8.Saran Indah

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Selepas pulang dari kontrakan Dimas, Lily yang diantar Nareswara kembali ke Griya Dara langsung menuju lantai dua. Ia hanya menyapa Vita dan dua pemuda yang baru dikenalnya saat di Mie Gacoan itu. Lily enggan bergabung dengan mereka bertiga meskipun sudah dipaksa teman indekosnya tersebut. Pikirannya sedang dipenuhi oleh Della. Mengetahui rahasia teman sekelasnya itu bukan malah membuatnya lega, tetapi malah berujung khawatir.

Lily mengeluarkan ponsel dari saku celana. Ia lalu merebahkan diri di atas kasur. Tangannya mulai mengetik pesan untuk Della.

Anda

Ingat jangan aneh-aneh, Del.

Della kebetulan sedang online. Pesan Lily langsung terbalas dengan cepat.

Della Sexy

Aneh-aneh apa, Lily Sayang?

Anda

Kalau tidur merem.

Jangan ditambahi macam-macam.

Lily menarik napas panjang setelah mengirim pesan. Ia teringat rumah kontrakan Dimas. Di sana ada empat laki-laki yang masih bergelar mahasiswa juga Della yang sering keluar masuk rumah itu. Lily merasa pergaulannya selama di sekolah begitu sempit. Ia baru tahu luasnya pergaulan mereka-mereka yang disebut mahasiswa. Dirinya sempat syok saat mengetahui bahwa teman dekatnya tinggal bersama para laki-laki itu.

Notifikasi whtasapp berbunyi. Balasan pesan dari Della muncul.

Della Sexy

Tenang, saat ini masih aman, kok.

Eh, kapan-kapan diajakin Kak Nares masak lagi di rumah.

Lily tersenyum membaca kalimat terakhir. Di kontrakan tadi, ia diajak masak untuk makan malam oleh Della dan para mahasiswa tingkat akhir itu. Hal yang belum pernah dilakukannya selama ini. Baik di rumah maupun di indekos. Lily enggan berinteraksi dengan dunia perdapuran. Dirinya begitu menikmati kegiatan itu. Lily pun merasa nyaman dengan mereka karena kerap melontarkan candaan saat berinteraksi.

Anda

Siap, Kakak

Eh, tidur di kamar sebelah, 'kan?

Della Sexy

[Emotikon tertawa]

Lily menghela napas panjang membaca balasan yang ambigu tersebut. Kekhawatirannya akan Della cukup beralasan. Temannya itu menjadi satu-satunya perempuan di dalam rumah. Di antara para pemuda yang bukan keluarganya. Tidak akan ada yang tahu kapan setan akan mulai menggoda manusia. Lebih mengerikan jika godaan tersebut sukses besar.

Suara ketukan pintu terdengar. Lily menghentikan aktivitasnya bersama ponsel.

"Ly, udah tidur?" Suara Vita terdengar dari luar kamar.

"Belum, Mbak. Masuk aja."

Vita membuka pintu kamar. Ia lalu duduk di atas kasur.

"Sabtu depan ada acara, nggak?"

"Enggak. Kenapa, Mbak?" tanya Lily seraya mengubah posisi dari tengkurap menjadi duduk bersila.

"Ikut malam mingguan, ya. Sekalian makan malam."

"Sama anak-anak kos? Ada traktiran lagi?" tanya Lily antusias. Ia tidak akan menolak jika mendengar tentang makan-makan.

"Sama aku aja," jawab Vita.

"Berdua?" Kedua alis Lily saling bertaut. Ia merasa aneh karena belum pernah keluar berdua saja dengan Vita. Dirinya juga tidak cukup dekat dengan mahasiswi satu tingkat di atasnya itu.

Vita menggeleng sambil tersenyum. "Sama Vio dan Dandy."

"Oh," ucap Lily singkat. Bayangan wajah Dandy muncul di pikirannya. Saat ia sampai di indekos tadi, pemuda itu terus saja menatapnya. Bahkan, saat dirinya naik ke lantai dua.

"Mau ya, Ly," pinta Vita seraya menangkupkan kedua tangan. Ia harus menepati janjinya pada Dandy untuk mengajak Lily keluar bersama mereka. "Dandy sama Vio asik, kok, orangnya. Baik juga."

Lily belum pernah keluar bersama laki-laki. Saat sekolah, dirinya terus dipantau dengan ketat oleh Bu Miranti. Tantenya itu super protective untuk masalah pergaulan. Kesempatan kali ini tidak akan disia-siakan Lily. Ia sudah menjadi mahasiswi. Dalam pemahamannya, gelar itu juga menandakan bahwa dirinya bukan anak kecil lagi. Keputusan bisa diambilnya sendiri.

"Oke. Aku ikut."

"Yes!" ucap Vita seraya mengepalkan kedua tangan dengan wajah bersemangat. "Eh, kamu nggak pulang ke Batu?"

Lily tergemap. Teman-teman indekosnya sudah paham dengan rutinitasnya tiap minggu. Ia lalu menggelengkan kepala seraya memperlihatkan deretan gigi rapinya itu. Lily yang saat awal masuk kuliah sering rindu rumah, memasuki bulan ketiga menjadi mahasiswi malah sebaliknya. Ia merasa betah tinggal di Griya Dara. Hal itu membuatnya mulai enggan pulang ke rumah.

***

"Mbak Nana!"

Indah yang sedang berada di kamarnya, berteriak memanggil Nana yang ruangannya terletak di sebelah. Suara sopran gadis itu membuat Lily yang sedang duduk di karpet depan televisi, sontak menoleh ke kanan. Pintu kamar Indah terbuka, ia bisa melihat aktivitas yang ada di dalam. Mahasiswi semester lima itu sedang berdiri di depan kalender yang tergantung di dinding. Tangan Indah memegang rambut dan mengacaknya. Lily tentu saja menjadi heran.

"Kenapa, Mbak Indah? Sakit kepala?"

"Lebih dari itu, Ly. Sampai ke jantung sakitnya," ungkap Indah asal.

Lily terkesiap. Ia tentu kaget mendengar jawaban seperti itu. Gadis dengan kaus oblong dan celana training itu lalu masuk ke kamar Indah.

"Serius sakit sampai jantung, Mbak?" Raut wajah Lily menunjukkan kecemasan.

Indah yang sedang berkacak pinggang dengan tatapan tidak lepas dari angka-angka di kalender itu sontak memalingkan wajah ke arah Lily. Keningnya berkerut, tetapi tidak lama kemudian ia terbahak.

"Bukan gitu maksudnya, Lily. Aku lagi panik aja."

"Oh, kirain," ucap Lily seraya memegang leher belakangnya. Ia lalu kembali ke tempatnya semula.

Tidak lama kemudian, Indah keluar kamar dengan jalan yang tergesa. Gadis dengan tubuh sedikit berisi itu melangkah menuju kamar Nana.

"Mbak Nana mana, sih? Nggak tahu apa, aku lagi panik gini."

Lily kembali dibuat bingung dengan sikap teman indekosnya itu. Ia penasaran, tetapi tidak berani bertanya lebih jauh.

"Duh, Mbak Nana kemana, sih?" Indah yang baru dari kamar Nana, kini menuju depan televisi. Ia ikut duduk bersama Lily. "Kamu lihat Mbak Nana, Ly?"

Lily menggeleng sambil mengunyah keripik singkong merk Lumba-lumba khas Malang tersebut. "Cuma ada kita berdua aja di kos, Mbak."

Indah menghela napas berat. Ia sedang membutuhkan solusi saat ini. Gadis dengan daster tanpa lengan itu lalu menatap ponselnya. Tangannya kemudian lincah mencari nama Nana di kontak. Ia segera menelepon kakak tingkatnya itu.

"Mbak lagi di mana, sih?" tanya Indah begitu telepon tersambung.

Mata Lily tetap tertuju ke layar televisi. Namun, telinganya fokus mendengarkan pembicaraan Indah yang duduk di sampingnya. Kening Lily berkerut saat mendengar Indah menyebut kata 'masa subur.'

"Ya, aku mana bisa nolak, Mbak? Momennya syahdu banget kemarin. Pas hujan deras," ungkap Indah lirih seraya terkikik. Ia masih tetap duduk di dekat Lily. "Aku harus gimana biar nggak jadi, Mbak? Ada stok obat 'itu' nggak di kamar?"

Lily dibuat tercengang saat Indah berbicara dengan nada lirih, tetapi masih tertangkap telinganya. Pikirannya mulai berkelana ke hal yang tidak sepantasnya terjadi di status mereka yang masih menuntut ilmu dan belum terikat pernikahan itu. Namun, Lily hanya bisa menerka sendiri. Ia tidak berani bertanya lebih jauh.

"Ly, ikut aku, yuk," ajak Indah.

"Ke mana, Mbak?"

"Apotik. Aku pakai jaket dulu." Indah beranjak menuju kamarnya.

Lily segera memencet tombol power di remote. Ia lalu menuju kamar untuk mengambil ponsel.

Baru akan mengunci kamar, ponselnya berdering. Lily segera mengangkat telepon dari Pak Dasuki.

"Iya, Pak. Kenapa?"

"Besok pulang jam berapa, Nduk?" Nada bicara yang lembut itu terdengar dari seberang telepon.

Lily menggigit bibir bawahnya. Ia belum membuat alasan yang tepat untuk tidak pulang Jumat besok.

"Halo. Lily."

"Eh, iya, Pak. Besok aku nggak pulang." Lily memejamkan matanya dengan kuat. Akan berbohong saja sudah membuatnya gugup.

"Oh, ada acara di kampus, ya?"

Senyuman di bibir Lily mengembang. Ia tidak perlu bersusah payah merangkai kata untuk melakukan kebohongan pada orang tuanya.

"Iya, betul. Aku ada cara di kampus, Pak."

"Oh, ya udah. Uangnya masih ada, 'kan?"

"Masih. Tenang aja kalau habis langsung nodong Bapak," cetus Lily sambil terkekeh.

Di seberang telepon, terdengar juga suara Pak Dasuki tertawa. Pria paru baya itu segera menyudahi panggilan telepon karena ada pengunjung di kios bunga miliknya.

Lily memasukkan ponsel ke kantong celananya. Ia menunggu Indah di dekat tangga. Tidak lama kemudian teman indekosnya itu muncul dari kamar. Mereka berdua segera menuju apotik yang letaknya hanya seratus meter dari Griya Dara.

Dua mahasiswi itu sudah samapi di toko yang menjual berbagai macam obat tersebut. Suasana di sana sepi. Tidak ada pembeli. Indah segera memberitahukan kepada penjaga tentang obat yang sedang dicarinya.

Tidak menunggu lama, obat sudah berada di tangan Indah. Ia dan Lily segera kembali ke indekos.

"Emang sakit apa, Mbak?" tanya Lily yang membutuhkan jawaban untuk membunuh rasa penasarannya.

"Enggak sakit, Ly."

Lily menautkan kedua alis mata. "Terus itu beli obat buat siapa?"

"Buat aku, Ly," jawab Indah seraya tersenyum.

"Lah?" Lily bingung sendiri.

Indah terkikik melihat raut bingung adik kosnya tersebut. Ia lalu memperlihatkan isi kantong plastik hitam kepada gadis di sebelahnya itu. Tanpa perlu menjelaskan, Lily sudah bisa membaca dengan jelas kegunaan obat itu dari bungkusnya.

"Loh, bukannya kita haid kemarin bareng, Mbak?" Lily mengingat periode bulanannya. Baru juga satu minggu selesai haid.

Indah manggut-manggut. Senyumannya mengisyaratkan ada sesuatu yang terjadi.

"Bukannya masih lama jadwalnya, ya?" Lily masih saja heran.

"Ini bukan hanya obat pelancar haid. Tapi, kata Mbak Nana, bisa juga buat obat anti hamil," bisik Indah di telinga Lily.

Lily sontak menghentikan langkahnya. Ia tercengang mendengar kata anti hamil.

"Maksudnya, Mbak?"

Indah mendesah pelan. Ia lupa jika Lily adalah mahasiswi baru.

"Kamu punya pacar?"

Lily menggeleng dengan cepat. "Lagi jomlo."

"Pernah pacaran?" tanya Indah lagi.

"Enggak pernah," jawab Lily dengan jujur.

Indah tersenyum simpul. Ia lalu merengkuh pundak Lily. Mereka kembali berjalan.

"Kalau kamu belum ngerasain pacaran, nggak akan bisa paham obat anti hamil ini."

"Kok, bisa?" kening Lily untuk kesekian kalinya dibuat berkerut oleh penjelasan indah.

"Makanya, kamu harus pacaran dulu, Ly. Biar tahu rasanya surga dunia," ungkap Indah seraya tergelak.

Lily semakin penasaran dengan ucapan Indah. Memikirkan saran dari teman indekosnya itu, membuatnya teringat janji Sabtu malam bersama Vita dan kedua temannya tersebut. Kedua sudut bibir Lily terangkat ke atas membentuk lengkungan manis. Double date!


Saran sesad!!!

Haduh Indah, kelakuanmu tak seindah namamu.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro