5. Keluarga

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Sebuah kereta kuda berhenti tepat di depan pintu rumah keluarga Locke. Seorang pria tergesa-gesa turun dari dalamnya. Iris menyambutnya dengan wajah pucat.

"Stefan, cepat! Adikmu!" Iris memegang kedua lengan suaminya dengan panik.

"Apa yang terjadi?"

"Tiba-tiba dia sesak nafas tanpa sebab. Aku takut sekali!"

Stefan bergegas mengikuti Iris masuk ke dalam rumah langsung menuju ke kamar Elona. Stefan berusaha untuk tetap menanggapi secara tenang, meskipun dalam hati ia juga panik. "Sudah panggilkan dokter?"

"Aku memanggil Baron Sven untuk memeriksa Elona. Dia ada di kamar adikmu sekarang."

"Baguslah. Baron Sven adalah salah satu dokter terbaik di ibukota."

Stefan dan Iris sekarang hanya bisa menunggu.

***

"Kondisi Nona Elona tidak kritis, hanya saja ... ." Baron Sven membuka suara setelah selesai mendiagnosa Elona dan memberi obat. Saat ini sang dokter tengah berada di ruang kerja Stefan, guna membiarkan Elona beristirahat di kamar.

"Apa yang terjadi, dokter?" Stefan bertanya penasaran. Baron Sven menghela nafas. Iris pun ada di sana ingin mendengarkan hasil diagnosa kesehatan adik iparnya.

"Nona Elona baru saja mengalami gejala obesitas."

"Obesitas ...?"

"Ya, obesitas adalah kondisi ketika seseorang memiliki tubuh yang mengalami kegemukan berlebih."

Stefan hanya dapat menelan ludahnya. Dia tak menyangka bahwa gemuk juga bisa menyebabkan sesak nafas seperti yang baru saja dialami Elona.

"Ah, jangan khawatir!" Baron Sven berusaha menenangkan. "Ini hanya gejala saja, saya harap tidak akan berakhir serius."

"Akan tetapi," Sang dokter melanjutkan. "Saya harap pola makan Nona Elona bisa lebih diatur mulai dari sekarang. Karena kalau tidak, saya takut suatu hari nanti hal yang lebih fatal bisa terjadi padanya."

Stefan kehabisan kata-kata. Mengatur pola makan Elona adalah hal yang sangat sulit. Baik Stefan maupun Iris tahu kalau Elona mengidap gangguan makan berlebih.

***

Baron Sven pulang setelah memberikan resep pada Stefan, untuk berjaga-jaga apabila Elona mengalami sesak nafas lagi.

Stefan memandangi resep tersebut di tangannya. Masalah kegemukan Elona harus segera diatasi, supaya adiknya itu tidak perlu meminum semua obat yang tertera di kertas tersebut.

"Cara satu-satunya adalah dengan menjauhkan Elona dari stres. Kamu tahu kan, pola makan Elona tidak sehat karena makan adalah pelariannya?" kata Iris.

Stefan mengangguk. "Aku tahu. Tapi ... apa yang membuatnya stres? Aku membelikan pakaian apapun yang dia inginkan, aku sebisa mungkin menuruti apa yang dia mau, bahkan ketika dia merengek minta ditunangkan dengan Louis Vandyke pun, aku melakukannya ... kurang apa lagi?"

Baru saja Stefan menyelesaikan kalimatnya, Mai masuk ke ruang kerja majikannya itu. "Mohon maaf bila saya lancang, Tuan Stefan. Nama saya Mai, pelayan pendamping Nona Elona."

"Ya, saya mengenalmu. Ada apa?"

"Izinkan saya untuk berbicara. Ini tentang Nona Elona ..."

"Baiklah, katakan."

Mai mengambil nafas perlahan, bersiap mengatakan apa yang terjadi pada Elona, yang belum diketahui oleh tuan dan nyonya majikannya itu.

"Nona Elona ... akhir-akhir ini kebiasaan buruknya makan berlebihan mulai lagi."

"Mulai lagi? Apa maksudmu? Bukankah semua permintaannya sudah kupenuhi??" Stefan bertanya heran. Semua sudah berusaha ia penuhi, namun adiknya masih saja menderita stres dan depresi.

"Saya tahu, Tuan. Tapi, kali ini ada hubungannya dengan Tuan Louis Vandyke, tunangan dari Nona Elona," jawab Mai.

"Louis Vandyke ... apa yang ia sudah perbuat pada adikku?"

Mai menceritakan semuanya. Tentang perlakuan Louis terhadap Elona selama ini, tentang kedatangan Kiara Perez si adik kelas yang menyita perhatian Louis, dan juga tentang apa yang terjadi siang ini di sekolah.

Mendengar semua hal tersebut, Stefan mengepalkan kedua tangannya. Giginya bergemeretak saking emosinya. Nafasnya menderu dan tatapan matanya melotot.

"Apa!! Putra Vandyke melakukan semua itu terhadap adikku!!"

"Stefan, tenangkan dirimu!" Iris berteriak. Namun suaminya itu tidak peduli. Dia menggebrak meja tulis di sebelahnya saking marahnya.

"Vandyke sialan! Apa dia tidak tahu kelakuan putranya itu?! Padahal, dulu setiap keluarganya mengalami kesusahan, ayahku pasti yang akan datang menolongnya. Tidak tahu diri!"

"Cukup, Kakak ... tenanglah ..." Berdiri di dekat pintu, Elona datang dengan wajah pucat.

"Elona! Kenapa kamu keluar dari kamar, Sayang?" Iris bertanya seraya menghampiri Elona dengan wajah khawatir. Namun, Elona tersenyum.

"Aku sudah tidak apa-apa, Kak. Dari pada itu ..." Elona menghela nafas, lalu menghampiri Stefan, "... tenanglah, Kak."

"Kenapa kamu tidak pernah menceritakannya selama ini!" Stefan mendengkus keras. Tatapan matanya yang tajam seakan ingin menginterogasi Elona.

"Aku hanya tidak ingin menyusahkanmu." Elona menjawab dengan singkat. Mendengar hal itu, Stefan langsung gusar.

"Apa maksud ucapanmu itu!"

"Kak Stefan dan Kak Iris selalu sibuk. Kak Stefan malah sering keluar kota. Aku tidak bisa membebani kalian dengan masalahku! Aku hanya---"

"Apa sih, yang kamu bicarakan!!" Stefan berteriak marah hingga membuat adiknya tersentak.

"Aku sibuk itu demi kamu dan Iris. Demi keluarga kita! Tapi semua itu tidak ada gunanya, kalau aku tidak bisa menjaga kalian dari hal semacam ini!"

"Sudah cukup kalian berdua!" Iris ikut berteriak. "Aku benar-benar tidak habis pikir, kalian berdua itu saling peduli, tapi berjauhan seperti musuh."

Iris yang biasanya selalu menjaga citra dirinya agar tetap terlihat elegan, akhirnya lepas kendali. Melihat Iris yang marah pertama kalinya membuat Stefan dan Elona tidak bisa berkata apapun.

Iris menghela napas ketika dia melihat kedua kakak beradik sudah tenang. "Stefan, kamu memang terlalu sibuk. Padahal ada Ryndall, sekretarismu, tapi kamu memang selalu ingin menangani semuanya sendiri. Ryndall sering mengeluh padaku karena dia merasa kamu tidak mempercayainya dalam pekerjaan."

"Ryndall ... bilang begitu?" tanya Stefan tidak percaya. Istrinya langsung menganggukkan kepala.

"Dan kamu, Elona ..." Iris berbalik menghadap Elona. "Walaupun Stefan pergi, kan, masih ada aku. Kenapa kamu tidak pernah cerita padaku? Sejak aku tinggal di sini, kita tidak pernah sekalipun mengobrol. Apa kamu benci padaku?"

Ditanya seperti itu, Elona menggeleng cepat. "Bukan kak! Itu karena aku malu ... Kak Iris cantik dan langsing, sedangkan aku ..."

Elona menunduk ke tubuhnya, yang bahkan ia sendiri tak bisa melihat kedua kakinya karena terhalang perut.

Mendengar pernyataan Elona, Iris langsung memeluknya erat. "Aku senang kamu mengatakannya. Aku selalu ingin punya adik. Waktu pertama melihatmu, aku berharap kita bisa akrab. Jangan minder ya, Sayang. Nanti kita mengobrol. Kita akan pikirkan cara supaya tubuhmu bisa sepertiku. Mau?"

Elona mengangguk seraya tersenyum. Stefan pun mendekati adiknya itu. "Jangan pendam semuanya sendirian lagi. Kita kan keluarga, Elona. Kamu itu tidak sendirian ... ."

Keluarga ...?

Tanpa sadar, air mata Elona jatuh ke pipi. Sewaktu dirinya masih menjadi Tara, tidak ada seorangpun yang bisa dia anggap keluarga. Semua masalah selalu dia tanggung sendirian. Karena itu, Tara tidak memahami artinya berbagi masalah dengan anggota keluarga.

Tara tidak pernah mengandalkan siapapun untuk menyelesaikan masalahnya, karena dia selalu sendirian. Ternyata apa yang dialami Tara juga dialami Elona, merasa sendiri meskipun memiliki keluarga.

"Eh?? Kenapa menangis? Apa aku salah bicara?" Stefan bertanya panik.

"Kamu sih! Jangan buat adikmu menangis!" Iris mengomeli Stefan, membuatnya semakin bingung. Melihat kelakuan mereka berdua, Elona hanya bisa tertawa lepas.

***

"Kakak, aku ingin menyampaikan sesuatu." Elona berkata seraya memotong kentang di atas piringnya menggunakan pisau.

Stefan, Iris dan Elona saat ini sedang berada di ruang makan. Ini pertama kalinya mereka bertiga akhirnya berkumpul dan makan malam bersama. Iris sangat bahagia melihat semua ini. Bagi mereka, ini adalah babak baru dalam kehidupan keluarga Locke.

"Ya, kenapa?" Stefan bertanya balik sembari meraih gelas minum di hadapannya.

"Aku ingin memutuskan pertunanganku dengan Louis."

Stefan dan Iris serentak berhenti menyuap makanan, dan memandang ke arah Elona.

"Kamu sudah yakin? Kamu tidak akan menyesal?" Iris bertanya.

Elona mengangguk mantap. "Yakin sekali, Kak Iris. Lagipula, aku tidak boleh memaksakan perasaanku pada orang lain."

"Baiklah, minggu depan kita akan ke rumah Vandyke. Sekalian aku akan beri pelajaran pada putra mereka yang sialan itu!!"

"Jangan, Kak Stefan!" Elona menghentikan kakaknya dengan panik. "Temani saja aku, tapi jangan katakan apapun. Biar aku saja,"

"Tapi kamu---"

"Sudahlah, Stefan ..." Iris menyela pembicaraan. "Lagipula, Elona kita ini sudah dewasa. Dia bisa mengatasinya sendiri. Ya kan, Elona?"

"Yap! Terima kasih, Kakak!"

"Ya ampun! Sejak kapan kalian berdua jadi kompak begini?" Stefan hanya bisa menghela nafas, disambut tertawaan oleh istri dan adiknya.

Elona memantapkan niatnya. Tinggal selangkah lagi, dirinya akan terbebas dari takdir kematian karena Louis Vandyke.

***

Novel ini sudah tamat di Noveltoon pada bab 73! Kalian bisa baca gratis dengan klik link paling bawah di lynk.id/author_ryby | Baca gratis tanpa apk, bisa lewat browser, kecuali kalau mau like per babnya, yang mana Ryby akan sangat berterimakasih :)

* cover art by instagram.com/fuheechi_

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro