Bagian 7

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Kini, Januar merasa tenang karena orang yang selalu mencari masalah dengannya sudah disingkirkan. Semua itu bukan kemauan Januar, tetapi kehendak dari ayahnya agar Januar fokus sekolah dan tak dihalangi oleh siapa pun yang tidak menyukai Januar karena latar belakangnya. Damian melakukan hal itu agar Januar bisa belajar dengan tenang tanpa gangguan atau tanpa olokan. Januar hanya bisa pasrah dengan keputusan Damian karena sekuat apa pun dia memohon agar Gibran tidak dikeluarkan dari sekolahnya, keputusan Damian tidak akan pernah berubah. Damian tak ingin masalah itu kembali terulang. Gibran adalah contoh untuk siswa yang lain jika mereka berani mengolok Januar, maka nasib mereka akan sama seperti Gibran.

Januar meraih buku dari deretan buku yang ada di perpus, lalu berjalan menuju meja dan duduk di kursi untuk membaca buku itu. Ia termenung saat menemukan sesuatu pada buku itu. Dia lalu tersenyum, meraih penanda warna pink yang ada di dalam buku itu. Terdapat emoji tersenyum di kertas penanda warna pink itu. Baru kali ini Januar menemukan buku pelajaran yang tak banyak disukai murid tertinggal penanda warna pink. Januar meraih penanda itu dan memasukkannya ke dalam saku pakaian sekolahnya. Ia fokus pada buku yang ada di hadapannya.

Setelah selesai dengan buku itu, Januar pun beranjak dari kursi. Ia mengembalikan buku itu pada tempatnya. Ingatan Januar tertuju pada adik kelasnya, Lisa. Beberapa hari lagi Lisa akan ujian dan Januar diminta untuk membantunya. Januar mengumpulkan buku yang Lisa butuhkan. Setelah dirasa cukup, Januar pun berlalu dari perpus menuju kelas Lisa. Januar semangat untuk mengajari Lisa karena ia sudah berjanji untuk membantunya. Akhirnya Lisa bisa lebih baik dalam belajar, dan nilainya perlahan meningkat. Lisa mengalami kemajuan dalam peringkat. Januar akan membuka kelas Lisa, tapi ia mengurungkan ketika namanya disebut.

"Serius?! Jadi elo selama ini deketin Januar hanya karena dia pintar dan bokap dia sekarang tajir?" tanya Dea, salah satu teman dekat Lisa.

"Iya, dong. Gue nggak mungkin deketin dia kalau dia nggak punya apa-apa. Bisa rugi gue. Januar itu pintar, baik, dan anak orang tajir walaupun cuma anak angkat. Setidaknya gue saat ini sedang menikmati apa yang gue dapat dari kedekatan dengan Januar. Oke. Mungkin baru kepintaran dia dulu. Suatu saat, kalau gue semakin dekat dengan dia, gua bisa dapat lebih dari apa yang dia kasih ke gue saat ini. Gue cuma perlu sabar sedikit lagi." Lisa tersenyum bangga pada teman-temannya.

Januar menutup pintu kelas itu perlahan. Ia mengurungkan niatnya untuk menemui Lisa. Langkah  Januar perlahan meninggalkan kelas itu. Kini Januar tahu alasan Lisa mendekatinya. Januar menghela napas. Masih tak menyangka jika Lisa sepicik itu.

Aku pikir, Lisa adalah teman baik yang kukenal, tapi ternyata yang kupikirkan salah. Lisa memanfaatkan aku. Aku salah sudah percaya dengannya. Ternyata tujuan dia mendekatiku ada maksud lain. Jika dia mendekatiku karena dia ingin belajar untuk dapat nilai lebih baik, maka aku tidak masalah. Tapi jika dia memiliki maksud lain, maka dengan terpaksa aku akan menjauhinya. Aku kecewa dengannya. Mulai sekarang, aku akan mulai menghindarinya.

Brukkk ....

Buku di tangan Januar jatuh berserakan di atas lantai.

"Maaf," ucap seorang siswi, bergegas memungut bukunya yang jatuh bersamaan dengan milik Januar.

Januar pun bergegas memungut bukunya. Matanya terpaku pada penanda buku warna pink yang pernah ia lihat di perpus. Tangannya bergerak untuk mencari penanda yang sama di saku pakaiannya. Ia temukan penanda buku itu di saku pakaiannya. Masih ada. Apa dia ...

Januar terkesiap ketika siswi itu meraih penanda dari tangannya. Siswi itu menunduk dan berulang kali meminta maaf pada Januar. Januar hanya tersenyum menatap siswi berpakaian rapi dengan rambut terjuntai lurus dan berponi. Wajahnya natural tanpa polesan apa pun. Cantik.

Apa dia gadis pemilik penanda buku yang kutemukan di perpus? Aku baru melihatnya di sini. Apa dia siswi baru?

"Sekali lagi aku minta maaf." Gadis itu kembali meminta maaf.

"Enggak. Aku yang minta maaf karena sudah menabrakmu." Januar membalas.

Gadis itu mengangguk.

"Aku baru lihat kamu di sini. Apa kamu murid baru? Atau pindahan?" tanya Januar penasaran.

Januar merasa jika gadis itu bukan gadis sembarangan karena tidak biasanya siswi membaca buku yang sangat dibenci kebanyakan murid lain di sekolah itu.

"Iya. Saya murid baru, pindahan dari Jakarta." Gadis itu menyahuti.

"Januar!!!"

Januar menghela napas ketika namanya diseru oleh seseorang yang sangat ia kenali. Ya. Lisa menghampiri Januar ketika dia menemukan sosok Januar yang sedang ia cari. Lisa sudah mencari Januar di kelasnya, tapi tak ia dapati. Dia sudah mencari Januar ke tempat Januar biasa datangi, tapi tak ada pun Januar di sana. Lisa menatap gadis di depan Januar. Ia menatapnya menilai.

Siapa dia? Anak baru? tanya Lisa dalam hati.

"Gue cari-cari elo, nggak taunya elo di sini. Katanya mau kasih buku buat aku belajar? Mana?" Lisa mengulurkan tangannya pada Januar. Dia memecah suasana.

"Ini bukumu." Gadis itu menyodorkan buku yang ia pungut milik Januar. "Sekalia lagi aku minta maaf. Aku permisi." Gadis itu membalikkan badan, meninggalkan Januar yang masih terdiam, dan Lisa yang masih bertanya dalam hati mengenai hubungan Januar dan siswi itu.

"Ini buku yang kamu butuhkan." Januar memberikan buku lain pada Lisa. "Kamu pelajari saja buku itu. Aku ke kelas dulu." Januar berlalu pergi setelah mengatakan hal itu pada Lisa.

"Ri. Elo kenal sama siswi itu?" tanya Lisa. Dia mengikuti langkah Januar.

"Enggak. Tadi nggak sengaja aku nabrak dia." Januar membalas tanpa menghentikan langkahnya dan membalikkan tubuh. Nadanya cuek.

"Makan yuk? Gue laper," ajak Lisa.

"Aku mau langsung pulang, Lis. Aku harus belajar untuk ujian nanti." Ari menolak ajakan Lisa.

"Ya sudah. Nanti ajarin gue mengenai materi pelajaran ini, ya? Seperti biasa?" Lisa membujuk.

"Aku nggak bisa janji. Akan kuusahakan kalau aku nggak sibuk." Ari meraih buku di lacinya, memasukkan ke dalam tas ransel miliknya, lalu menggendong tasnya. Ia bahkan tak menatap Lisa sama sekali karena masih teringat akan ucapan gadis itu beberapa menit yang lalu.

"Ri ..." lirih Lisa.

Ari hanya bergumam tanpa menatap Lisa.

"Elo punya rasa spesial nggak sih sama Gue? Kita kenal sudah hampir satu tahun dan elo bakal lulus dari sekolah ini. Apa lo nggak punya perasaan khusus buat gue?" tanya Lisa. Dia mengungkapkan apa yang ingin ia tanyakan pada Januar tanpa basa-basi. Dia ingin meminta kepastian. Lebih tepatnya, dia ingin Januar menembaknya walaupun dia harus memancing Januar terlebih dahulu.

Januar menatap Lisa. Tatapannya datar. "Lis. Aku hanya menganggap kamu sebagai sahabat aku, Lis. Tidak lebih. Aku nggak mau merusak persahabatan kita karena cinta. Jadi aku harap, kamu jangan berharap jika hubungan kita akan lebih dari ikatan persahabatan. Dan lagipula, bukankah tujuanmu dekat denganku karena kamu ingin aku jadi teman belajarmu buat ningkatin nilai setiap ujianmu?"

"Tapi-"

"Aku mau pulang. Aku harap kamu ngerti. Aku nggak mau merusak persahabatan kita hanya karena asmara. Aku sudah janji dengan diriku sendiri kalau aku nggak akan pacaran sampai aku lulus." Januar memotong ucapan Lisa.  "Aku pergi." Januar meninggalkan Lisa yang masih berdiri di tempatnya.

Lisa membalikkan tubuh, menatap punggung Januar yang mulai menjauh darinya. Ia menatap Januar kecewa. Kecewa karena Januar tak memiliki perasaan lebih pada dirinya.

Kenapa, Januar?! Kenapa lo nggak bisa punya perasaan lebih ke gue? Kenapa lo cuma anggap gue sebagai sahabat?! Apa gue kurang cantik?! Apa gue harus lebih berkorban buat dapetin elo?! Kenapa?! Lisa berteriak dalam hati.

Maafin aku, Lis. Aku tak menyangka jika kebaikanmu, kedekatan kita, dan perhatianmu, justru memiliki maksud lain. Aku nggak suka caramu yang seperti ini. Lebih baik kita jaga jarak biar kamu nggak merasa di PHP-in sama aku. Semoga kamu mengerti. Januar berkata dalam hati.

Januar meraih helmnya ketika tiba di parkiran motor. Ia naik ke atas motor, lalu menyalakan mesin, dan berlalu meninggalkan tempat itu. Konsentrasinya pada jalan bercabang ketika dia melihat seorang gadis yang tak asing dalam ingatannya. Januar memperlambat laju motornya. Ia menatap spion dan ingatannya langsung pada sosok siswi yang menabraknya beberapa jam yang lalu. Januar mengehentikan motornya. Ia melepas helm dan bergegas turun dari motornya. Januar menghampiri siswi itu.

"Apa perlua bantuan?" Januar menyapa gadis itu dengan pertanyaan.

Gadis itu menatap Januar. Dia lalu menggeleng. Januar menatap motor gadis itu yang masih didorong. Terlihat ban motor gadis itu masih stabil. Januar tersenyum. Ia mengikuti langkah gadis itu yang sedang mendorong motornya.

"SPBU masih jauh. Di sekitar sini juga nggak ada orang yang jual bensin. Kalau kamu mau, aku bisa bantu kamu dengan memindahkan sebagian bensin aku ke motor kamu. Atau aku bisa bantu dorong motor kamu dengan motor aku. Itu kalau kamu mau. Aku hanya menawarkan bantuan." Januar menawarkan bantuan.

Gadis itu menghentikan langkah dan menstandar motornya. Dia menghela napas. Apa aku terima bantuannya? Tapi aku baru mengenalnya. Walaupun dia satu sekolah dengan aku, tapi aku nggak mau begitu saja menerima bantuan dia. Aku harus bagaimana? tanya gadis itu dalam hati.

"Bagaimana?" Januar memastikan. Ia tak ingin membuang waktu. Niatnya hanya ingin membantu gadis itu.

Gadis itu mengangguk.

Januar kembali tersenyum. "Mau aku pindahkan bensin atau mau aku dorong?" Januar memberi pilihan.

Terdengar klakson mobil membuyarkan konsentrasi Januar dan gadis itu. Januar menatap mobil yang tak jauh dari tempatnya berdiri saat ini.

Gibran? tanya Januar dalam hati saat ia menatap pengendara mobil itu.

Gibran turun dari mobilnya. Dia tersenyum mengejek pada Januar. Januar menatap Gibran dan pandangannya teralih pada sosok wanita yang sedang duduk di mobil Gibran. Januar tak percaya jika gadis yang duduk di mobil Gibran adalah Lisa. Januar membalikkan tubuh, membelakangi Gibran dan Lisa.

"Aku akan dorong motor kamu sampai SPBU depan," kata Januar pada gadis itu.

"Awas!!!" seru gadis itu pada Januar ketika Gibran mendorong punggung Januar sehingga Januar tak jatuh ke tanah, tapi tubuh Januar justru ditopang oleh gadis itu. Tatapan Januar pada gadis itu pun bertemu. Gadis itu terlihat khawatir.

Konsentrasi terpecah ketika Gibran meraih bahu Januar dan akan melayangkan pukulan, tapi Januar menahan pukulan Gibran.

"Aku nggak terima kalau anak haram sepertimu menyakiti Lisa hanya demi wanita murahan ini! Entah apa yang ada di pikiran Lisa sehingga tergila-gila dengan anak haram sepertimu! Dan lebih nggak aku sangka, ternyata Lisa menyukaimu! Apa hebatnya darimu!" Gibran menatap Januar dengan raut tajam.

Januar menghempaskan kepalan Gibran. "Sejak awal aku dan Lisa tak ada hubungan apa-apa. Dia datang padaku hanya ingin diajari agar nilainya bagus, dan aku sudah melakukannya. Tapi jika dia meminta agar aku mau jadi kekasihnya, aku nggak bisa. Aku mengenalnya hanya sebagai teman sekolah, bukan sebagai wanita yang kusukai." Januar menjelaskan.

Gibran kembali melayangkan pukulan pada Januar, tapi Januar kembali menangkis. Gibran terus berusaha melayangkan tinju pada Januar, tapi Januar tetap menggagalkan pukulan Gibran. Gibran seakan meluapkan emosinya, tapi Januar berusaha bertahan. Januar akhirnya melayangkan pukulan telak pada rahang Gibran. Januar akan menendang Gibran, tapi ia urungkan karena apa yang akan ia lakukan justru memperkeruh suasana dan ia tak ingin menunjukkan kekuatannya. Januar menurunkan kakinya di atas tanah sambil menatap Gibran datar.

"Jika kemarin aku mengalah untukmu karena kasihan padamu, bukan berarti sekarang pun aku mengalah dan merasakan hal yang sama. Sudah cukup kamu menginjak harga diriku. Silakan ambil Lisa dan bawa pergi jauh-jauh dari kehidupanku. Dan kalian jangan kembali menunjukkan wajah di hadapanku." Januar sekilas menatap Lisa yang duduk di dalam mobil Gibran, lalu dia membalikan tubuh, meninggalkan Gibran yang masih terduduk di atas tanah setelah mendapatkan pukulan telak dari Januar. "Kita pulang sekarang," kata Januar ketika melewati gadis yang akan ia tolong.

Gadis itu pun menuju motornya dan mengenakan helm. Januar sudah mengenakan helm dan siap untuk mendorong motor gadis itu. Januar pun mendorong motor gadis itu menggunakan kakinya.

Januar melambatkan laju motornya ketika melihat sebuah SPBU di depan. Ia menarik rem ketika gadis itu mendadak berhenti. Gadis itu turun dari motornya. Dia menatap Januar. Kepalanya ia anggukan dan berterima kasih pada Januar.

Senyum terlihat jelas pada raut Januar. Dia mengulurkan tangan pada gadis itu. "Januar." Januar mengenalkan diri.

Gadis itu menjabat tangan Januar. "Naima," balas gadis itu.

"Kalau begitu, aku pamit pulang. Sudah ada yang akan membantumu." Januar pamit.

"Sekali lagi terima kasih." Gadis bernama Naima tersenyum pada Januar.

Januar hanya mengangguk. Ia bergegas menyalakan motornya dan berlalu pulang. Sepanjang perjalanan menuju pulang, Januar teringat akan dua kejadian yang dialaminya. Pertama, dia mengetahui tentang kebenaran akan perkataan Lisa yang memanfaatkannya. Kedua, dia bertemu dengan orang yang ia rasa gadis itu lebih baik dari Lisa. Januar seakan kehilangan sahabat, tapi ia pun merasa mendapat sahabat yang lain di saat yang sama.

***

Januar mengalihkan pandangan dari bukunya ketika terdengar pintu kamarnya diketuk. Ia bergegas dari tempat duduknya, berjalan menuju pintu. Januar mendapati Damian berdiri di depan kamarnya ketika dia membuka pintu.

"Ayah," lirih Januar.

"Boleh Ayah masuk?" Damian meminta izin.

Januar bergegas membuka lebar pintu kamarnya agar sang ayah masuk ke dalam kamarnya. Tidak biasanya Damian datang ke kamar putra angkatnya itu kecuali untuk urusan penting. Biasanya, dia memakai jasa pembantu untuk memanggil Januar jika ada perlu. Damian menatapi kamar putranya. Ia menatap takjub kamar Januar. Kamar Januar terlihat bersih, rapi, dan sangat berbeda dengan kamar-kamar remaja pada umumnya. Damian duduk di ujung ranjang. Ia menginstruksi Januar agar duduk. Januar patuh.

"Kenapa kamu mengajukan beasiswa ke pihak sekolah? Apa kamu merasa Ayah tidak sanggup untuk menguliahkanmu ke luar negri?" tanya Damian tanpa basa-basi, bahkan tak menatap Januar.

"Bukan seperti itu, Yah. Januar hanya iseng saja." Januar membalas pertanyaan Damian.

Damian mengangkat kepalanya, menatap sang anak. "Iseng atau kamu merasa Ayah tak mampu menguliahkanmu ke luar negri?!" tanya Damian tegas.

Januar semakin menunduk. "Maafin Januar, Yah. Januar nggak bermaksud bikin Ayah kecewa. Selama ini, Ayah sudah memberikan yang terbaik untuk Januar. Januar sengaja mengambil beasiswa itu agar Januar nggak ngrepotin Ayah terus. Januar ingin berusaha agar apa yang Januar miliki nggak sia-sia. Januar minta maaf." Januar terdengar menyesal.

Damian mengangguk. Kini ia paham dengan maksud anaknya mengajukan beasiswa ke SMA Taruna. Januar ingin memanfaatkan kepintarannya untuk menyambung sekolahnya. Ia tak mengandalkan apa yang dimiliki oleh Damian. Tapi, apa yang dilakukan Januar justru akan berdampak pada kehormatan Damian. Bagaimana mungkin salah satu orang terkaya di Bali menyekolahkan anaknya dengan hasil beasiswa?

"Tapi Ayah tidak akan pernah setuju kamu kuliah memakai beasiswa." Damian menolak keinginan Januar.

Januar menatap Damian. "Kenapa, Yah? Apa karena Ayah orang terpandang? Januar nggak masalah kalau mereka akan mengolok Januar."

Damian menghela napas. "Urungkan niatmu untuk kuliah memakai beasiswa. Jangan coreng noda di wajah Ayah dengan tindakanmu ini. Ayah tahu niatmu baik, tapi itu akan berdampak pada Ayah. Bukan hanya Ayah saja, tapi keluarga ini. Mengertilah. Ayah tidak masalah jika kamu ingin kuliah ke luar negri. Kamu ingin ambil jurusan apa? Hukum? Bisnis? Arsitek? Atau apa? Ayah akan biayai semuanya fasilitasmu." Damian menawari Januar.

Jika sudah menyangkut harga diri, maka Damian tak ingin main-main. Bukan hanya Damian yang akan menanggung malu, tapi semua keluarganya. Januar hanya menunduk. Ia memikirkan ucapan Damian. Dia membenarkan apa yang Damian utarakan.

"Ayah merekomendasikan Melbourne Business Scoll atau Monash University. Atau kamu ingin universitas lain di sana? Ayah punya rumah di sana. Ayah pun punya keluarga di sana. Setidaknya, jika kamu memikirkan tempat tinggal, makan, atau apa pun yang membuatmu kepikiran, maka kamu boleh bekerja sampingan di sana. Nanti Ayah akan rekomendasikan tempat mana yang sesuai dengan keinginanmu." Damian melanjutkan.

Tak ada jawaban dari Januar. Damian memberikan waktu untul Januar berpikir. Ia menepuk bahu putranya ketika tak ada jawaban dari Januar. "Kamu sudah membanggakan kami dengan prestasimu. Itu sudah cukup. Kali ini, Ayah harap kamu tidak akan mengecewakan Ayah dengan apa yang kamu lakukan." Damaian beranjak dari tempat duduknya, berlalu meninggalkan kamar putranya.

Januar menghela napas. Ia tak memiliki pilihan selain mengikuti permintaan sang ayah. Beasiswa itu memang tak pantas diberikan pada Januar karena Januar sanggup untuk kuliah di luar negri tanpa beasiswa, maka dari itu, pihak sekolah melaporkan pada Damian jika Januar mendaftarkan diri untuk mendapat beasiswa.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro