Bab 9

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Joanna bersandar pada kepala ranjang, memeluk lututnya seraya menggigiti kuku jari tangan. Ia mendengar keributan di luar sana dan seketika terpikir untuk keluar dari kamar. Namun, gadis itu mengingat kembali pesan Audrey. Dirinya memperhatikan sebuah pistol yang berada tepat di atas sebuah bantal.

Gadis bersurai karamel ini tidak pernah membayangkan akan menggunakan benda tersebut. Suaranya saja sudah begitu memekakkan telinga. Sayang, ia sudah berjanji kepada Audrey untuk memakainya jika ada musuh Alex.

Mengenai pria yang menjadi suaminya tersebut, Joanna belum melihat Alex lagi sejak kemunculan Audrey. Ia terlalu hanyut dengan boneka baru. Sekarang barulah muncul kerinduan terhadap pemilik manik abu-abu itu.

Joanna membutuhkan Alex, ia tidak ingin ditinggalkan lagi. Nanti setelah pria itu kembali, dirinya berjanji akan meminta maaf. Gadis itu sudah mengerti jika sang suami melakukan hal semalam hanya untuk melindunginya. Seperti Audrey yang memberikan pistol agar ia bisa melindungi diri sendiri.

Waktu yang berlalu terasa begitu lama. Joanna masih setia menatap pintu yang tak kunjung terbuka. Ia ingin memastikan keadaan Audrey, tetapi di luar sana keributan masih belum berkurang bahkan terdengar semakin keras.

Ketika masih sibuk dengan pikirannya, suara pintu terbuka mengagetkan gadis itu. Ia langsung menyampar senjata yang diberikan oleh Audrey. Tangan Joanna bergetar memegang benda tersebut. Namun, ia tetap menodongkan pistol ke arah pintu dan menunggu seseorang muncul dari baliknya.

"Joanna!" Panggilan itu berasal dari suara yang sudah sangat ia kenal. Gadis bersurai karamel tersebut langsung melemparkan senjatanya kembali dan lompat dari ranjang. Ia berlari ke pintu dan langsung menyurukkan diri dalam pelukan pria yang ditunggu.

"Aku rindu Alex," bisik gadis itu sambil memeluk erat prianya.

"Aku pun sama, Joanna. Ayo kita pulang." Alex mengelus surai lembut istrinya dan mengecup kening gadis itu. Ia tak kalah erat mendekap tubuh rapuh Joanna.

Namun, tiba-tiba hal mengejutkan terjadi. Joanna memutar balik tubuh mereka bertepatan dengan sebuah tembakan yang ternyata mengarah kepadanya. "Maaf."

"Tidak! Sial! Joanna!" Tubuh gadis itu lunglai dalam pelukannya. Alex dapat merasakan ada cairan yang merembes dari pakaian sang istri.

Ia benar-benar tidak bisa mengendalikan diri. Alex menggendong tubuh Joanna keluar dari kamar seraya menembaki siapa pun yang menghalangi jalannya. Emosi pria itu meletup-letup, mereka sudah berani menyentuh gadisnya.

"Simon, helikopter!" Bentakan Alex seolah menjadi alarm bagi Simon. Ia sedang mengurus cecunguk lainnya sehingga tidak tahu apa pun, sama halnya dengan Audrey.

"Ada apa?" Pria itu meninggalkan anak buahnya untuk mengurus musuh yang tersisa, sementara ia menjalankan perintah Alex. Namun, kekhawatiran juga menyelimuti karena Simon sempat mendengar umpatan bosnya tersebut.

"Joanna tertembak," sahut Alex singkat, pria itu masih sibuk dengan musuh-musuh yang berdatangan. Ditambah dengan ia yang sedang menggendong Joanna sehingga sedikit memperlambat gerakan. "Hancurkan mereka sampai ke akar!" Perintah mutlak yang tak menerima sanggahan dalam bentuk apa pun.

Sam yang juga masih tersambung dengan mereka semakin tak terkendali. Nalurinya bergerak lebih liar lagi. Pria itu sudah mengambil alih sistem musuh dan menyalakan beberapa perangkat berbahaya. Ia memberi komando kepada anak buah yang ditinggalkan oleh Alex di rumah besar sebelumnya.

"Jangan ada yang terlewat!" perintah Sam.

Ia mengontrol anak buah dengan memberi sinyal melalui GPS. Mereka hanya perlu menuju titik merah pada alat yang digunakan, lalu memasang peledak. Setelah semuanya selesai, maka Sam kembali mengambil alih.

"Keluarlah dalam tiga menit jika kalian tidak ingin ikut hancur bersama mereka." Sam memberi instruksi yang tentu dituruti oleh seluruh anak buah Double A. Tidak ada yang ingin mati di markas musuh dengan cara bunuh diri seperti itu.

Seperti ucapan Sam, dalam tiga menit sebuah ledakan dahsyat tercipta. Bangunan besar nan megah tersebut hancur berkeping-keping. Pria itu cukup puas dengan hasil yang ada, tetapi ia tidak menikmati karena ini terlalu mudah. Tanpa pertumpahan darah terlebih dahulu, lalu semua hangus terbakar.

Sebenarnya tidak ada satu pun yang benar-benar normal di antara ketiga pembesar Double A. Mereka sama-sama menyukai ketika musuh memohon belas kasih, menunjukkan ketakutan. Hanya saja cara yang digunakan berbeda. Terlebih bagi Sam yang menyukai bermain di balik layar.

"Mission A completed."

Alex cukup puas dengan laporan dari Sam, ia sendiri sudah berada di atap dan menunggu helikopter mendarat mulus. Pria itu semakin tak sabar karena darah yang dikeluarkan Joanna pun semakin banyak.

Simon muncul bersamaan dengan Audrey yang membawa salah satu koleksi minuman keras milik Andrew yang terpajang rapi dalam lemari kaca. Wanita itu tidak sempat mencari hal lain yang bisa digunakan sebagai antiseptik. Ia akan meminta maaf kepada Joanna nanti jika gadis itu merasa perih yang teramat sangat.

Audrey dapat melihat usaha kakaknya untuk menghentikan pendarahan dengan mengikatkan robekan kain dari kemejanya di atas luka tembak itu. Alex juga menekan keras bagian tersebut. Ekspresi pria itu benar-benar bercampur aduk antara panik disertai emosi yang belum sepenuhnya terkendali.

Mereka bergegas naik ke helikopter dan Alex memberi komando agar pilot membawanya ke rumah sakit terdekat dengan fasilitas lengkap. Pria itu merasakan tubuh Joanna semakin melemah. Sirkulasi pernapasan istrinya tersebut juga semakin berat.

"Simon, perintahkan anak buah kita untuk membawa semua keperluan penting dalam lima menit. Audrey, aku mau bangunan itu habis tak bersisa setelah semuanya keluar!" Alex tak menginginkan lagi tempat itu, ia tidak peduli dengan ribuan nyawa di dalamnya.

Perintah Alexander Abraham hukumnya mutlak bagi seluruh anggota Double A. Ia bebas menghancurkan apa pun yang dikehendaki. Audrey dan Simon hanya bisa menjalankan komando dari sang penguasa.

Alex tidak peduli kehilangan satu asetnya jika memang hal itu membahayakan sang istri. Karena akan ada kemungkinan musuhnya kembali menyerang tempat tersebut. Jadi, tidak ada yang perlu dipertahankan. Nyawa ribuan manusia di bawah sana tidak sebanding dengan seorang Joanna Abraham.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro