Ch. 2 - Gadis Berambut Pirang

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Fujino! Kau pasti tidak percaya ini. Sejak dua hari lalu ada gadis yang sangat cantik di kelas kita. Dia murid baru! Kecantikannya di luar nalar. Aduhh ... sayang banget kau belum liat dia."

Di dalam kamar yang gelap dengan penerangan dari jendela yang sedikit terbuka, Fujino menguap sembari menggenggam smartphone. Suara temannya itu terdengar sangat antusias. Jika kondisi biasa Fujino akan ikut bersemangat, tapi saat ini ia baru bangun tidur dan masih setengah sadar.

Fujino tidak mandi pagi. Dia sudah mengobrol dengan temannya selama lima menit. Sekarang ia melangkah menuju kamar mandi. Temannya masih mengoceh, bahkan setelah ia sampai dan mulai menggosok gigi.

"Memangnya dia secantik itu?" Suara Fujino agak kurang jelas karena odol di mulutnya.

"Aduh ...! Cantik banget. Dia gadis tercantik yang pernah kulihat. Rambut pirangnya tergerai indah dan kulitnya sangat bersih. Terlihat sekali ia sangat merawat diri."

"Wow. Sepertinya dia memang secantik itu." Fujino membuang odol. Berkumur sejenak lalu menyembur air. Diakhiri cuci muka. "Makoto, apa kau ingin menargetkan gadis itu menjadi pacarmu?"

Makoto tidak langsung menjawab. Gumaman agak panjang dapat terdengar. Fujino tau lelaki itu sedang berpikir keras. Dia jadi agak penasaran secantik apa gadis itu sampai Makoto bingung.

"Ini keputusan yang sulit. Masalahnya aku yakin sainganku ada banyak. Beberapa anak sudah terang-terangan nembak, tapi semuanya ditolak sih."

"Hee ... secantik itu ya? Kayaknya banyak yang suka gadis berambut pirang. Dipikir-pikir belum ada gadis berpenampilan seperti itu di kelas kita sebelumnya, kan?" tanya Fujino tanpa antusiasme.

"Benar! Benar! Aku sepakat denganmu. Gadis berambut pirang bisa memunculkan pesona yang berbeda karena gadis-gadis di kelas kita belum ada yang berambut pirang. Baru dia saja."

"Ahh ... kalo begitu aku paham kenapa banyak yang suka sama dia."

"Tidak hanya murid-murid biasa seperti kita saja, Seijuro si populer dari klub sepak bola juga menyukainya. Aku tau karena teman dekatnya Seijuro cepu ke circle kita."

"Koneksimu banyak juga ya Makoto. Hmm ... Seijuro ya? Kalau sampai membuat si tampan itu jatuh hati berarti gadis pirang ini benar-benar cantik."

Meski berkata demikian, Fujino sebenarnya tidak begitu tertarik.

Dia melanjutkan kegiatan persiapan sekolahnya seperti biasa. Namun, kali ini ia sekali dua kali bersin, kemudian cek suhu badan untuk memastikan demam atau tidak. Dua hari tidak sekolah membuatnya mengkhawatirkan nilai, jadi ia memantapkan diri untuk tetap pergi sekolah.

Belasan menit berlalu Fujino akhirnya nampak rapi dengan seragam berjas hitamnya. Khusus hari ini ia memakai syal untuk menjaga diri. Sementara itu Makoto masih saja mengoceh seolah baru pertama kali melihat gadis cantik.

"Fujino, sejak tadi kau tidak antusias mendengar ceritaku. Apa kau tidak penasaran dengan murid baru ini?"

"Gak terlalu sih ... biasa aja. Lagipula gadis yang seperti itu ada di banyak tempat 'kan? Hanya saja sedikit di sekolah kita."

Suara tidak puas terdengar dari balik telepon. "Fujino, kau tidak mengerti."

"Yah ... aku sendiri belum liat langsung."

"Oh! Benar juga. Kau pasti akan bersemangat mendengar ini, Fujino! Gadis itu tidak hanya berambut pirang dan berparas sangat cantik, dia juga memakai-"

Sambungan telfon tiba-tiba terputus.

Fujino telah membuang waktu terlalu banyak hanya untuk mengobrol dengan Makoto. Dia sadar antusiasme Makoto terkadang tidak bisa dikendalikan.

Lelaki berambut hitam itu segera pergi ke sekolah. Berjalan sekitar dua kilometer, masuk ke dalam stasiun, menggesek kartu, lalu menaiki kereta cepat.

Bersandar pada jendela ia merasakan kenyamanan dari gerbong yang tidak terlalu padat. Syal di lehernya juga membuat suhunya tetap terjaga.

Fujino ingin memejamkan mata sebentar agar waktu perjalanan tidak terasa. Namun, perhatiannya teralihkan oleh sosok gadis yang duduk tepat di hadapannya.

"Ap- ap- ap- ap- ap- apa?"

Fujino gemetaran. Mulut dan matanya terbuka lebar. Ia tidak menyangka ada sosok gadis seperti itu di kota ini. Hanya sekali lihat saja jantung Fujino langsung berdebar-debar. Pandangan matanya ke sana ke mari karena ingin menatap diam-diam tapi tidak ingin ketahuan juga oleh gadis itu.

Gadis yang Fujino lihat sedang bermain HP. Ia memiliki paras yang sangat cantik, rambut pirang tergerai sepinggang, stocking hitam menyelimuti seluruh kakinya, memakai seragam yang sama dengan Fujino, dan yang paling penting, berkacamata.

'D-Dia cantik sekali! Gawat, jantungku gak karuan. Ini bahaya. Ugh! Kulitnya kok bisa sangat terawat? Rambutnya juga terlihat halus. Duh ... kok bisa ada gadis secantik ini sih?'

Si gadis pirang menyadari tatapan Fujino. Dia menatap balik.

Pandangan keduanya bertemu. Fujino berusaha memasang ekspresi datar.

'Tetap tenang! Tetap tenang!' Fujino berkata dalam hati.

Si gadis pirang menatapi Fujino cukup lama. Dia sedikit menyipit seolah melihat sesuatu yang familiar. Tapi ujung-ujungnya gadis itu fokus kembali pada smartphonenya.

Fujino masih berdebar-debar. Dia sudah melihat berbagai gadis berkacamata. Bukan sekedar melihat-lihat, tapi juga mencari-cari sampai mengoleksi berbagai majalah model hanya untuk melihat cewek cakep berkacamata. Dan sejauh pengalamannya ini, si gadis pirang yang paling cantik.

Waktu berlalu tanpa ketenangan bagi Fujino. Semua penumpang akhirnya turun dari kereta, begitu juga dengan Fujino dan gadis pirang itu.

Keduanya sama-sama belum menyadari berasal dari SMA yang sama. Logo sekolah di bagian saku jas seolah tidak terlihat karena distraksi masing-masing. Yang satu fokus ke HP yang satu lagi fokus ke cewek.

'Apa aku harus menyapanya? Sayang sekali jika aku tidak bisa menjadi temannya atau minimal bertukar kata sebentar. Masa' iya diabaikan begitu aja? Bisa jadi ia jodohku!'

Fujino merasa gelisah di belakang gadis pirang itu. Jarak mereka empat langkah. Fujino ingin mengajaknya mengobrol tapi sekuat apapun ia mencoba memaksa diri tetap saja nyalinya tidak meningkat.

Bertemu gadis berkacamata secantik itu adalah kesempatan emas bagi Fujino. Dia tidak ingin melewatkannya. Tidak perlu bertukar kontak karena ia tidak mengharapkannya juga. Tetapi Fujino ingin berteman atau setidaknya mengobrol selama sepuluh detik.

Di sisi lain, si gadis pirang berjalan santai menuju arah yang sama dengan Fujino. Dia awalnya tidak memikirkan hal apapun selain membayangkan hal yang menantinya di sekolah. Namun, lama kelamaan ia menyadari juga tatapan mata Fujino yang sangat intense di belakangnya.

Gadis itupun menoleh. Saat pandangannya bertemu dengan Fujino, keberadaan logo sekolah di bagian saku jas lelaki itu akhirnya disadari olehnya.

"Kamu dari SMA Miwashima?"

Tubuh Fujino berguncang sesaat.

"I-Iya."

Gadis pirang itu tersenyum manis. "Wahh ...! Kita bisa barengan kalau begitu! Ayo sini! Jalannya sampingan aja. Kita bisa sambil ngobrol."

"Heee!? Apaaa!?"

Hati Fujino tidak siap. Dia sampai berhenti berjalan karena terlalu salting.

Gadis berkacamata itu malah berjalan mundur agar bisa bersampingan dengan Fujino. Mereka pun berjalan bersama.

"Tinggi badan kita tidak berbeda jauh. Kamu sepertinya satu angkatan denganku ya? Aku murid kelas dua di SMA Miwashima."

"Kelas dua? Sungguh?"

"Iya!" Gadis itu masih tersenyum manis. "Aku murid baru di SMA Miwashima. Sebelumnya aku tinggal di kota lain, tapi akhirnya kembali ke sini sekian lama. Kota ini untungnya tidak berubah terlalu jauh. Tempat-tempatnya masih familiar di mataku."

Gadis pirang itu menceritakan pengalamannya dengan sorot mata nostalgia. Fujino mendengarkan dengan baik tapi ia masih belum berani terbuka.

Dia familiar dengan suara ini. Fujino merasa mengenali gadis itu meski ingatannya masih agak samar.

"Begitu ya. Jadi kamu murid pindahan dan kembali ke rumah lama."

"Benar. Aku kangen dengan kota ini. Dan aku lebih suka di sini dibanding kotaku sebelumnya."

"Eh? Kenapa?"

"Yah ... itu ada alasannya sih. Pokoknya aku lebih suka di sini dibanding kotaku sebelumnya."

"Heee ...."

Jantung Fujino masih berdebar-debar gak karuan. Ini pertama kalinya ada gadis berkacamata yang mengajaknya berbincang duluan. Biasanya Fujino terlalu malu untuk melakukan itu. Kecuali jika ada tugas atau hal yang memaksanya untuk memulai percakapan dengan gadis berkacamata.

Gadis pirang itu menceritakan beberapa hal lainnya. Dia melirik Fujino dengan tatapan penasaran beberapa kali. Ia sadar mereka belum berkenalan sejak awal percakapan tapi memilih menunggu Fujino melakukan hal itu duluan karena ada hal yang membuatnya terganggu.

Karena Fujino terlalu banyak menyimak dan tidak menanyakan nama seolah lupa, si gadis pirang akhirnya mulai bertanya.

"Sejak tadi kita belum berkenalan. Aku ingin menanyakan namamu tapi agak ragu. Wajahmu mirip sekali dengan seseorang yang kukenal. Apa kau Fujino Rai?"


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro