Bagian 8

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Tak ada pilihan lain selain menuruti perintah ayahnya. Januar terpaksa menerima perintah Damian untuk kuliah di Aussie. Ujian akhir pun sudah dijalani Januar. Ia kembali menjadi predikat murid terbaik. Jika saja kondisinya tidak memungkinkan, sudah pasti Januar mengambil beasiswa yang ia terima dari sekolahnya. Tapi hal itu tak mungkin karena Januar kini anak orang penting di kota itu. Tidak mungkin anak orang penting kuliah dengan hasil beasiswa.

Beberapa hari lagi adalah hari terakhirnya di SMA Taruna. Banyak kenangan yang tercipta di sekolah itu selama satu tahun lebih. Januar merasa berat harus meninggalkan sekolah itu. Ia nyaman berada di sana. Walaupun awal masuk ke sekolah itu Januar harus berurusan dengan Gibran, tapi setelah kepergian Gibran membuatknya merasakan nyaman berada di SMA itu. Januar memang tak memiliki banyak teman di sekolah, tapi bukan berarti mereka benci pada Januar, melainkan karena Januar memang cenderung tertutup. Dia khawatir jika teman yang dengannya akan tahu jati dirinya jika berteman dengan Januar dan akan mulai mengoloknya.

Januar melangkah masuk menuju perpus. Tidak ada tempat yang lebih menarik baginya di sekolah kecuali perpus. Januar akan tenggelam menikmati setiap barisan tulisan pada buku untuk menghabiskan waktu istirahatnya. Januar menghampiri rak buku di mana ia mengincar sebuaha buku yang ingin ia baca. Matanya menyusuri setiap deretan buku yang tertata rapi di rak perpus. Pandangannya teralih ketika melihat sosok yang pernah ia tolong beberapa pekan yang lalu. Januar mengamati gadis bernama Naima itu. Senyum terukir pada raut Januar. Ia merasa senang menatap Naima. Naima tipe gadis pendiam, tapi memiliki kecerdasan luar biasa. Tingginya cukup. Wajahnya menggemaskan. Rambutnya lurus. Dan gadis itu berpakaian sopan, berbeda dengan siswi lainnya.

Januar tertangkap basah. Naima mendapati Januar yang sedang memerhatikannya. Januar mengulas senyum paksa karena malu. Ia mengusap tengkuknya karena malu sudah tertangkan memerhatikan Naima. Januar meraih buku asal dan bergegas menuju kursi. Ia mendaratkan tubuhnya di kursi yang biasa ia duduki. Ia pun merutuki dirinya sendiri karena sudah tertangkap memerhatikan Naima. Januar membuka bukunya. Diamati buku itu. Januar merasa bingung. Ia kemudian membalik buku untuk menatap sampul buku. Januar menepuk dahinya karena buku yang ada di tangannya bukan yang ia cari. Ia menutup buku itu dan meletakannya di atas meja. Pandangannya teralih ketika mendapati sosok Naima duduk tak jauh dari tempatnya saat ini. Januar menyandarkan tubuhnya pada sandaran kursi yang ia duduki. Senyum tercetak di rautnya.

Entah kenapa aku bisa sekagum ini dengan gadis itu. Aku nggak tahu dia tinggal di mana. Pertemuan nggak sengaja waktu itu pun nggak sengaja. Kenapa aku jadi seperti ini kalau ketemu dia? Dekat sama dia saja nggak. Ah, aku nggak mungkin suka sama dia. Januar berkata dalam hati.

Januar menghela napas. Ia beranjak dari tempat duduknya untuk mengembalikan buku yang ia ambil. Konsentrasinya buyar ketika wajah Naima terngiang dalam ingatannya. Hanya karena gadis itu semua pikiran Januar mendadak bubar barisan. Untung saja ujian sudah selesai, jadi tak mempengaruhi kualitas belajarnya. Januar melangkah untuk keluar dari perpus. Ia menoleh ke arah Naima ketika berjalan melewati gadis itu. Nothing. Januar kembali menatap lurus. Ia memejamkan matanya dan menggeleng.

Aku nggak boleh jatuh cinta. Aku harus pegang janjiku sama Ayah dan ibu kalau aku akan fokus sekolah. Lagian nggak lama lagi aku akan ke Aussie untuk kuliah di sana. Aku nggak boleh punya kenangan istimewa di sekolah ini kecuali kenyamanan yang aku dapat di sini. Kamu harus tepati janji itu Januar. Januar mengingatkan dirinya sendiri.

Januar bergegas menuju kelas. Sesaat langkahnya memelan ketika seseorang yang ia kenali berdiri di samping pintu kelasnya.

Lisa? Sedang apa dia di depan kelasku? Januar membatin.

Ya. Lisa berdiri di samping pintu kelas Januar untuk menantinya. Januar berjalan santai. Ia tak menatap Lisa yang kini persis di sampingnya.

"Ri ..." lirih orang itu.

Januar menghentikan langkah sebelum masuk ke kelasnya. Ia pun tak menatap Lisa. Pandangannya mengarah ke tempat lain.

"Terima kasih karena sudah ngajarin gue. Gue masuk sepuluh besar. Ortu gue seneng banget pas tau aku masuk sepuluh besar, Ri. Gue langsung ingat lo. Lo yang bantuin gue selama ini buat dapetin peringkat itu walaupun bukan di tiga besar, tapi gue dan ortu seneng banget. Gue minta maaf sama lo masalah saat gue minta kepastian dari lo mengenai hubungan kita. Gue sadar nggak seharusnya gue berharap lebih sama lo. Gue seharusnya bersyukur sudah punya teman sebaik lo. Gue nyesel. Masalah Gibran, gue juga minta maaf. Gue minta maaf untuk semuanya. Semoga lo masih mau jalin sahabatan sama gue." Lisa menjelaskan.

Januar menatap Lisa. Ia dapati ketulusan dari wajah Lisa. Januar lalu mengangguk. Lisa tersenyum.

"Selamat ya, Ri. Elo emang murid terbaik. Gue masih salut sama elo sampai sekarang. Beruntung banget cewek yang bisa dapetin lo. Semoga lo sukses terus." Lisa melanjutkan.

"Sama-sama, Lis. Semoga kamu lebih baik lagi belajarnya dan bisa naik peringkat ke tiga besar." Januar membalas Lisa.

Lisa tersenyum. Dia mengulurkan tangan pada Januar. Januar menatap Lisa dengan wajah bertanya.

"Untuk rasa terima kasih dan untuk kembali menjalin hubungan persahabatan, itu kalau lo mau, sekaligus untuk perpisahan karena lo bakal pergi dari sekolah ini." Lisa terdengar sedih.

Januar menjabat tangan Lisa. "Semoga kamu dan Gibran langgeng." Januar tersenyum.

"Gue nggak ada hubungan apa-apa sama Gibran. Waktu itu, dia jemput gue karena permintaan dari bokapnya."

"Ya sudah, kalau gitu aku masuk dulu. Aku mau pulang karena ada urusan yang harus aku selesaikan." Januar pamit masuk.

Lisa mengangguk.

Januar masuk ke dalam kelas, menghampiri tempat duduknya. Ia menatap bingung pada bingkisan rapi yang ada di atas mejanya. Januar meraih kotak terbungkus kado itu. Ada kartu ucapan yang terselip. Januar meletakan bingkisan kado itu, lalu membaca isi pesan pada kartu ucapan.

Selamat ya, Ri.
Semoga lo sukses terus.
Gue minta maaf jika banyak salah.

Lisa Anastasia

Januar menutup kertas itu dan meletakannya di atas kado itu. Ia lalu berjalan menuju pintu kelas ketika teringat pada beberapa menit lalu berbicara dengan Lisa. Lisa sudah tidak ada di sana. Januar menatap ke arah lorong. Tidak ada. Ia menghela napas, lalu kembali masuk ke dalam kelas . Januar menatap bingkisan itu. Tangannya tergerak membuka kado dari Lisa. Januar mengulas senyum. Dia memotek sebagian coklat pemberian Lisa, lalu memasukannya ke dalam mulut.

Sejak kapan dia tahu kalau aku suka coklat? Perasaan, aku nggak pernah cerita sama siapa-siapa kalau aku suka coklat, termasuk Lisa. Januar membatin.

Januar mengemas kembali sekotak coklat pemberian Lisa. Ia lalu memasukan kotak coklat itu ke dalam tas bersama buku-bukunya. Januar pun menggendong tasnya dan berlalu meninggalkan kelas yang sudah sepi.

Langkah Januar terhenti ketika melihat sosok Naima berdiri di dekat pintu gerbang. Januar memerhatikan Naima dari tempat berdirinya saat ini.

Sedang apa dia? Apa dia nunggu jemputan? Mana motor yang dia pakai? Januar bertanya dalam batin.

Tak lama, mobil mewah menghampiri Naima. Januar mengerutkan dahi. Seseorang turun dari mobil itu. Januar penasaran dengan orang tersebut karena sebaya dengannya.

Apa dia pacar Naima? Atau teman? Atau bisa jadi saudara? Hanya Naima yang tahu akan hal itu.

Januar bergegas meraih helm dan memakainya. Ia lalu menaiki motor yang selama ini menemaninya untuk ke sekolah dan ke mana pun. Januar meninggalkan area parkiran sekolah. Pikirannya masih diselimuti tentang Naima dan laki-laki yang menjemputnya.

***

Januar mengerjapkan mata. Pagi ini adalah hari terakhir di mana dia bisa menikmati kamar pribadinya. Dia akan meninggalkan Bali untuk beberapa tahun karena dia harus melanjutkan kuliah di Aussie. Januar beranjak duduk. Ia menatapi kamarnya.

Aku akan meninggalkan kamar ini untuk waktu yang lama. Kamar ini tempat aku melepas lelah. Melepas kebosanan saatbelajar. Tempat pemberian orang tua angkatku. Aku akan sangat merindukan tempat ini. Bukan hanya tempat ini, tapi seluruh yang ada di rumah ini.

Januar menghela napas. Ia menurunkan kakinya dari ranjang. Sesaat, ia menatapi benda bermuatan pakaian di sisi lemarinya. Beberapa jam lagi ia akan pergi dari rumah itu untuk terbang ke Australia. Januar beranjak dari ranjang. Ia berjalan untuk keluar dari kamarnya. Suara tangis terdengar. Januar tersenyum. Ia segera menutup pintu kamar dan bergegas turun.

"Aida, sabar, ya. Bunda sedang siapkan sarapan buat Ayah dan Kak Januar." Terdengar suara wanita menggema.

Januar berlari kecil menuruni tangga. Dilihatnya gadis mungil terbujur di troli sambil menangis kencang. Januar menghampiri Aida. Ia meraih tubuh mungil itu. Tangis Aida mereda. Januar mencium pipi montok Aida.

"Aida kenapa? Bunda lagi sibuk, jadi Aida sama Kakak. Aida mau ke mana?" tanya Januar pada gadis mungil yang sedang ia gendong.

Aida hanya menatap Januar yang sedang memerhatikannya. Januar membawa Aida pergi dari tempat itu.

"Bu! Aida sama Ari!" seru Ari sebelum keluar dari ruang keluarga untuk menuju taman samping rumah.

Hari-hari Januar ketika di rumah, jika tidak belajar, maka dia akan membantu pekerjaan rumah. Januar sudah biasa melakukan pekerjaan itu ketika ia di panti. Bahkan Damian mengajarinya memasak ketika ada waktu luang untuk membekali Januar karena dia akan tinggal mandiri di Aussie. Damian memasukkan Januar ke universitas tempatnya dulu menimba ilmu. Setidaknya, Damian memiliki banyak kenalan di sana untuk memudahkan Januar belajar dan berinteraksi. Terlebih, Emma akan menjadi teman Januar selama di sana. Ya. Emma, adik tiri Damian masuk universitas dari jadwal yang dimajukan. Emma dan Januar sama-sama memiliki kecerdasan luar biasa. Januar akan cocok jika bersama Emma. Januar pun sudah mulai berkomunikasi dengan Emma untuk saling mengenal satu sama lain.

Januar terkesiap ketika namanya diseru oleh Aisyah. Ia beranjak dari gazebo, lalu masuk ke dalam. Ia menghampiri meja makan. Sudah ada Damian di sana. Januar memberikan Aida pada Aisyah. Ia lalu duduk di samping Damian.

"Ayah sudah lunasi apartemen kamu di sana selama setahun. Letaknya tak jauh dari kampus. Tempat itu milik teman Ayah. Kamu bisa hubungi Ayah jika mengalami kendala." Damian membuka obrolan.

Januar meraih roti bakar. "Iya, Yah," balas Januar.

"Jaga diri baik-baik di sana, Ri. Di sana nggak seperti di sini. Kalau kamu butuh apa-apa di sana dan mendadak, kamu bisa minta tolong Emma. Emma lebih tau keadaan di sana." Aisyah menimpali, mengingatkan Januar.

"Iya, Bu."  Januar membalas singkat sambil mengoles selai ke roti bakarnya.

Sudah beberapa kali Januar mendapat peringatan dari orang tuanya untuk hati-hati mengenai tempat, makan, dan sosialisasi selama di Aussie. Januar hanya patuh dan mengingat apa yang disampaikan oleh orang tuanya.

"Apa masih ada bekal yang kurang? Kamu jangan diam saja kalau ada sesuatu yang kurang, Ri. Biar Ayahmu carikan jika ada sesuatu yang kurang." Aisyah kembali angkat suara.

"Semua sudah cukup, Bu. Ari cuma mau izin buat ke rumah Mbak Juli. Ari mau pamit sama Mbak sebelum berangkat." Ari meminta izin.

"Iya. Tapi jangan lama-lama. Nanti siang, jam tiga, kamu harus sudah di bandara." Aisyah mengingatkan.

Januar mengangguk. Ia bergegas menyelesaikan sarapannya. Setelah selesai, ia bergegas menuju kamarnya untuk mandi dan bersiap-siap menuju rumah Juli. Di saat kakaknya sedang hamil, dia harus meninggalkannya. Mungkin Januar tidak akan bisa melihat lahirnya sang keponakan karena dia harus fokus belajar. Januar merasa sedih karena akan meninggalkan orang-orang yang ia sayangi.

***

Setelah menempuh perjalanan beberapa menit, Januar tiba di halaman rumah kakaknya. Ia melepas helm dan bergegas turun dari motornya. Januar melangkah menuju teras. Tangannya tergerak menekan bel. Tak lama, pintu rumah itu terbuka. Januar tersenyum ketika mendapati sang kakak yang membuka pintu. Raut Juli terlihat pucat.

"Mbak sehat, kan?" tanya Januar.

Juli mengangguk. Dia membuka pintu lebar agar adiknya masuk.

Januar merangkul bahu kakaknya. "Mbak. Nanti siang Ari jalan ke bandara. Ari pamit sama Mbak. Doain Ari, semoga Ari lancar belajarnya di sana. Biar Mbak bangga sama Ari. Ari ingin sukses, Mbak. Ari  ingin bahagiain Mbak dan semua. Ari ingin membuktikan sama mereka yang mandang Ari rendah." Ari menunjukkan semangatnya.

Tak ada jawaban dari Juli. Januar menatap kakaknya. Ia melihat Juli sedang memijit keningnya. Januar merasa curiga. Tubuh Juli merosot. Januar bergegas menjadi tameng agar kakaknya tak terjatuh ke lantai.

"Mbak!" seru Januar panik.

Januar membantu kakaknya untuk menuju sofa. Ia merebahkan tubuh kakaknya di atas sofa. Tangannya bergegas meraih benda pipih di dalam saku celananya. Kontak Alex segera ia panggil. Tersambung.

"Kak. Cepat pulang. Mbak Juli pingsan." Januar langsung bersuara ketika Alex mengangkat telepon darinya dan sebelum Alex mengatakan sepatah kata.

Januar mematikan sambungan telepon setelah Alex membalasnya. Ia menatap Juli. Juli membuka mata sayup.

"Mbak nggak apa-apa, Ri," lirih Juli tanpa suara.

"Ari khawatir sama Mbak. Mbak kenapa?" Januar menatap Juli sedih.

Juli tersenyum lemah. Ia menenangkan adiknya yang terlihat cemas dengan mengusap perutnya yang masih datar. Berharap Januar mengerti. Januar cukup paham dengan gerakan mulut kakaknya. Walaupun tidak mengeluarkan suara, tapi Juli bisa mengucapkan karena dia awalnya bisa berbicara. Hanya pita suaranya saja yang rusak.

"Masa sampai pingsan gini? Mbak nggak bohong kan sama Ari?" Ari masih tak percaya.

"Kapan Mbak pernah bohong sama kamu?" Juli masih meyakinkan adiknya.

"Kalau Mbak bohong, Ari nggak akan kuliah ke luar negri. Ari mau di sini saja jagain Mbak." Ari menggerutu.

Juli tertawa karena melihat kepolosan sang adik. Januar menatap kakaknya bingung. Di saat ia khawatir, Juli justru mentertawakannya.

"Januar serius, Mbak." Januar cemberut.

"Bagaimana keadaan Juli?"

Januar dan Juli menoleh bersamaan. Alex berjalan mendekati mereka dengan raut khawatir.

Ari beranjak. "Mbak tadi pingsan. Katanya itu karena hamil. Masa karena hamil bisa pingsan?" Ari menatap kakak iparnya.

"Iya. Dia tidak boleh kelelahan. Itu akan mempengaruhi kehamilannya." Alex menghampiri Juli, bersimpuh di samping sang istri.

Dahi Januar berkerut. Ia masih tak mengerti dengan ucapan Juli dan Alex. Pikiran Januar buyar ketika ponselnya bergetar. Ia bergegas meraih ponselnya yang tergeletak di atas meja. Satu pesan tertera dari Emma. Januar membuka pesan dari Emma.

From Emma:
Aku tidak sabar ingin langsung bertemu denganmu, Januar Adima. Ada banyak yang ingin kutunjukan padamu di sini.

Januar tersenyum. Ia bergegas membalas pesan Emma.

To Emma:
Tunggu saja. Aku pegang janjimu, Emma.

Januar tenggelam membalas pesan dari Emma. Januar pun penasaran pada sosok gadis ceria itu. Banyak hal yang ingin Januar tahu darinya termasuk kepintarannya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro