ENAM

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Derap langkah menggema di lorong kelas SMA Taruna. Kedatangannya ke SMA Taruna untuk menyelesaikan masalah yang membelenggu putranya. Dia tak menyangka jika putranya akan diam ketika martabatnya direndahkan siswa lain. Hampir satu tahun dia menyembunyikan masa lalu putranya, tapi kini, dia harus menyingkirkan orang yang telah menanam luka pada wajah dan hati putranya. Dia memang mengajari putranya untuk tidak berkelahi, tapi jika sudah mengenai harga diri, dia tidak akan bisa tinggal diam. Menyingkirkan atau dimatikan. Hanya itu pilihan yang ada dalam dirinya.

Pintu terbuka ketika dia selesai mengetuk. Dia pun masuk ke dalam ruang kepala sekolah setelah beberapa hari yang lalu mendapat pemberitahuan atas insiden yang terjadi beberapa hari lalu mengenai perkelahian Gibran dan Januar. Ya. Damian datang ke sekolah Januar untuk menyelesaikan masalah yang terjadi. Kesalahan terjadi bukan karena Ari, melainkan berawal dari Gibran yang merasa tersaingi dengan kehadiran Ari di SMA Taruna sekaligus ingin menyingkirkan Ari karena sudah membuat hubungan Gibran dan Lisa kandas.

Damian menatap putranya. Januar menunduk seperti pada biasanya. Wajahnya masih menyisakan lebam. Dia duduk di samping putranya.

"Maafin Ari, Yah," lirih Ari pada ayahnya, Damian.

Ari sudah berusaha agar ayahnya tak mengetahui insiden itu, tapi sepandainya dia menyimpan bangkai, maka tak lama akan tercium aroma busuknya.

"Saya ada pertemuan dengan orang penting satu jam mendatang. Bisa dimulai sekarang?" tanya seseorang di seberang Damian. Lebih tepatnya ayah kandung Gibran.

"Ini sudah beberapa kali masalah ini terjadi. Entah apa yang terjadi pada Gibran dan Januar sehingga membuat keduanya harus kembali mengalami perkelahian. Sebelumnya tak sampai seperti ini, tapi ini sudah keterlaluan sampai Ari mengalami luka parah. Guru BP sudah mengintrogasi mereka, tapi Ari tak pernah merespon. Gibran pun tak menjelaskan apa yang mereka ributkan sehingga beberapa kali terjadi perkelahian. Saya terpaksa mengundang Anda semua untuk menyelesaikan masalah ini agar tidak semakin panjang." Kepala sekolah membuka permasalahan yang terjadi.

Damian menatap putranya. Selama ini Ari tak pernah cerita apa pun padanya mengenai masalah yang terjadi di sekolah. Mendapat kabar ini beberapa jam yang lalu membuat Damian terkejut dan membuka pikiran. Dia tak mungkin selamanya bisa menutupi masa lalu Ari, tapi Damian pun tak ingin orang lain tahu mengenai masa lalu anak angkatnya karena bagi Damian, Ari sudah ia anggap sebagai anaknya sendiri.

"Itu masalah wajar yang terjadi pada anak remaja. Apa yang perlu dikhawatirkan? Paling masalahnya karena wanita." Ayah Gibran menyahut. Dia tersenyum acuh.

Damian menghela napas. Dia tak menyangka jika putranya akan menutupi masalah yang terjadi di sekolah padanya. Dia hanya tahu mengenai nilai-nilai yang Ari dapat selama sekolah di SMA Taruna. Damian tidak pernah mengamati pergaulan dan apa yang Ari lakukan selain belajar di luar rumah. Damian percaya pada Ari karena dia bukan tipe anak yang suka kluyuran atau menghabiskan waktu dengan hal-hal yang tidak penting.

"Saya ingin melihat CCTV saat semua kejadian berlangsung." Damian angkat suara.

"Saya sudah menyiapkannya." Kepala sekolah menimpali. Dia mulai menyalakan layar monitor dan perkelahian antara Gibran dan Ari pun terputar pada layar besar yang tak jauh dari tempat mereka duduk saat ini.

Damian sekilas menatap putranya yang masih saja menunduk. Dia percaya jika putranya tidak pernah memulai kejadian yang akan merusak nama baiknya. Damian sudah banyak mengajarinya untuk tidak menyerang siapapun, tapi bukan berarti dia mengalah jika harga diri Ari kembali diinjak. Damian tak menyangka jika Ari akan menuruti semua ucapannya termasuk untuk tidak berkelahi. Damian pun merasa bersalah pada Ari karena Ari menerima pukulan di wajahnya tanpa perlawanan. Damian teringat pada masa lalunya yang kelam. Damian justru menghabisi temannya hingga sekarat.

Pemutaran video CCTV dari semua kejadian perkelahian antara Gibran dan Januar pun selesai. Semua melihat jelas bahwa Gibran yang mulai mencari masalah pada Ari.

"Anak saya tidak salah. Dia tidak akan melakukan hal itu jika tidak dimulai dari lawan. Mungkin kejadiannya bukan hanya di sekolah saja, tapi di luar sekolah pun mereka berkelahi." Ayah Gibran kembali membuka percakapan.

"Saya selaku kepala sekolah ingin menyelesaikan masalah ini secara keluarga agar masalah ini tidak kembali terulang pada Gibran dan Januar, atau pada murid lain, dan agar tidak menjadi topik gosip murid-murid di SMA Taruna." Kepala sekolah mengusulkan.

"Saya ingin memberi ketegasan pada kepala sekolah untuk mengeluarkan siswa pembuat masalah di sekolah ini jika pihak sekolah tidak ingin berurusan dengan hukum. Saya sudah diam ke sekian kali mengenai perkelahian ini sehingga membuat anak saya harus terluka seperti. Bukti sudah jelas. Tinggal pilih antara menyelesaikan secara hukum atau kekeluargaan." Damian angkat suara. "Dan saya yakin, Ari tidak pernah berkelahi di luar sekolah atau di luar rumah. Jika itu terjadi, sudah pasti ada gosip yang menyebar dan mencoreng nama baik saya." Damian melanjutkan.

Gibran beranjak dari tempat duduk. "Tapi dia bukan anak Anda, Pak Damian! Dia anak pungut, anak haram, hasil dari PSK yang menjual diri di negara orang!" Gibran meluapkan emosi yang sudah ia tahan.

Damian tersenyum sinis. "Apa Anda masih akan mempertahankan siswa seperti ini, Nyonya Sely?" Damian menatap Sely, kepala sekolah SMA Taruna. "Bagaimana Tuan Bimo? Apa saya perlu mengajukan kasus ini pada pihak berwajib karena anak Anda sudah melakukan tindakan pencemaran nama baik? Apakah selama saya diam berarti saya kalah?" Damian beralih menatap Bimo, ayah Gibran.

"Tidak seperti itu, Pak Damian. Ini hanya masalah sepele." Bimo mengelak.

"Sepele?" Damian tersenyum sinis. "Masalah ini tentu sudah menyebar di luar sana, tapi Anda masih berkata ini sepele? Didikan macam apa yang sudah Anda berikan padanya sehingga dia memiliki sifat seperti ini?" Damian melanjutkan. "Anda terlalu santai menyikapi masalah ini, Tuan Bimo." Damian menambahi.

"Aku nggak mau keluar dari sekolah ini!" Gibran beranjak dari tempat duduknya, lalu meninggalkan ruangan itu.

"Saya harap Anda semua tenang dan kami tetap akan menyelesaikan masalah ini secara kekeluargaan. Saya akan segera menyelesaikan masalah ini." Sely memberi keputusan.

Damian tak membalas.

"Tapi saya tidak setuju jika anak saya dikeluarkan dari sekolah ini." Bimo menyela.

"Maafkan kami, Pak Bimo. Masalah ini terbukti jika anak Anda pelaku utama dan Ari adalah korban. Anda bisa lihat dari tayangan CCTV. Anak Anda terbukti salah." Sely menimpali.

"Saya akan menasehati Gibran untuk masalah ini dan saya pastikan dia tak akan membuat kerusuhan kembali di sekolah ini, termasuk berurusan dengan anak angkat Pak Damian." Bimo mengalah.

"Baiklah. Sepertinya saya harus pergi karena ada pertemuan dengan orang penting. Saya ingin, murid berperilaku arogan harus cepat ditindak dan diberi hukuman setimpal. Saya tidak ingin masalah ini kembali terulang pada anakku atau pada siswa lain. Jika kejadian ini kembali terulang pada anak saya, maka saya tidak akan segan-segan untuk melaporkan pihak sekolah dan pihak tersangka ke jalur hukum." Damian mengingatkan.

"Saya mewakili pihak sekolah meminta maaf karena lalai dalam menjaga murid. Saya pastikan masalah ini tidak kembali terulang. Saya akan memberi keputusan tegas pada Gibran." Sely meminta maaf pada Damian.

"Saya serahkan masalah ini pada Anda dan jangan membuat saya kecewa dengan hukuman yang Anda berikan pada murid berperilaku buruk. Saya permisi." Damian berlalu dari ruangan itu.

Ari pun berpamitan pada Sely untuk mengikuti ayahnya. Setidaknya Ari merasa lega saat ini karena kemungkinan Gibran untuk kembali membuat keributan sudah teratasi.

"Kenapa kamu tidak bilang pada Ayah jika selama ini dia mencari masalah denganmu termasuk merendahkan dirimu?" tanya Damian pada Ari sambil berjalan menuju parkiran.

"Ari nggak mau merepotkan Ayah. Ayah sudah cukup pusing dengan masalah kantor dan Ari nggak mau nambahin beban Ayah. Lagian, baru kali ini Ari mengalami luka parah." Ari membalas pertanyaan Damian sambil mengikuti langkah sang ayah.

"Ari!!!" seru wanita dari arah jauh. Wanita itu menghampiri Ari.

Langkah Damian terhenti ketika seorang gadis menyeru nama Ari. Ari pun menghentikan langkahnya. Dia menunduk karena takut ayahnya akan menduga jika Lisa menjalin hubungan dengan dirinya. Ari sudah berjanji pada diri sendiri jika tidak akan menjalin asmara pada siapapun karena Damian pasti tidak akan mengizinkan.

"Ri-" ucapan Lisa terpotong ketika mendapati Damian berdiri di sebelah Ari. "Om ..." Lisa mengangguk pada Damian.

Damian memandang Lisa sekilas. Dia mengangguk. "Ayah tunggu di mobil. Jangan lama-lama." Damian meninggalkan Ari dan Lisa.

"Pak Damian!!" seru seseorang.

Langkah Damian kembali terhenti. Damian tak membalikan tubuh. Dia kembali melanjutkan langkahnya. Damian tahu jika Bimo akan menemuinya. Bimo melewati Ari dan Lisa. Ari dan Lisa menatap ayah Gibran yang sedang mengejar Damian.

"Apa semuanya baik-baik saja? Gue khawatir sama elo, Ri." Lisa menatap Ari khawatir.

"Aku nggak apa-apa, Lis. Aku cuma takut saja Gibran dikeluarkan dari sekolah ini." Ari menatap Lisa.

"Dia pantas dapat itu, Ri. Dia yang selalu cari masalah sama lo. Gibran sudah berlebihan." Lisa membenarkan.

"Aku akan merasa bersalah kalau Gibran sampai dikeluarkan dari sekolah ini." Ari merasa sedih.

Lisa menepuk bahu Ari. "Dia anak orang kaya. Kenapa lo khawatir dengan dia. Seharusnya lo bersyukur karena dia nggak bakal lagi gangguin elo. Gue senang dengarnya kalau Gibran keluar dari sini. Dia memang biang ribut." Lisa menenangkan Ari.

"Jadi kamu ingin aku keluar dari sini?!" Gibran berjalan mendekati Ari dan Lisa.

Ari dan Lisa pun menoleh ke sumber suara. "Iya! Kenapa?!" Lisa menatap Gibran sinis.

Gibran tertawa sumbang. "Kalian nggak akan pernah bisa mengusir aku dari sekolah ini. Kalau itu terjadi, siap-siap saja sekolah ini kehilangan citra sebagai sekolah terbaik."

"Dan siap-siap usaha ayahmu bangkrut!" Damian menyela. "Jika urusanmu sudah selesai, cepat ikut Ayah." Damian menatap putranya.

"Jangan lagi mencari masalah dengan putra Pak Damian jika kamu masih ingin sekolah!" Bimo pun angkat suara dan mengingatkan sang anak. Dia takut jika Damian akan menghancurkan bisnisnya karena Damian sangat berbahaya dalam dunia bisnis di Bali.

"Aku pulang dulu, Lis." Ari menatap Lisa.

Lisa mengangguk. Dia lalu menatap Gibran dan tersenyum mengejek. "Game over," bisik Lisa pada Gibran.

Ari mengikuti langkah Damian menuju mobil. Masalah yang seharusnya bisa ia tangani tanpa melibatkan Damian, pada akhirnya semua berantakan. Ari hanya bisa pasrah jika Damian akan menghukumnya.

"Ari siap menerima hukuman dari Ayah." Ari membuka suara ketika sudah memasuki mobil. Dia tahu jika Damian akan menghukumnya karena sudah berbuat kesalahan.

"Ayah tak mengerti dengan apa yang kamu pikirkan, Ri. Dulu ketika ada temanmu mengejek dengan hal yang sama kamu membantainya sampai mengirimnya ke rumah sakit. Lalu kenapa justru kamu mengalami luka parah dan mengirim dirimu sendiri ke rumah sakit? Mana Ari yang dulu? Ari yang selalu menjunjung tinggi harga dirinya?" Damian menyidang Ari.

Ari hanya diam. Dia akan diam jika sedang disidang Damian. Tak pernah ia membantah atau menyela ucapan Damian.

"Jika perkelahian pertama menyangkut penampilan, wanita, atau ketampananmu, Ayah tidak masalah jika kamu bertahan. Tapi ini masalah harga diri kamu, Januar Adima! Kamu anak Ayah dan Ayah tak mau melihat orang lain merendahkan harga dirimu. Ayah akan keluarkan anak Pak Bimo dari sekolahmu. Ayah tak ingin dia semakin menindasmu. Nanti malam, kamu siap-siap di ruang gym. Ayah akan menghukummu di sana." Damian melanjutkan.

"Tapi, Yah-"

"Ayah tidak mau mendengar alasan apa pun darimu. Keputusan Ayah tidak akan bisa dirubah. Gibran akan keluar dari SMA Taruna." Damian memotong ucapan Januar. Dia kukuh pada keputusannya untuk menyingkirkan siapa saja yang sudah menginjak harga diri keluarganya.

Ari hanya bisa menunduk sedih. Dia tak ingin masalahnya sampai separah ini. Dia takut jika Gibran akan mengincarnya karena sudah membuatnya keluar dari SMA Taruna dan mengalami sakit hati mengenai Lisa. Terlebih Gibran anak orang kaya.

Sampai saat ini Januar masih tidak mengetahui jika ayah angkatnya adalah orang paling berpengaruh dalam dunia bisnis di Bali. Nama Damian dan Jordan tercatat dalam daftar orang paling ditakuti dalam dunia bisnis.

***

Ari menatap tempat yang sedang ia pijak saat ini. Pandangannya menyusuri setiap alat-alat yang ada di depannya saat ini. Ari menghela napas. Ia merasa akan mendapat hukuman berat. Keheningan terpecah ketika pintu ruangan itu terbuka. Damian masuk ke dalam dan meletakan botol minum di atas meja, lalu menghampiri Ari.

"Sudah siap?" tanya Damian.

Ari hanya diam. Dia merasa takut karena baru kali ini melihat tempat seperti itu di dunia nyata. Biasanya ia melihat alat-alat itu hanya di televisi.

"Ayah menghukummu karena kamu tidak melawan Gibran saat dia merendahkan harga dirimu. Ayah tidak menghukummu karena masalah teman wanitamu, tapi Ayah akan menghukummu agar kamu tahu kapan waktu melawan, dan kapan waktu bertahan." Damian menjelaskan.

"Iya, Ayah." Ari hanya patuh. Hatinya merasa lega karena Damian tidak marah dengannya sudah berteman dengan Lisa.

Damian menginstruksinya untuk melakukan pemanasan. Kali ini Ari akan mendapat pelajaran bela diri dari Damian. Biasanya, Ari hanya mendapat pelajaran itu di sekolah dan itu hanya dasar-dasarnya saja. Tapi kali ini Ari akan mendapat pelajaran itu langsung dari Damian. Damian menginginkan agar Ari memiliki benteng pertahanan yang kokoh. Sudah lama Damian tak mengasah ketangkasannya dalam bela diri. Kali ini dia akan menurunkan ilmunya pada anak angkatnya, Januar. Jika di sekolah tidak menggunakan alat gym, maka Damian mengajari Ari dimulai dari alat gym untuk membentuk tubuh Ari. Selama ini Damian tak mengajarkan gym pada Ari karena dia belum membutuhkannya, tapi Damian terpaksa mengajarkan padanya karena saat ini Ari harus memiliki benteng yang kokoh. Damian percaya jika Ari sudah bisa mengontrol dirinya dalam bertarung, terbukti dari kejadian perkelahian antara Ari dan Januar.

Ari naik ke atas treadmill atas perintah Damian. Ari menghela napas sebelum mesin waktu pada alat itu ditekan. Ari pun mulai melangkah ketika treadmill berjalan. Damian pun menemani Ari, melakukan hal yang sama dengan Ari.

"Sudah menemukan cita-citamu?" tanya Damian memulai obrolan.

"Sudah." Ari membalas singkat.

"Berusahalah untuk menggapai cita-citamu." Damian menyemangati.

Ari hanya tersenyum dan mengangguk.

Sejak hidup bersama keluarga barunya, Ari banyak berpikir dan memiliki tujuan hidup. Melihat ketulusan Damian dan Aisyah mendidiknya membuat Ari tahu makna kehidupannya. Terlebih ia melihat kehidupan kakaknya yang kini jauh lebih baik dan bahagia. Ari ingin merasakan hal yang sama seperti kakaknya, bahagia. Masa lalu bukanlah alasan untuk tidak bahagia, tapi meratapi masa lalu justru menjadikan diri sendiri tidak bahagia dan terus tenggelam menyalahkan masa lalu. Jika dulu Ari merasa tak punya tujuan hidup, maka berbeda dengan saat ini. Dia memiliki tujuan hidup yaitu membahagiakan orang-orang yang kini menyayanginya.

Aku janji akan membuat Kakak, Ayah dan ibu bahagia. Mereka yang kupunya saat ini dan mereka yang terus mendukung serta memberikan kasih sayang untukku. Aku seperti memiliki keluarga baru. Aku memang benci dengan masa laluku, tapi akan belajar dari masa lalu jika semua itu adalah pelajaran berharga.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro