Interaksi | 12

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Ini sudah lebih dari satu jam sejak Ayana pamit ke toilet. Kenzie yang sangat ingin memberondongi pertanyaan kepada kedua temannya yang tiba-tiba mengaku menjalin hubungan itu terpaksa harus mengurungkan niat karena rasa khawatir yang tidak bisa dia abaikan begitu saja.

Saat ini, cowok berhoodie itu tengah menunggu di depan toilet. Di tangannya terdapat jaket yang tadi diambil di jok motor. Dia sengaja tidak menghubungi Ayana karena bisa saja hal tersebut membuat gadis itu merasa bersalah karena terlalu lama. Dia juga tidak memedulikan beberapa tatapan orang yang tampak curiga akan keberadaannya.

"Kenzie?"

Suara yang terdengar serak itu membuat sang empunya nama menoleh. Menatap pada Ayana yang kini tampak kikuk sendiri menyembunyikan wajahnya. Gadis itu jelas menghindari tatapannya.

"Mau pulang sekarang?"

Tidak ada lagi suara. Yang ada hanya anggukan saja. Tanpa mengatakan apa-apa, Kenzie menyerahkan jaket di tangannya kepada Ayana. Gadis itu diam sejenak sebelum menerima jaket itu untuk dipakai.

"Tapi di luar hujan," ucap Kenzie. Tangannya bergerak menarik penutup kepala jaket untuk menyembunyikan wajah Ayana. Hal yang dia tahu ingin gadis itu selamatkan dari semua pasang mata yang akan mereka lewati nanti.

"Yang penting keluar aja dulu dari sini," balas Ayana pelan.

Kenzie mengangguk. Mengambil satu tangan gadis itu dan menariknya pergi dari tempat itu tanpa perlu repot-repot berpamitan dengan kedua temannya.

Hujan masih deras ketika keduanya sudah keluar dari kafe. Motornya yang terparkir di luar pun tidak selamat dari basahnya air hujan. Pandangan Kenzie menyapu sekitar hingga jatuh pada seorang anak kecil yang tengah menjajakan payung kepada orang-orang yang berteduh di emperan toko.

"Sebentar, ya."

Kenzie menghampiri anak kecil tersebut yang baru saja berhasil menjual satu payungnya. Dia membeli dua payung, hal yang berhasil membuat anak tersebut tersenyum lebar sekaligus mengucapkan terima kasih. Dia segera menghampiri Ayana lagi setelahnya dan menyerahkan salah satu payung di tangan.

"Mau makan jagung bakar nggak? Sambil nunggu hujan reda."

Ayana tersenyum dan mengangguk. "Boleh."

Kebetulan di depan kafe itu ada tenda penjual jagung bakar yang lumayan ramai oleh pelanggan. Keduanya, dengan berlindung di bawah payung menyeberangi jalanan. Kenzie segera memesan dua jagung bakar manis sementara Ayana menunggu di salah satu bangku kayu yang masih kosong.

"Kata abangnya bakalan lumayan lama, rame soalnya."

"Gak masalah." Ayana sedikit bergeser agar Kenzie bisa duduk di sampingnya.

Untuk sesaat tidak ada pembicaraan di antara keduanya. Kenzie tidak tahu harus membahas apa di saat dia ingin sekali bisa menghibur perasaan Ayana yang dia yakini tengah kacau balau. Meskipun tidak bisa dia pungkiri bahwa rasa senang itu dengan kurang ajarnya datang begitu saja ketika tahu kesempatan untuknya semakin lebar.

"Kamu tahu soal hubungan mereka? Nadha itu ... teman kamu, kan?"

Ayana tahu namanya? Meskipun penasaran dia memilih menjawab pertanyaan itu dengan gelengan.

"Gue juga kaget."

"Orang yang kamu suka itu ...."

Kali ini jantung Kenzie yang mendapat efek hebat atas pertanyaan itu. Dia menoleh pada Ayana yang masih menunduk menatap kakinya.

"Dia, ya?"

Kenzie menghela napas, sedikit lega. Aneh, padahal dia selalu ingin Ayana sadar akan perasaannya. Namun, di sisi lain juga takut jika gadis itu mengetahuinya. Dia hanya tidak ingin mereka tidak bisa sedekat ini lagi dan Ayana memilih untuk menjauh karena tidak bisa membalas perasaannya. Terkadang, dia merasa lebih baik terus menyimpan perasaan ini daripada hal itu benar-benar terjadi.

Rumit sekali, kan, perasaannya? Terasa serba salah.

"Bukan dia. Gue udah pernah bilang, kan. Lo kenal sama orangnya. Gue enggak ngerasa lo kenal sama Nadha."

Ayana tampak berpikir. "Bita?"

"Bukan. Gue rasa lo gak bisa nebak siapa dia."

"Ish, ngeselin banget ya semua orang. Kenapa gak langsung ngasih tau aku aja, sih? Penasaran tahu?"

Kenzie tersenyum. Diam-diam senang sikap Ayana kembali seperti semula.

"Orang itu udah punya cowok?"

"Belum."

"Good. Mending kamu utarain perasaanmu ke dia biar enggak berakhir kayak aku gini. Aku yakin dia pasti suka balik ke kamu."

Kenzie mengernyit. "Kenapa bisa mikir gitu? Gue udah bilang, kan, dia suka orang lain."

Kali ini Ayana berani menatap Kenzie. Gadis itu sedikit memiringkan kepala sambil mengamati cowok di sebelahnya.

"Karena kamu baik? Kalau kamu mau terus berjuang aku yakin dia pasti bakalan sadar sama kehadiran kamu. Dia pasti sadar juga soal perasaan kamu. Pokoknya hubungan kalian jangan sampai gagal deh kayak aku. Gak enak banget."

"Orang yang lagi patah hati itu suka sok bijak gini ya?"

Ayana melotot tidak terima dan menonjok pelan bahu Kenzie. "Di kasih tau ngeyel."

Kenzie tertawa kecil melihat reaksi tersebut. Dia memegang kepala Ayana membuat gadis itu kembali menatapnya dengan satu alis yang terangkat.

"Lagian cewek yang gue suka itu sama sekali enggak peka padahal udah gue kode berkali-kali. Dia lagi patah hati sebenarnya, apa gue ambil kesempatan itu buat nyatain perasaan?"

"Yang ada kamu digampar sama dia."

Kali ini cowok itu benar-benar tertawa. "Tuh, kan, dia gak peka. Nah, jagungnya udah matang tuh."

Benar saja. Penjual jagung itu datang dengan dua jagung bakar di tangan setelah mengucapkan maaf karena membuat mereka menunggu cukup lama.

Kenzie mengerjap bingung ketika dia baru selesai memakan setengah dari jagung utuh tersebut di saat Ayana sudah selesai memakan keseluruhannya. Dia memang pernah mendengar, ketika perempuan patah hati atau sekadar sedih mereka akan makan banyak. Ternyata hal itu sepertinya berlaku juga untuk Ayana.

Oke, noted. Ketika Ayana sedang sedih dia akan siap sedia membawakan makanan.

***

Hal pertama yang Ayana lakukan kemarin setelah pulang adalah menceritakan kejadian kemarin kepada Bita. Namun, anehnya ada perasaan lega yang dia rasakan. Bukan, bukan soal karena sudah menumpahkan masalah barunya kepada sang sahabat, melainkan dia kini sadar sudah berada pada jawaban yang jelas. Semua hal tentang Reyhan sudah tidak lagi terasa abu-abu. Hal yang membuat dia sudah saatnya untuk membuat keputusan yang tepat.

Yaitu, Move on.

Ayana sudah yakin seratus persen sekarang. Rasanya tidak guna jika terus mempertahankan perasaan itu berisiko hanya akan membuatnya terluka karena jatuh cinta sendirian. Bita juga sangat mendukung keputusannya. Gadis itu bahkan menawarkan diri sebagai mak comblang dengan memperkenalkannya kepada cowok yang sudah dia labeli sebagai manusia baik-baik. Namun, tentu Ayana menolak. Dia tidak bisa menerima orang baru di saat belum benar-benar melepaskan orang lama.

"Pulang sekolah nanti nonton, yuk. Kemarin kita gak jadi jalan bareng, kan?"

Ayana mengangguk meskipun tahu Bita tidak bisa melihatnya. Dia kini tengah sibuk memakai kaos kaki.

"Film yang kemarin itu udah gak tayang tapi. Coba deh kamu cek film apa yang kira-kira bagus buat ditonton," balasnya sambil mengambil tas yang tergeletak di atas kasur. "Lanjut nanti di sekolah, ya."

Ayana memutuskan sambungan telepon secara sepihak dan ke luar kamar karena Mala sudah cerewet memanggil namanya untuk menyuruhnya sarapan. Alhasil, dia hanya memakan beberapa sendok saja. Pasalnya hari ini Ayah tidak bisa mengantarnya lagi. Beliau sudah berangkat sejak hari masih subuh dan tentu menunggu bus juga butuh ketepatan waktu. Jangan sampai dia ketinggalan bus.

"Ini bekalnya dibawa. Yang satu buat Kenzie."

"Ih, tempat makan baru ya? Aku juga beliin dong, Ma."

"Syaratnya harus dapat nilai tinggi kalau ada ulangan harian lagi."

Ayana mendengkus pelan, tetapi kemudian berkata akan memenuhi syaratnya di ulangan harian yang akan datang. Ujian akhir semester semakin dekat. Untuk itulah masing-masing guru pelajaran mulai mengadakan ulangan harian sekaligus membahas materi yang akan keluar di ujian tersebut. Kali ini dia akan membuktikan bahwa usaha dia untuk belajar bersama Kenzie tidak akan sia-sia.

Setelah berpamitan dan mencium punggung tangan sang ibu, Ayana segera ke luar rumah dengan membawa dua kantong tas. Gadis itu terkejut ketika membuka gerbang mendapati Kenzie tengah duduk di atas motornya. Cowok itu menatapnya dengan senyuman.

"Karena kita satu tujuan, mending barengan aja."

Tentu saja Ayana tidak bisa menolak dan memang tidak ingin melontarkan penolakan juga. Lagipula jika berangkat bersama Kenzie, dia tidak perlu repot-repot untuk berjalan kaki ke halte dan menunggu bus.

"Bekal lagi," ucapnya menyerahkan tas kantong di tangan kepada Kenzie.

"Kayaknya gue harus mulai terbiasa."

Ayana tertawa kecil. "Mama keliatannya suka banget sama kamu. Jarang loh dia bersikap kayak gini ke temen cowokku."

"Kalau gitu masalah gue cuma satu."

"Masalah apa?"

"Rahasia."

Ayana berdecak dan memukul punggung Kenzie membuat cowok itu mengaduh dan memelototinya. Dia tidak peduli dengan kekesalan itu dan memilih untuk segera naik ke boncengan lalu menyuruh cowok itu untuk segera pergi.

Sayang, terjadi kecelakaan besar yang membuat jalanan macet total. Ayana tampak cemas bukan main, tetapi untuk putar balik mencari jalan lain pun rasanya mustahil karena di belakang mereka penuh dengan berbagai kendaraan.

Sial, mereka benar-benar sudah telat.

"Apa kita bolos aja, ya?"

Ayana kembali memukul punggung Kenzie. "Kamu tau itu cuma bikin nambah masalah."

"Enggak apa-apa. Sekali aja."

"Gak! Mending telat dari pada bolos."

Kenzie tersenyum. "Yah, gagal."

Setelah terjebak selama hampir dua jam. Motor itu melaju cepat menuju sekolah yang tentu gerbangnya sudah tutup. Kedatangan keduanya disambut dengan tatapan mematikan milik laki-laki berambut ikal yang merupakan guru konseling. Sudah bisa ditebak akhir seperti apa yang mereka dapatkan selain nasihat panjang lebar. Yaitu mendapatkan tugas tambahan yaitu membuat resume dengan dua materi yang berbeda dan harus dikumpulkan sepulang sekolah nanti.

"Astaga, kayaknya aku lebih milih dapat hukuman bersihin toilet atau perpus dari pada disuruh buat resume begini," keluh Ayana.

"Seenggaknya kita bisa dapat ilmu baru lewat hukuman ini. Bukannya itu bagus?"

Ayana menatap Kenzie tidak habis pikir. "Pikiran kita beneran beda banget, ya."

Kenzie tersenyum dan mengangguk setuju. "Bener. Ternyata gak cuma soal hati, pikiranpun juga gitu." Cowok itu kemudian berhenti melangkah dan meletakkan tangannya di atas kepala Ayana.

"Mau memperjelas kalau aku pendek apa gimana?" gumam Ayana kesal, tetapi tidak menyingkirkan tangan itu yang kini berubah mengacak rambutnya dengan pelan.

"Gue tunggu jam istirahat nanti di perpustakaan."

Cowok itu kemudian berjalan terlebih dahulu menuju kelasnya, meninggalkan Ayana yang tersadar akan sesuatu.

"Kenapa bukan dia ya cowok yang aku suka?"

•••

Terima kasih banyak ya untuk kalian yang udah meluangkan waktu membaca cerita ini (◕‿◕)♡

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro