7.Ganyong

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Satu bulan kemudian.

"Tidur di kos."

Lily menarik tangan Della yang akan beranjak dari kursi. Mereka baru saja menyelesaikan kuliah untuk hari ini. Dosen juga baru saja keluar dari kelas.

Della menatap manik mata sahabat barunya itu. Ia langsung tertawa seraya menutup bibir. Jemari lentik dengan kutek berwarna peach itu kemudian mencubit pipi Lily.

"Kangen, ya? Ngomong, dong, Lily Sayang."

Lily berdecak sembari mengangkat satu sudut bibirnya. Dalam hati, dirinya memang merindukan Della yang dalam minggu ini sudah dua malam tidak tidur di indekos. Hal itu mulai terjadi bertepatan dengan traktiran ulang tahun Vita. Sejak itu, Della mulai kembali jarang pulang ke indekos.

Lily mengedarkan pandangan. Teman-teman sekelasnya sudah keluar semua. Hanya menyisakan dirinya dengan Della. Ia harus menanyakan keberadaan temannya itu. Pertemanan mereka sudah bisa dikatakan cukup lama. Lily tidak akan sungkan lagi mengorek tentang kebiasaan Della yang menjadi perbincangan di indekos.

Lily berdecak lirih. "Kamu tidur di mana, sih, sebenarnya?"

Della yang sedang merapikan rambut, menghentikan aktivitasnya. Ia lalu menoleh ke kanan. Posisi duduk dimiringkan sedikit. Helaan napas terdengar dari bibir dengan lip cream berwarna peach cenderung orange tersebut.

"Ikut aku pulang kuliah," jawab Della sembari tersenyum. Ia memang sudah lama ingin menceritkan tentang kehidupannya pada teman terdekatnya di kelas itu.

"Kemana?" tanya Lily bingung. Pertanyaannya bukan dijawab, tetapi malah ajakan yang diterima.

"Katanya pingin tahu aku tidur di mana kalau nggak di kos?"

Della beranjak dari kursi dengan papan kecil yang menyambung pada sisi kanan pegangan kursi. Ia lalu merapikan blouse bermotif bunga warna biru yang dipadupadankan dengan office pants warna pale violet red.

"Serius?" tanya Lily tidak percaya. Ia tidak menyangka sosok ambivert itu mau berbagi kehidupan pribadi dengannya.

Della manggut-manggut. Ia lalu berjalan meninggalkan Lily yang tengah sibuk membereskan peralatan tulisnya.

Ponsel Della berdering. Gadis dengan rambut lurus itu segera mengangkat panggilan dari WhatsApp.

"Iya, Kak. Udah di depan gedung? Aku baru mau turun. Tunggu, ya."

Della lalu menutup panggilan tersebut. Nada suara gadis itu terdengar begitu lembut. Rona wajah pun memancarkan kebahagiaan saat mengangkat panggilan telepon tersebut.

"Ly! Buruan!"

Lily berjalan dengan cepat menyusul Della. Ransel belum tergantung di bahu. "Tunggu, Del."

Tidak lama kemudian, dua mahasisiwi baru itu sampai di lantai dasar. Della menarik tangan Lily dan mengajaknya menemui pengendara motor yang tidak melepas helm.

"Lily, kenalin ini Kak Dimas." Della mengenalkan satu sosok jangkung tersebut pada Lily.

"Lily."

Lily menerima uluran tangan Dimas. Ia mengamati wajah laki-laki yang menurutnya cukup misterius itu. Gadis itu manggut-manggut. Dalam hati, Lily berdecak kagum akan ketampanan sosok tersebut, meskipun wajah yang terlihat hanya sebagian tersebut.

"Ayo, Ly," ajak Della yang sudah duduk di atas motor. Gadis itu sudah melingkarkan kedua tangan pada perut Dimas.

"Aku naik apa?" Lily mengerutkan kening. Motor CBR itu hanya menyisakan ruang satu jengkal saja pada jok belakang.

"Gonceng bertiga," ujar Della yang terlihat nyaman menyandarkan kepala di punggung Dimas.

Lily menggaruk leher belakang. Senyuman canggung terbit di bibirnya. "Aku jalan aja, deh."

"Jauh, Ly. Naik aja." Dimas ikut meyakinkan Lily.

"Cepetan naik," ajak Della dengan wajah geregetan.

Lily pun pasrah. Ia akhirnya naik ke atas motor. Motor yang sewajarnya dinaiki dua orang itu, kini harus berdesakan memuat tiga orang. Dimas sampai harus maju ke depan.

Lima menit kemudian, mereka sampai di ujung blok pada jalan poros kampus. Mereka berhenti di depan rumah tanpa pagar.

Lily mengamati sekeliling. Rumah itu terlihat paling sederhana di antara rumah gedong yang ada di sepanjang blok yang tadi dilalui.

"Kak Nares, udah belanja sayur belum?" Della yang baru turun segera menemui laki-laki yang sedang menyuci motor di pojok garasi.

"Belum. Nanti habis maghrib aja," jawab Nareswara. Ia lalu menghentikan aktivitasnya. Seraya berbisik, siku Nareswara menyenggol lengan Della. "Siapa?"

Della menepukkan kedua tangannya. Ia lupa mengenalkan Lily.

"Ly, sini," panggil Della.

Lily berjalan mendekat ke arah Della dan Nareswara. "Kenapa?"

"Kenalin nih, kakak terbaikku di Malang." Della menepuk lengan Nareswara.

Nareswara segera mengeringkan tangan dengan jersey basket tanpa lengan. Ia lalu mengulurkan tangan. "Nareswara."

Lily menyambut uluran tangan tersebut dengan senyuman hangat. Pemuda yang tingginya hampir sama dengan Dimas itu terlihat ramah.

"Lily."

"Eh, aku masuk dulu, ya. Kalian ngobrol aja dulu. Kak, nitip Lily." Della meninggalkan Nareswara dan Lily di depan. Ia masuk ke rumah karena dipanggil Dimas.

"Lily, kayak bunga ya, namanya." Nareswara memecah kecanggungan.

"Emang bunga, Kak." Lily menjawab dengan memperlihatkan deretan gigi putihnya.

"Orang tua suka bunga berarti?"

Lily manggut-manggut. "Malah punya kios bunga."

Nareswara membuka lebar matanya. Jika mendengar perihal bunga, dirinya selalu tertarik. "Di mana?"

"Batu. Nggak terlalu jauk, kok, dari sini."

Nareswara manggut-manggut. Mereka pun berbincang tentang kios bunga. Lily akhirnya tahu jika Nareswara adalah mahasiswa Agribisnis tingkat akhir. Pemuda itu sedang mempersiapkan skripsi tentang budidaya tanaman hias. Bagai pucuk dicinta ulam pun tiba. Bertemu Lily adalah anugerah karena bisa menjadi jalan untuk mempermudah penelitian.

"Nama kios bunganya apa? Jangan bilang kalau Lily." Nareswara menebak dengan asal.

Lily tertwa renyah. Ia lalu manggut-manggut. "Kurang tepat, sih. Nama kiosnya itu nama panjangku, Kak."

"Oh, ya? Apa?"

"Kana Lily," jawab Lily mantap. Ia selalu bangga dengan nama pemberian orang tuanya itu.

Nareswara berdecak kagum. Ia sudah bisa membayangkan jika keluarga Lily adalah pecinta bunga. Nama putrinya saja sudah melambangkannya.

"Kana, ya. Sebenarnya di Malang itu orang-orang nyebutnya bukan Kana, loh," cetus Nareswara seraya mengusap dagu.

Lily terkesiap. Ia ternyata bertemu dengan orang yang paham sebutan lain dari namanya. "Kakak tahu Bunga Kana?"

Nareswara manggut-manggut. "Pastilah, Ly."

"Please, jangan sebut nama lain dari Kana. Cukup panggil aku Lily aja. Nggak usah Kana nggak pa-pa." Kedua tangan Lily digoyangkan. Wajahnya pun mulai menyiratkan kepanikan.

Nareswara menautkan kedua alis mata. Ia mencoba mencerna ucapan gadis manis yang baru dikenalnya itu. Sedetik kemudian, pemuda berwajah bersih itu menyadarinya. Ia pun terbahak mendapati maksud Lily.

Sementara itu di dalam rumah.

"Jangan dulu, dong, Kak. Ada temanku di depan," ucap Della saat Dimas sudah melingkarkan tangannya di perut Della. Pemuda itu tengah memeluknya dari belakang.

"Kangen, Del."

Dimas meletakkan dagu di atas bahu Della. Wangi tubuh gadis yang sudah mengalihkan dunianya itu, membuatnya ingin terus memeluk. 

Della terkikik pelan. Tangan kanannya menyentuh wajah Dimas. "Nanti Kak Nares tiba-tiba masuk. Lepas dulu, ya, Sayang."

"Pintu udah dikunci. Aman," sahut Dimas yang napasnya sudah mulai memburu. Ia lalu memutar tubuh Della. Mereka pun saling berhadapan.

Perlahan, Della terbawa permainan Dimas. Wajah mereka semakin tidak berjarak. Della pun memejamkan mata. Namun, tinggal sedikit lagi bibir mereka bersentuhan, teriakan di depan pintu terdengar.

"Della, ditungguin Lily!" seru Nareswara seraya mengetuk pintu dengan keras.

Dimas berdecak kesal mendapati kegagalan aksinya. Sementara itu, suara tawa keluar dari bibir Della yang tengah merapikan rambut. Ia lalu menarik tangan Dimas agar menjauh dari pintu. Della membuka pintu kamar. Sudah ada Nareswara dan Lily di depan.

"Ngapain, Del?" tanya Lily curiga. Dua insan berbeda jenis kelamin sednag berada di dalam kamar dengan lampu yang padam.

"Oh, itu. Habis naruh tas," jawab Della seraya tersenyum canggung. "Ke dapur, yuk. Kita masak makan malam, Ly."

***

Di teras Griya Dara.

Vita tengah berbincang bersama Vio dan Dandy. Mereka baru saja tiba dari makan malam di depan kampus.

"Jangan Lily, Dan," ujar Vita saat Dandy mengutarakan niatnya untuk mendekati salah satu teman satu indekosnya itu.

"Emang kenapa? Dia udah punya cowok?" tanya Dandy yang sedang duduk bersandar di atas kursi marmer. Kaki kanan diangkat naik ke atas kursi.

"Enggak punya cowok kayaknya Lily itu," sahut Vio.

"Kok, kamu tahu, Yang?" tanya Vita tidak menyangka jika tebakan kekasihnya benar.

Dandy mengubah posisi duduk. Satu kekhawatiran yang sempat muncul sudah menemukan kejelasannya. Pertama kali berjumpa Lily di kedai Mie Gacoan sudah membuatnya tertarik dengan gadis itu. Namun, ia tidak berani mengutarakan pada Vita. Baru kemarin saja Dandy berani mengungkapkan keinginannya.

"Dia jomlo. Nggak ada salahnya kan, aku dekatin?"

Vita menggelengkan kepala berulang kali. "Dia terlalu polos buat kamu."

"Entar bahaya kalau udah kenal Dandy, bintangnya band andalan Universitas Merpati."

Dandy berdecak menanggapi celetukan Vio. "Aku janji nggak bakal ngapa-ngapain dia."

Vita menatap mata sahabat kekasihnya itu. Ada sorot penuh keseriusan yang terpancar. "Beneran?"

Dandy manggut-manggut. Vita pun menyanggupi untuk mengenalkan lebih dekat teman indekosnya itu. Meskipun dirinya belum dekat dengan Lily, tetapi Vita paham jika gadis sepolos itu patut dipertahankan pergaulannya di lingkungan kampus.

"Panggil, Vit," pinta Dandy tidak sabar.

"Belum datang dia. Biasanya udah di kos."

Suara motor berhenti di depan Griya Dara. Semua orang yang ada di teras menoleh ke arah luar. Kebetulan pagar yang mengelilinginya terbuat dari besi, jadi bisa tahu lalu lalang di jalan.

"Makasih, ya, Kak," ucap Lily saat turun dari motor. Ia diantar Nareswara pulang ke indekos. Della tentu saja tetap berada di sana. Lily sudah tidak penasaran lagi dengan kehidupan teman sekelasnya itu. Namun, setelah tahu semua, ia malah dibuat kepikiran.

"Sama-sama, Ganyong." Nareswara kembali menggoda Lily.

"Ish, dibilang jangan panggil pakai nama itu." Lily menempelkan jari telunjuk di depan bibir. "Jangan kasih tahu siapapun, terutama Della."

Nareswara semakin tergelak. Ia gemas juga melihat raut panik Lily. Meskipun baru kenal beberapa jam, tetapi ia merasa nyaman berbincang dengan gadis tersebut.

"Ganyong dan Kana itu sama aja, Ly," jelas Nareswara. Ia tadi juga sudah menjelaskannya pada Lily.

Lily menggoyangkan telapak tangan. "Nggak! Beda pokoknya. Kana lebih indah kedengarannya di telinga."

Nareswara masih terus menggoda Lily dengan memanggil dengan sebutan Ganyong. Ia senang melihat wajah cemberut gadis dengan jaket denim tersebut.

"Nggak seru ternyata Kak Nares. Males, ah." Lily pun merajuk. Ia lalu menghentakkan kaki. "Udah pulang sana."

Nareswara masih teratwara renyah. Pemuda yang mengenakan helm half face itu lalu undur diri dari hadapan Lily.

Di dalam, sepasang mata elang terus mengamati interaksi dua manusia berbeda gender tersebut. Ada percikan rasa cemburu yang mengusik hati.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro