Interaksi | 15

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Kenzie tidak bisa mengerti dengan semua tingkah laku Ayana hari ini. Pertama, gadis itu keluar dari gerbang rumahnya dengan memakai kacamata hitam dan pakaian yang begitu tertutup. Celana kulot agak kebesaran, jaket tebal dan topi hitam yang menutupi kepalanya. Padahal hari ini cuaca cerah dan bisa dibilang panas.

Hal yang lebih aneh lagi, Ayana bersikeras memilih sendiri tempat mana saja yang akan mereka kunjungi. Alhasil, Kenzie memilih mengalah dan menunda terlebih dahulu soal rencananya sendiri.

"Lo enggak lagi jadi buronan polisi, kan?" ucap Kenzie setelah memperhatikan gerak-gerik Ayana yang tampak seperti orang mencurigakan.

"Aku rasa di sini aman." Bukannya menjawab pertanyaan Kenzie, gadis itu justru bicara sendiri. Dia menyeruput es tehnya sampai hampir habis lalu menatap Kenzie dengan serius.

"Kenzie, kayaknya ada hal yang harus kita selesaikan. Ini masalah serius."

Yang diajak bicara hanya mengangguk saja. Kenzie sudah terlalu malas menebak-nebak lebih jauh lagi dan memilih untuk mengikuti alur saja. Toh, pasti juga akan menemukan jawabannya juga.

"Soal berita di mading itu kamu tahu, kan?"

"Soal Reyhan sama Nadha? Kenapa? Mau merencanakan sesuatu buat misahin mereka?" tebaknya asal.

Ayana melotot dan tampak ingin sekali melempari wajahnya dengan air es teh. Beruntungnya tidak benar-benar terjadi.

"Aku enggak sejahat itu, ya. Bukan soal mereka, tapi kita."

"Kita?"

Ayana menghela napas lelah. "Udah aku duga kamu pasti belum liat, kan?"

"Oh, yang itu. Mario udah cerita ke gue. Tadi mau lihat habis latihan, tapi lupa."

Tunggu, jadi itu alasannya. Kenzie menghela napas. Kembali merasakan ketidaknyamanan yang memang sering sekali terjadi akibat tingkah gadis di hadapannya ini.

"Kayaknya mulai sekarang kita jangan deket-deket dulu. Enggak ada yang tahu, kan, kalau kita tetanggaan? Soal temen-temen kamu aman, kan? Buat les-nya gimana kalau malaman aja. Aku enggak masalah, kok, kalau sampai larut. Aku yakin jam segitu Shania enggak akan ada niatan buat mata-matain kita."

Tenggorokan Kenzie terasa tercekat. Dia sebisa mungkin untuk meredakan emosi yang datang dengan cepat dan tanpa permisi hanya karena perkataan dari gadis di hadapannya. Dia mengambil es teh dan meminumnya, seolah hal itu bisa dia harapkan untuk mendinginkan kepala juga hatinya. Nyatanya, rasanya justru semakin panas. Kenzie sudah tidak tahan lagi.

"Gue enggak mau."

"Apanya yang enggak mau? Gak pa-pa diskusi aja dulu, apa yang kiranya masih bisa bikin kamu nyaman dan begitu pun sebaliknya. Soal jadwal les? Kalau itu paling aman malam menurutku."

"Semuanya."

Kenzie memberanikan diri untuk menatap Ayana dan entah salah lihat atau tidak, gadis itu tampak terkejut untuk beberapa saat sebelum akhirnya kembali bersuara.

"Kenapa? Oh, apa kamu ada ide lain yang lebih bagus?"

Astaga, rasanya Kenzie ingin mengungkapkan segalanya, tetapi takut jika nantinya hanya berakhir dengan penyesalan. Setidaknya jika membeberkan soal perasaannya, dia harus melakukannya dengan perlahan. Itu adalah keputusan yang sudah dia pilih sejak kali pertama menaruh perasaan kepada gadis itu.

"Emang memalukan banget ya buat lo kalau orang-orang mikirnya kita pacaran?" Sialnya, justru pertanyaan itu yang terlontar dari mulut Kenzie. Dan dari sinilah dia bisa melihat perubahan ekspresi Ayana yang tentu kentara sekali. Gadis itu menggeleng dengan cepat.

"Bukan gitu maksudku."

Ayana tampak kehilangan kata-kata. Entah karena memang perkataan Kenzie benar atau tengah menyusun kalimat yang tepat agar tidak menyakiti perasaannya lebih lanjut. Kenzie tidak ingin membayangkan kemungkinan buruk lainnya. Dadanya sudah cukup sesak sekaligus panas. Namun, kalimat sambungan yang sedari dia tunggu tidak kunjung keluar perlahan membuat dia tidak tahan dengan situasi ini. Dia butuh ketenangan.

"Mau ke mana?"

"Mau keluar sebentar."

"Ke toilet?"

"Beli rokok di warung depan."

Tidak ada lagi tanggapan dan Kenzie segera keluar dari sana menuju warung di depan kafe yang mereka kunjungi. Tidak hanya membeli rokok sesuai perkataannya, dia juga membeli air mineral yang langsung dia teguk sampai habis tak tersisa.

Dia tidak langsung kembali ke kafe dan memilih untuk diam sejenak di dalam warung tersebut, tetapi otaknya tidak bisa berhenti memikirkan soal perkataan Ayana.

Apakah sikapnya kurang jelas untuk membuat gadis itu sadar jika dia menyukainya? Atau memang Ayana sudah menyadarinya dan berpura-pura tidak tahu agar hubungan mereka tidak akan berkembang ke tahap yang selalu Kenzie dambakan?

Kenzie menghela napas. Kesal sendiri dengan pikiran negatifnya yang tidak bisa dia kendalikan. Namun, sikap Ayana kali ini seperti memberi jawaban yang jelas jika gadis itu sama sekali tidak pernah membalas perasaannya. Memiliki rumor dengannya saja tidak mau, apalagi jika hubungan romantis itu benar-benar terjadi. Rasa-rasanya semakin mustahil. Namun, tetap saja, Kenzie masih menginginkannya. Meskipun untuk sekarang dia hanya memiliki jalan buntu. Dia tidak kunjung menemukan jalan keluar soal perasaannya yang bertepuk sebelah tangan.

"Kenzie."

Suara lembut itu membuat Kenzie mendongak. Menemukan Ayana yang tersenyum manis kepadanya sambil menyodorkan ponsel miliknya.

"Tadi Bunda kamu nelfon."

"Lo jawab?"

Ayana menggeleng. "Bingung, jadi aku diemin aja."

Kenzie menerima ponsel itu dan mengecek ada dua panggilan tidak terjawab dari sang Ibu. Ada pula pesan singkat yang menyuruh dia untuk segera pulang ke rumah dengan alasan yang sangat tidak dia nantikan.

"Kenzie, soal ucapan aku tadi—"

"Ayok, pulang," ucapnya sembari berdiri. Dia menoleh pada Ayana yang tampak terkejut.

"Sekarang? Katanya mau jalan-jalan," ucap Ayana dengan yang semakin melirih diakhir kalimat.

Sebisa mungkin Kenzie menepis pikiran menyebalkan itu. Perkataan Ayana tadi seolah-olah menunjukkan gadis itu kecewa pertemuan mereka akan segera berakhir dan masih ingin melanjutkan acara 'jalan-jalan' yang mereka rencanakan sejak awal.

Ah, susah memang memang untuk tidak terlalu berharap. Terkadang, sikap Ayana benar-benar membuatnya bingung. Di satu sisi Kenzie selalu dibuat optimis bisa menaklukan hatinya, tetapi di sisi lain langsung disadarkan dengan berbagai bukti jika gadis itu sulit untuk digapai. Jadi, sebenarnya yang benar yang mana?

"Lain kali aja. Bunda nyuruh gue pulang segera."

"Oh! Aku kira kamu nggak mau jalan karena pembahasan kita tadi."

Kenzie memaksakan senyumnya dan mengusap rambut halus Ayana, salah satu kegiatan yang dia sukai. Yah, hal sekecil ini memang langsung membuat perasaanya menjadi sedikit lebih baik. Hanya sedikit.

"Gue enggak selebay itu sampai ngambek-ngambekan segala. Yuk, pulang."

Ayana hanya tersenyum tipis dan mengangguk. Mereka lalu menyeberangi jalan dan bersiap untuk pulang.

"Mampir ke rumah Reyhan sebentar, ya."

Gadis itu sekali lagi hanya mengangguk saja. Wajahnya tidak seceria tadi. Entahlah, penyebabnya bisa apa saja. Entah itu soal pertemuan mereka hari ini atau memang ada hal yang lain.

Atau mungkin, karena Kenzie menyebut nama Reyhan?

Jika iya, rasanya benar-benar menyebalkan.

•••

Terima kasih banyak ya untuk kalian yang udah meluangkan waktu membaca cerita ini (◕‿◕)♡

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro