh sebentar ke arah Wendy dan mau tak mau menangkap garis bibir kemerahan milik istrinya yang kemarin malam telah mengaburkan akal sehat. Jujur saja, seharian ini Bimo tidak bisa melupakan hal itu dan dorongan dalam hatinya makin menguat kalau berdekatan dengan Wendy walau sekarang sudah mencoba menghadapi daya magnet istrinya yang sudah menggelapkan pikiran Bimo untuk sekian kali. Apakah dia harus mengajukan aturan baru dalam hubungan menikah palsu ini? Boleh bercumbu sebagai tempat pelipur lara selagi dia belum bisa melupakan Risya? Tapi, bukankah sama saja dengan ingin menang sendiri sekaligus mencuri kesempatan untuk menjadikan Wendy sebagai pelampiasan nafsu belaka? 

Aku mulai gila.

"Aku ..." Bimo meragu untuk beberapa saat entah ini ide yang masuk akal atau justru menimbulkan masalah baru. Dia tahu Wendy bukan perempuan yang mudah diajak komitmen dan semalam adalah kesalahan terbesarnya telah menerobos zona nyaman Wendy, menyeret gadis itu keluar untuk berkubang dalam kenikmatan dunia yang tak pernah mereka jelajahi. 

"Untuk kemarin, jangan bahas itu lagi," timpal Wendy seperti paham isi kepala Bimo. "Aku yakin Mas Bimo bakal salah paham dan ... aku enggak melarang misal kamu mau sama yang lain."

"Hah? Kamu kira aku laki-laki penyuka seks bebas?" Bimo merajuk tak suka dengan penuturan Wendy. "Anggap saja kita partner yang saling memberikan keuntungan."

"Keuntungan?" Wendy mengulang kata terakhir yang dilontarkan Bimo. "Kamu pikir aku apa sampai kamu bilang kita sama-sama untung? Mainan seks kamu? Gila ya!"

"Maksudku seperti friends with benefit, Wen," kilah Bimo bingung bagaimana menjelaskannya. "Aku mengajukan hal itu," tambahnya gugup. Bimo yakin pasti wajahnya sekarang memerah setelah Wendy berhasil membangunkan sisi liar dari lelaki seperti dirinya. Sebagai manusia yang memiliki naluriah, apakah ini hal yang salah? pikir Bimo. Toh, mereka sebagai manusia dewasa pasti sama-sama memiliki kebutuhan biologis kan? Apakah Bimo masih dianggap manusia serakah?

"Ki-kita bisa pakai pengaman untuk selanjutnya," sambung Bimo.

Wendy berdehem, memalingkan muka memandang laut berharap ombak di depan sana mampu meredam betapa keras debaran dadanya sekarang akibat emosi yang menghantam. Bimo? Lelaki pendiam itu meminta dirinya menjadi 'partner tidur' yang harusnya lumrah dilakukan pasutri. Hanya saja cara Bimo menyampaikannya terkesan seperti Wendy gadis murahan.  

Apa sekarang aku berubah menjadi tempat pelampiasan?

Tapi, bukankah Wendy juga melakukan hal yang sama dengan memaksa lelaki itu menikahinya tanpa ada rasa cinta? 

Apa aku juga egois? 

"Perjanjian--"

"Perjanjian itu hanyalah sebuah kertas yang bisa kita ubah, Wen," sela Bimo. "Aku tidak memaksamu hanya saja ... aku ingin mencoba kita berdua hidup sebagai suami-istri sungguhan bukan dua orang teman terjebak dalam satu kamar seperti anak kos. Siapa tahu, kita bisa ..."

"Setelah mencoba ambil keuntungan dariku, sekarang kamu memaksa aku buat komitmen gitu?" potong Wendy tersulut amarah. "Kamu tahu kan kalau aku enggak bisa menjalin komitmen di saat hatiku belum siap, Mas Bim! Oke, katakanlah aku ini bisa memuaskanmu tapi kamu tidak melihat sisi perasaanku kan? Kamu hanya mementingkan gairahmu tanpa memikirkan bahwa pernikahan ini hanyalah perjanjian di atas kertas juga!"

"Kok kamu ngomongnya begitu?" Dahi Bimo mengerut.

Wendy menganga tak percaya. "Lalu apa? Mas Bimo mau berharap apa? Bukannya kamu pengen badan ini? Keuntungan ini kan yang kamu mau? Terus pengen aku hamil anak kamu biar Risya menyesal?" Lantas gadis itu bangkit hendak pergi daripada harus berdebat masalah hal yang tidak perlu dibicarakan di tempat seperti ini. 

Buru-buru Bimo mengejar lalu menarik lengan Wendy namun gadis itu menepis kasar. Bimo tak mau kalah, kembali menahan lengan Wendy agar bisa mendengarkan alasan lain dibalik keinginan tak masuk akal yang sudah menyinggung perasaan Wendy. 

"Wen, bagaimana kalau aku mencoba melakukannya agar kita lebih terkoneksi ah maksudku lebih memahami satu sama lain di luar pertemanan ini? Enggak ada orang lain bahkan Risya. Hanya kamu dan aku," ujar Bimo menatap lurus bola mata Wendy berharap gadis keras kepala itu mau menurutinya. "Oke, aku salah mengatakan kita sama-sama mendapatkan untung. Aku salah. Hanya saja, sejak kemarin aku merasa ada sesuatu."

"Kalau sesuatu yang diartikan cinta, aku enggak percaya, Mas," kata Wendy lirih. "Aku takut kalau cinta bakal menghancurkanku sampai enggak tersisa. Aku takut kalau yang terjadi pada teman-temanku bakal terjadi kepadaku nanti."

"Kita coba dulu, Wen. Lupakan perjanjian itu, kita ikuti alur yang sudah kita jalani ini. Oke?" pinta Bimo penuh harap.  

"Sampai kapan?" tanya Wendy menyingkirkan anak rambutnya yang bergoyang diterpa angin laut. 

"Cinta tidak memiliki masa, Wen. Kita tidak bisa memastikannya kan?"

Bahkan sampai saat ini masih ada cinta buat Risya.

"Kalau tidak memiliki masa, kenapa banyak orang bercerai karena bosan?" Wendy melempar pertanyaan itu seperti sedang menenggelamkan Bimo ke dalam samudra terdalam. "Kalau tidak memiliki masa, kenapa Risya tega meninggalkan kamu?"

"Wen!" seru Bimo. 

"Aku hanya berpikir realistis, Mas Bim. Aku hanya takut!" pekik Wendy frustrasi karena Bimo belum juga paham apa yang dikhawatirkannya. Cinta memang kata orang indah, tapi dia akan berubah menjadi petaka ketika dikhianati. Wendy tidak ingin hal itu terjadi padanya.

Bimo menghela napas panjang mencoba mengurai ketakutan yang dirasakan gadis itu. Bahkan ketika tangannya turun untuk mengisi sela-sela jemari tangan kanan Wendy, Bimo bisa merasakan betapa dingin kulitnya seperti telah kehilangan kehangatan secara signifikan. Dikecup punggung tangan Wendy penuh kasih sayang, bukan sebagai teman melainkan sebagai istri. Lelaki itu berusaha mencari-cari kunci hatinya agar Wendy bisa masuk dan mendiami entah sampai kapan. 

Sedangkan Wendy hampir saja tak dapat menopang beban tubuh ketika mendapat perlakuan manis dari seorang Bimo Hartawan. Seperti api yang berkobar dan padam begitu saja, hati Wendy seketika menjadi dingin berganti gelenyar aneh yang bermunculan di dalam perut lalu berputar-putar di dalam. Rasa geli yang ditimbulkan membuat garis tipis di bibir Wendy muncul. Dia berdeham sekali lagi lalu berpikir apakah dia perlu menikmati kehidupannya sebagai istri selagi Bimo belum menemukan perempuan lain? 

Oke, ini akan melanggar isi perjanjian bahwa tidak akan ada hubungan suami-istri tapi ... Bimo butuh istri untuk membalas dendam kepada Risya, aku butuh suami biar ibu senang. Ini friend with benefit yang benar-benar gila. 

"Aku juga enggak mau kamu nangis karena patah hati, Wen," tutur Bimo lembut membelai pipi Wendy. "Cowok yang memenangkan hatimu nanti adalah manusia beruntung."

"Jika kita berpisah, aku tidak mau ada rasa yang tertinggal. Itu menakutkan," kata Wendy tersenyum nanar lalu memberikan kecupan singkat di bibir Bimo bak semanis madu. "Oke, aku turuti asal ... aku tidak hamil. Aku belum siap sebelum jadi chef."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro