Interaksi | 11

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Ayana memutuskan untuk membatalkan jadwal les hari ini dan memberitahu Kenzie dengan alasan dia tidak enak badan. Setelah obrolan singkat bersama Reyhan tadi, dia memutuskan untuk langsung pulang dan merebahkan diri di kamar sampai sore tiba. Beruntung, di rumah sedang tidak ada orang, sehingga dia dengan bebas bisa meneluarkan tangisan yang sudah dia tahan sejak di sekolah tadi. Sekarang bahkan bantalnya sudah basah oleh air matanya.

Ayana tidak pernah merasa keberatan ketika ada banyak perempuan yang menyukai Reyhan, tetapi ketika tahu fakta bahwa cowok itu menyukai gadis lain ternyata rasanya semenyakitkan ini. Dan sekarang Ayana tahu dia tidak memiliki kesempatan. Satu-satunya hal yang dia pikirkan saat ini adalah mundur.
S Namun, bagaimana caranya? Tidak semudah itu menghilangkan rasa suka ini, kan?

Untuk kesekian kalinya, ponsel Ayana kembali bergetar. Gadis dengan rambut berantakan dan masih memakai seragam sekolah itu segera beranjak duduk dan mengecek benda pipih itu. Ada beberapa pesan dari Kenzie yang berharap keadaannya cepat membaik, ada juga pesan dari Bita yang bertingkah jengkel karena dia tidak menepati janjinya untuk menjenguk gadis itu. Dan terakhir pesan dari Mala yang mengabari akan pulang terlambat disertai dengan alasan-alasannya.

Kepala Ayana terasa pusing ketika dia berdiri. Wajahnya tampak begitu mengenaskan ketika bercermin. Dengan lesu, dia mengambil handuk yang tergantung di belakang pintu dan memasuki kamar mandi.

Rasanya lebih ringan setelah mandi. Gadis itu memilih merapikan kamarnya yang berantakan. Dia bahkan repot-repot membersihkan seisi rumah demi mengalihkan pikirannya yang kacau. Sesi bersih-bersih itu selesai di malam hari.

Suara bel rumah yang berbunyi menghentikan kegiatan Ayana yang hendak memecah telur untuk digoreng. Dia meletakkan kembali telur itu ke atas mangkok dan berjalan ke arah pintu setelah sebelumnya mengecek jam di dinding. Ternyata masih pukul delapan malam. Sepertinya setelah makanan nanti menonton film adalah pilihan yang terbaik.

Ketika membuka pintu, Ayana hampir saja reflek menutup pintu ketika yang tampak oleh matanya adalah Kenzie. Cowok itu datang dengan sepiring kue kering rasa cokelat.

"Ini ada kue dari Bunda. Hari ini dia ulang tahun dan buat kue ini."

Ayana tersenyum dan menerima kue itu. "Makasih, ya. Sebentar biar aku salin dulu piringnya."

Kenzie mengangguk. Sementara Ayana masuk kembali ke rumah dan berlari menuju dapur. Dia mampir sebentar ke depan kaca yang ada di ruang keluarga. Mengumpati wajahnya yang masih sama mengenaskannya seperti tadi. Matanya memang masih bengkak dan akan sangat mustahil jika Kenzie tidak menyadarinya.

"Ngapain juga aku khawatir soal itu?" ucapnya kemudian dan menyadarkan diri untuk berhenti bersikap aneh. "Tapi aku gak keliatan jelek banget, kan, ya?"

Ayana menggeleng kuat dan kembali ke tujuan awal untuk menyalin piring lalu dikembalikan kepada Kenzie.

"Lo udah makan malam?"

Tepat ketika pertanyaan itu terlontar dari perut Kenzie, suara bunyi cacing yang kelaparan di perut Ayana berbunyi seolah menjawab pertanyaan itu. Pipi Ayana dengan cepat memerah, malunya bukan main.

"Gue juga belum. Mau makan di luar enggak? Ada kafe yang baru buka di daerah jalan Dahlia. Banyak yang bilang makanannya enak-enak."

"Iya?" Gadis itu dengan cepat berubah antusias dan mengangguk. "Mau. Emm, tapi tunggu sebentar aku mau ganti baju."

Ayana mempersilahkan Kenzie untuk masuk dan menunggunya di dalam karena merasa persiapannya akan terasa cukup lama. Benar saja, butuh waktu setengah jam untuk gadis itu memilih pakaian dan menyamarkan mata bengkaknya.

"Tumben pake kacamata."

Tuh, kan. Benar dugaan Ayana jika Kenzie pasti berkomentar.

"Biar makin kece aja," balasnya asal dengan cengiran. "Ayok, berangkat sekarang. Aku udah laper banget."

Setelah mengunci pintu rumah dan gerbang, mereka lalu melaju menuju kafe tujuan dengan menaiki motor. Sesampainya di sana, tempat itu cukup ramai dan kebanyakan di datangi oleh remaja sepertinya. Bahkan ada yang masih memakai seragam sekolah.

"Mau makan apa?" tanya Kenzie sambil membaca menu-menu sama seperti yang Ayana lakukan.

"Kayaknya nasi goreng seafood aja. Tadi tuh aku mau masak nasi goreng tapi gak jadi deh. Masih pengen."

"Gara-gara gue dateng, ya?"

Ayana menggeleng. "Tapi makan di sini bareng kamu kayaknya lebih asik."

Kenzie tersenyum. Mencatat pesanan mereka. "Semoga," gumamnya pelan.

Siapa sangka perasaan Ayana yang awalnya berantakan bisa mulai tertata dan agak tenang hanya karena melihat kecantikan kafe itu. Salah satu hal yang paling menarik baginya adalah jam dengan ukuran cukup besar dan berbentuk salah satu karakter anime jepang yang sangat dia gemari, Tororo. Bahkan banyak yang mengambil foto bersama jam itu.

Ah, Ayana juga ingin melakukannya, tetapi malu.

"Masih sakit?"

Ayana menoleh pada Kenzie karena pertanyaan itu. Anehnya, dia merasa cowok itu tidak menanyakan soal sakit yang dia jadikan sebagai alasan untuk membatalkan jadwal les. Yah, mungkin hanya perasaannya saja. Ayana hanya mengangguk dengan senyuman.

"Udah agak mendingan. Kalau enggak, gak mungkin aku mau diajak keluar," ucapnya diakhiri dengan tawa ringan. Kenzie hanya membalasnya dengan senyuman kecil.

Sudah setengah jam terlewati. Semakin malam, kafe juga semakin ramai dan pesanan mereka belum juga datang. Ayana memaklumi karena keadaan yang memang sangat ramai. Dia bisa melihat beberapa karyawan tampak kewalahan dan tetap melayani dengan ramah meskipun beberapa pelanggan protes karena pesanan yang belum jadi.

"Kenzie, kamu pernah jatuh cinta?"

Entahlah, Ayana sendiri bingung kenapa dia menanyakan hal itu. Hanya saja dia ingin ada obrolan di antara mereka. Terus diam seperti ini membuat dia merasa canggung sendiri meskipun Kenzie tampak biasa-biasa saja.

Cowok di hadapannya ini tampak sedikit kebingungan sebelum akhirnya menjawab. "Pernah."

Kemudian Ayana merasa tatapannya berubah, lebih teduh dan menenangkan untuk dilihat. Belum lagi senyum kecil yang cowok itu pamerkan. Mendadak Ayana jadi teringat tawa lebar cowok itu di latihan futsal kemarin.

"Sekarang gue lagi jatuh cinta."

Sial, kenapa pula Ayana jadi deg-degan seperti ini?

"Kalau gitu pernah pacaran dong?"

Kali ini cowok itu menggeleng singkat. "Enggak pernah."

Oke, jawaban yang di luar dugaan. Seorang Kenzie tidak pernah menjalin hubungan romansa semacam itu? Yah, sebenernya bukan hal yang aneh mengingat dirinya juga mengalami hal yang sama. Ketika masih SMP, pernah ada satu orang cowok yang menyatakan perasaannya kepada Ayana. Dia menolaknya meskipun dengan rasa tidak enak hati.

Ayana jadi berpikir kenapa dia tidak mencoba menyukai cowok itu saja, seperti dia yang selalu berharap Reyhan akan belajar menyukainya jika dia menyatakan perasaan. Namun, jika dipikir-pikir jatuh cinta juga tidak semudah itu untuk diciptakan. Jika boleh memilih, dia juga tidak ingin menyukai Reyhan yang jelas-jelas tidak memiliki perasaan yang sama dengannya.

"Kok enggak? Kamu enggak nyatain perasaan kamu ke dia?" tanya Ayana dengan nada yang terdengar sekali menuntut jawaban sesegera mungkin.

"Dia suka pernah lain," jawab Kenzie santai. Sementara gadis di hadapannya ini sudah melotot lebar.

Astaga, ternyata kami punya kisah mengenaskan yang sama.

Ayana menghela napas. "Terus, kamu mundur gitu aja dan ngerelain dia?"

"Awalnya gue sempet mikir gitu karena ngerasa gak punya kesempatan buat ambil tempat yang udah di isi sama orang lain. Tapi pada akhirnya gue tetep jalan terus, deketin dia. Rasanya enggak rela buat mundur gitu aja disaat gue belum usaha apa pun. Meskipun gak yakin, sih, ini termasuk usaha atau enggak. Yah, seenggaknya kita bisa dibilang dekat kalau dibandingkan dengan sebelumnya."

Penjelasan panjang lebar itu cukup membuat Ayana merasa iri. Dia tidak yakin bisa melakukan seperti yang Kenzie lakukan. Namun, mendadak dia ingin menceritakannya kepada cowok itu. Soal masalah yang sukses membuatnya galau seharian.

"Aku juga gitu. Orang yang aku suka, suka juga ke orang lain."

Kenzie diam sejenak. Sepertinya siap mendengarkannya lebih lanjut.

"Aku kepikiran buat mundur, tapi masih ragu juga."

"Jadi itu alasannya?"

Kedua mata Ayana mengerjap. Maksudnya?

"Alasan lo nangis."

Oh, soal itu. Ternyata Kenzie benar-benar menyadarinya. Yah, mau mengelak pun tidak bisa, kan? Pada akhirnya dia mengangguk sebagai jawaban pertanyaan itu.

"Kalau gitu gue bisa bantu."

"Bantu apa?"

"Buat mundur."

Ayana menghela napas. Bukannya menghibur atau menyemangatinya agar berjalan maju seperti yang cowok itu lakukan, Kenzie malah mau membantunya melupakan Reyhan.

"Gak usah, biar ini jadi urusan aku."

"Padahal, bisa dibilang itu urusan gue juga."

"Karena dia temen kamu?" Ayana berdecak pelan.

Kenzie menggeleng. "Buat memperlebar kesempatan gue."

Apa-apaan itu? Ayana memilih diam. Sudah tidak sanggup lagi menanggapi perkataan Kenzie yang selalu tidak jelas.

"Dari mana lo tahu kalau Reyhan suka sama orang lain?"

Lagi-lagi ingatan sepulang sekolah tadi kembali terngiang. "Dia sendiri yang bilang."

Bersamaan dengan itu pesanan mereka akhirnya selesai dibuat. Ayana memilih mengakhiri pembicaraan itu dan dengan diam menikmati nasi gorengnya yang terasa nikmat. Begitupun dengan Kenzie yang dengan anteng menikmati makanannya juga.

"Nadha? Ngapain mereka?"

Gumaman itu membuat Ayana menatap Kenzie yang memandang tepat ke arah belakangnya. Gadis itu menoleh, penasaran dengan apa yang menarik perhatian Kenzie.

Mendadak jantungnya kembali berdetak dengan cepat. Dia segera mengalihkan pandangan dan bersikap kikuk sendiri.

Itu, kan, cewek yang ada di lapangan futsal kemarin, batinnya.

Ya, Ayana yakin dia tidak salah ingat. Kenapa gadis itu datang bersama Reyhan. Apakah seseorang yang Reyhan maksud adalah gadis itu? Ayana memejamkan mata. Menikmati rasa sesak yang kembali menyerangnya untuk kesekian kalinya di hari ini.

"Kenzie, wah kamu di sini juga. Sama Ayana lagi."

Kedatangan Nadha sama sekali tidak Ayana harapkan. Kenapa dia harus mendatangi mejanya? Apalagi hal itu membuat Ayana tidak sengaja melihat bunga mungil yang memenuhi genggaman tangannya.

Benar, ternyata orang yang Reyhan suka adalah Nadha.

"Jam segini ke luar? Jangan bilang selama ini yang ngajakin Nadha keluar lo, Rey."

Ayana sama sekali tidak berani menatap kepada Reyhan dan hanya mampu menunduk. Menikmati nasi gorengnya dengan diam seolah kedatangan mereka berdua tidak pernah ada.

"Kami pacaran."

Ayana berhenti mengunyah. Tenggorokannya terasa sakit dan tidak siap untuk menelan nasi yang memenuhi mulutnya. Tangannya mengepal kuat. Dia tidak tahan lagi. Dia ingin cepat-cepat pergi dari sana. Namun, jika pergi begitu saja itu hanya akan menambah masalah. Dia tidak ingin Reyhan tahu soal perasaannya. Dia tidak ingin siapa pun tahu yang hanya akan membuatnya terlihat menyedihkan.

Namun, Ayana sungguh tidak tahan lagi. Dia segera berdiri dan bisa merasakan mereka bertiga kini menatapnya.

"Anu, aku mau ke toilet sebentar."

Setelahnya Ayana segera pergi dari sana menuju toilet. Siap menumpahkan perasaan yang sudah dia tahan sekuat mungkin.

•••

Terima kasih banyak ya untuk kalian yang udah meluangkan waktu membaca cerita ini (◕‿◕)♡

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro