43. Sharing Seputar Kepenulisan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Materi: Tentang Kepenulisan
Hari/tanggal: Sabtu, 18-03-2017
Tutor: Abiyasha Abiyasha
Notulen: Cia achashierry
Moderator: Hilda dan Umy
Disclaimer: The WWG theWWG

=====>>>>>=====<<<<<=====

Good evening, ladies.

ONS ya, jadi tidak ada materi. Kalian boleh menanyakan apa saja seputar kepenulisan.

⇨ Sudah masuk semua? Tidak ada yang ketinggalan?

Ya sudah, langsung tanya saja. Sangat jarang saya buat Q & A seperti ini, haha.

SESI TANYA JAWAB:

----------

• Pertanyaan 1:
→ Pernahkah Abi menulis POV 1 benda mati? Kalau pernah, apakah sama aspek penulisannya dengan POV 1 manusia? Maksudnya, apakah benda mati itu juga boleh merasa? membaui?

★ Jawaban:
Pernah. Dua kali. Yang satu berupa rak buku dan yang satu lagi jam tangan. Nah, apakah benda matinya mau kamu buat seperti manusia yang punya perasaan dan sifat-sifat manusia lainnya, atau kamu mau membuat benda mati itu hanya bisa melihat dan mendengar, atau melihat saja, terserah kamu.

Kuncinya harus konsisten. Kalau misal dari awal diceritakan benda matinya hanya bisa melihat dan mendengar, ya harus begitu terus, jangan buat benda matinya tiba-tiba jadi punya perasaan.

Saya pernah baca buku judulnya Bob The Book, itu tokoh utamanya dua buku bekas yang saling jatuh cinta, tapi terpisah. Dua-duanya punya sifat kayak manusia. Kalau punya saya, yang rak buku itu cuman bisa melihat dan mendengar, tetapi yang jam tangan itu bisa merasakan.

--->>>

• Pertanyaan 2A:
→ Apakah Kak Abi punya waktu khusus untuk riset? Masalahnya kadang mau riset kepala jadi pusing.

★ Jawaban
→ Ya harus diadain dong, hehehe. Riset itu bagian terpenting dari menulis, buat bekal istilahnya. Kalau tidak riset duluan, nanti di tengah jalan kamu bingung lagi. Riset memang tidak gampang dan butuh dedikasi juga. Tapi buat saya, sangat penting sekali.

--->>>

• Pertanyaan 3A:
→ Kak Abi, bagaimana menurut Kakak tentang diksi? Ketika kita memakai diksi yang terlalu umum maka cerita itu akan berkesan datar, tetapi jika dalam diksi itu banyak istilah asing, tentu akan menyulitkan pembaca, dan bukan tidak mungkin pembaca malah akan malas membaca cerita kita.

★ Jawaban:
→ Diksi disesuaikan lagi sama keperluan cerita. Apakah cerita kamu romance? teenlit? Thriller? Horror? Tiap genre, tentu penggunaan diksinya juga tidak bisa disamakan. Istilah asing itu dalam artian apa? Bahasa? Atau istilah dalam bidang tertentu, misal kedokteran, arsitektur, dsb? Sebisa mungkin istilah apa pun itu diminimalkan ya.

Saya sering dapet komentar dari pembaca yang merasa cerita saya terlalu banyak menggunakan bahasa Inggris, tetapi banyak juga yang bahasa Inggris mereka tidak begitu fasih, tapi tetap mengikuti cerita saya sampai tamat.

Kuncinya di penyampaian. Mau pakai kata sesederhana apa pun, asalkan maksud dan feel dari cerita itu sampai, kenapa harus pusing memikirkan diksi yang aneh-aneh?

--->>>

• Pertanyaan 3B:
→ Kak kenapa novel POV 1 (sempit diksi yang wow gitu)? Apa emang dibatesin?  Beda dengan POV 3 yang diksinya luas. POV 3 juga pake paragraf metafora gitu.

★ Jawaban:
→ POV 1 kan memang terbatas dalam segala hal, tapi bukan berarti membatasi penggunaan diksi. Diksi tidak berpengaruh ke POV menurut saya.

Yang dibatasi dalam POV 1 adalah cara kamu menceritakan, karena kamu tidak tahu pikiran orang lain, cuma tahu apa yang kamu lihat dan dengar, dan itu yang membuat POV 1 terbatas.

Sedangkan POV 3 lebih luwes karena kamu sebagai pengamat. Apakah kamu cuma ingin menceritakan keseluruhan cerita melalui satu tokoh aja (misal Karan dari awal sampai akhir) atau kamu mau fokus ke lebih banyak karakter.

POV 1 itu kamu bisa lebih mengeksplorasi karakter kamu, bikin pembaca masuk karena mereka ngerasa sebagai karakter itu, POV 3, kamu harus membuat pembaca sebagai pengamat. Tiap POV ada plus minusnya, tergantung kebutuhan cerita kamu. Apakah kalau menggunakan POV 1 cukup bisa mewakili apa yang ingin kamu sampaikan, atau tidak.

--->>>

• Pertanyaan 3C:
→ Kak boleh waktu akan menulis, sudah di publish dan tiba-tiba ingin mengganti POV?

★ Jawaban:
→ Kenapa tidak boleh? Memang siapa yang ngelarang? Kalau memang kamu merasa POV yang kamu gunakan sebelumnya tidak mewakili apa yang ingin kamu sampaikan, ya ganti saja.

Seperti cerita yang saya tulis sekarang, saya bikin tiga bab awal menggunakan dua POV, POV 1 dan POV 3. Saya bandingkan, mana yang lebih cocok  dan akhirnya saya pakai POV 3 karena lebih mewakili kebutuhan cerita.

----------

• Pertanyaan 4A:
→ Kak pernah rombak outline sampe tiga kali, tidak? Aku soalnya pernah dan sampe sekarang masih ragu sama outline. Trus ada cara buat meyakinkan diri kita kalau outline yang kita buat itu sudah sempurna dan membuat kita tidak ingin membuat tambahan adegan, tidak?

★ Jawaban:
→ Jujur ya, saya bukan jenis penulis yang suka bikin outline. Kaget? hahahaha. Saya ngerasa tidak bisa nulis malah kalau membuat outline yang runtut di awal.

Begitu saya dapat ide, saya cuman tahu ceritanya mau dibuat seperti apa, dan hal apa saja yang ingin saya masukkan ke cerita. Jadi tidak pernah yang namanya ganti outline.

Tapi, kalau kamu ingin merombak outline sebelum menulis, ya tidak apa-apa. Mending dirombak di awal daripada di tengah-tengah kan? Kamu pikirin mateng-mateng begitu kamu mau buat outline. Diamin seminggu dulu, nanti kamu liat lagi, apakah ada yang ingin kamu ubah? kalau ada, lakukan sampai kamu benar-benar merasa mantep.

Pikirkan baik-baik tiap babnya, apakah berkesinambungan dengan bab sebelumnya, apakah kalau bab tertentu dihapus akan ngaruh ke cerita atau tidak. Kalau perlu, minta pendapat orang lain yang kamu percaya untuk meyakinkan kamu. Penulis itu makhluk yang egois, hahahaha, jadi lebih baik minta pendapat orang lain.

--->>>

• Pertanyaan 4B:
→ Terus kalau Kakak tidak pakai outline, itu gimana menyiasatinya? Maksdnya, apa cerita Kakak baik-baik saja? Apa kiat-kiatnya?

★ Jawaban:
→ Cerita saya baik-baik saja, hahaha. Ini mungkin lebih ke kebiasaan. Outline tetap dipakai, tapi di kepala, tidak saya tulis begitu. Jadi tidak yang detail tiap bab isinya apa, tapi saya tahu nanti bab-bab apa yang ingin saya tulis, dst. Tidak ada kiat-kiat, lebih ke konsistensi saja.

Misal bab 2 saya ingin karakter A main ke tempat karakter B dan mereka makan malem bersama. Kayak gitu. Saya tahu intinya di bab 2 itu mau nulis apa, tapi detail2nya, saya tuangkan pas nulis bab 2, bukan sebelumnya.

----------

• Pertanyaan 4C:
→ Itu idenya tidak ilang, Kak?
Aku pernah coba, tapi dua hari nggak nulis, ide buat bab-bab selanjutnya langsung hilang entah kemana..

★ Jawaban:
→ Nggak sih kalau saya. Mungkin karena saya orangnya jarang banget lupa, jadinya aman-aman aja.

--->>>

• Pertanyaan 5A:
→ kak Abi pernah gak bikin POV bergantian. Cowok dan cewek berbeda di tiap bab? Punya kiat khusus gak agar POV cowok lebih bernyawa laki-laki apabila penulisnya cewek atau pun sebaliknya?

★ Jawaban:
→ Pernah. Ada cerita saya di Wattpad yang judulnya Twenty Four. Itu diceritakan pakai POV 1 cowok dan cewek.

Kiatnya? Kasih jeda. Misalnya, hari ini kamu nulis POV cowok, jangan besok langsung kamu nulis POV cewek. Kasih jeda 2-3 hari, baru kamu nulis POV cewek, dengan begitu, suara karakternya nggak akan kecampur. kalau bisa, bedakan cara mereka ngomong.

Di cerita saya, yang cowok pakai 'aku' dan bahasa formal, tapi buat POV cewek, saya pakai 'gue' dan bahasa informal, bukan hanya dari dialog, tapi narasinya juga. Dengan begitu, akan keliatan bedanya.

--->>>

• Pertanyaan 5B:
→ Kalau POV bergantian itu bisa bikin pengulangan adegan juga kan Kak? Kira-kira bagaimana biar kita ga ulang adegan yang sama tapi masih bisa tersambung antara 1 bab ke bab lainnya?

★ Jawaban:
→ Sebisa mungkin jangan. Mubazir kalau kamu menceritakan satu kejadian lewat dua POV, buat apa? Bisa kamu akali dengan melanjutkan bagian akhir dari bab sebelumnya. Misalnya, akhir bab 2 dari POV cewek adalah dia dianterin karakter cowok yang kamu jadikan POV. Buat bab 3, kamu bisa mulai ceritakan apa yang terjadi setelah cowok itu nganterin si cewek, jadi akan tetap tersambung tanpa harus mengulang adegan.

----------

• Pertanyaan 6:
→ Kak Abi, pernah menulis beberapa cerita dalam waktu bersamaan nggak? Kalo pernah, gimana caranya biar bisa terampil multitasking gitu?

★ Jawaban:
→ Pernah sekali dan itu gagal total, berakibat saya unpublish dua cerita saya di Wattpad, hahaha. Saya bukan orang multitasking. Jangankan nulis cerita, ngelakuin hal lain saja saya tidak bisa multitasking. Cerita itu jauh lebih rumit ya, karena kita bermain dengan karakter dan plot.

Sebenernya, bisa aja sih kalau kamu mampu. Dikasih jeda juga. Misalnya minggu ini dari Senin-Jumat kamu nulis cerita A, terus minggu depannya, dari Senin-Jumat kamu nulis cerita B. Dengan gitu, mungkin banget bisa. Saya sempat mencoba seperti itu, tapi nggak berhasil ujung-ujungnya, hahaha.

--->>>

• Pertanyaan 7:
→ Bagaimana cara menumbuhkan CLBK pada naskah sendiri? Saat tengah perjalanan menulis, tiba-tiba merasa cerita kita kurang kuat, dan merasa tertekan saat melanjutkan tulisan.

★ Jawaban:
→ Berarti outline yang kamu buat kurang kuat atau alur cerita yang kamu bikin kurang matang. Kalau kamu sampai tertekan untuk melanjutkan tulisan kamu sendiri, berarti ada yang salah dalam cerita kamu.

Bisa kamu baca dari awal, cari kesalahannya di mana, kalau udah ketemu, benahi. Kalau perlu tulis ulang.

Saya pernah kayak gitu, tapi bukan karena tertekan. Cerita saya di Wattpad yang judulnya KLB itu pernah saya posting di forum dulu, dengan narasinya menggunakan bahasa formal sementara untuk dialognya, karakter utamanya menggunakan bahasa informal.

Ketika saya berniat untuk memindahnya ke Wattpad, saya ngerasa penggunaan narasi formal itu kurang pas, jadi saya ubah satu cerita dengan menggunakan bahasa informal untuk narasi. Hasilnya? Saya puas banget karena karakternya jadi semakin kuat (paling nggak, buat saya sih, hehehe)

Kalau kita bisa ngerasain ada 'sesuatu' dalam cerita kita, pembaca juga akan merasakan itu. Kalau ada adegan di cerita yang pas saya nulis sampe nangis, pas pembaca baca adegan itu, mereka biasanya akan ikut nyesek juga.

--->>>

• Pertanyaan 8A:
→ Kak bagaimana caranya agar dialog yang dibuat bisa diimajinasikan sama pembaca? Gerak-gerik tokohnya saat berdialog gitu. Gimana caranya biar bagus? Ada tipsnya?

★ Jawaban:
→ Waktu kamu nulis, bayangkan kamu ada di posisi karakter kamu atau bayangkan kamu sebagai sutradara dan karakter-karakter kamu sebagai aktor/aktris. Itu tipsnya. Saya selalu ngebayangin tiap adegan yang saya tulis, sekecil apa pun itu kayak film di pikiran saya. Divisualisasikan istilahnya.

--->>>

• Pertanyaan 8B:
→ Bolehkah jika nama suatu tempat itu fiksi? Kalau nama jalan gak boleh kan, Kak? Misalnya tempat fiksi gak papa? Contohnya, latar di Jakarta pergi ke Restoran Gerilya padahal di sana gak ada restoran tersebut.

★ Jawaban:
→ Boleh saja, kenapa tidak? Di cerita saya Twenty Four, saya menggunakan dua nama kafe di Bali yang dalam kenyataannya nggak ada, cuma ... meski fiksi, secara lokasi, dua kafe itu didasarkan pada tempat yang benar-benar ada.

Siapa yang bilang jalan tidak boleh fiksi? Sebisa mungkin sih jangan, tapi kalau kamu menciptakan sebuah tempat yang nggak ada, ya silahkan saja dibuat fiksi. Misalnya, kamu membuat kota dengan nama Kota Kepo, ya tidak apa-apa. Itu hak kamu, asalkan kamu konsisten.

--->>>

• Pertanyaan 8C:
→ Gimana Kak bikin cerita yang sedikit ada humornya? Ceritanya kan teenfiction, terus mau di kasih humor. Sedangkan saya itu orangnya tidak humoris. Jadi, gimana solusinya? Kalau gak dikasih humor terasa garing Kak.

★ Jawaban:
→ Saya juga nggak humoris orangnya, hahaha. Sebenernya humor itu nggak melulu harus sesuatu yang dibuat-buat kok, dalam artian tidak harus selalu yang berupa kejadian.

Bisa saja kamu sisipkan dalam dialog, kalimat yang enggak banget. Selera humor orang kan beda-beda. Saya orangnya garing kalau ngelucu, jadinya saya bikin lucu aja hal-hal yang mungkin buat banyak orang lain nggak lucu. Bisa kamu siasati dengan banyak nonton film komedi buat cari inspirasi.

--->>>

• Pertanyaan 9:
→ Kak abi, gimana caranya bikin konflik yang tidak ketebak? Atau mudah ditebak, tapi memuaskan pembaca? Ada tips gak kak untuk genre misteri?

★ Jawaban:
→ Konflik yang nggak ketebak? Harus kamu bikin di outline ya, kamu rencanakan dari awal, kasih petunjuk dikit-dikit biar yang baca tidak kaget karena ada kejadian yang tiba-tiba ada tanpa kamu singgung sebelumnya.

Sebenernya, supaya bisa bikin konflik yang nggak mudah ketebak kuncinya adalah banyak baca sih, dari situ kamu tahu dan akan belajar, kalau cerita romance biasanya kayak apa konfliknya, kalau misteri kayak apa konfliknya, jadi istilahnya perbanyak referensi.

Untuk misteri, mungkin bisa saja kamu kasih kejutan di awal, agar pembaca kamu bertanya-tanya apa yang menyebabkan kejadian di bab 1, dari situ, kamu bisa mengolah alur serta konfliknya menjadi lebih menarik dan nggak ketebak. Misteri memang harus pinter2 bikin pembaca menebak-nebak sih, jadi kamu perbanyak juga baca novel-novel misteri atau thriller.

Maaf kalau jawaban saya tidak memuaskan. Kalau ada yang punya masukan lebih oke, silakan.

--->>>

• Pertanyaan 10:
→ ada kaitannya dengan pertanyaan Q3. Kalau gak salah, haruskah kalau nulis dengn diksi tidak biasa itu mulai ditinggalkan meski sudah menjadi ciri khas kepenulisan? ataukah meninggalkannya harus perlahan saja? karena rasanya ada kepuasan tersendiri saat menulis dengan diksi tidak biasa itu, khususnya bila menulis di genre M/T. Makasih sebelumnya kak.

★ Jawaban:
→ Kalau memang diksi yang nggak biasa itu udah jadi ciri khas kamu, ya jangan ditinggalkan dong. Penulis baru biasanya masih nyari 'suara' mereka karena pasti sedikit banyak, terpengaruh dari buku-buku yang mereka baca.

Itulah pentingnya baca buku dari berbagai genre, supaya kita bisa tahu 'suara' kita kayak apa. Nggak ada yang ngelarang kok pakai diksi yang nggak biasa kalau memang itu bisa mewakili cerita kamu dan gaya kamu. Sah-sah aja.

--->>>

• Pertanyaan 11:
→ Kak Abi, kan tadi kalau penulis itu harus merasakan apa yang ada dalam tulisannya. Kalau misal saya nulis tentang suatu penyakit mental gimana cara ngatasinnya biar enggak ketularan. Soalnya pernah, saya jadi ketularan kena penyakit itu. Dan sampai sekarang pun masih kerasa sedikit. Mohon pencerahannya.

★ Jawaban:
→ Waduh, kamu terlalu menjiwai karakter kamu berarti. Nah, ini. Meskipun kita harus bisa ngerasain cerita yang kita tulis, sebisa mungkin begitu cerita itu selesai, kita lepasin apa aja yang masih bikin kita tergantung sama cerita itu. Cara ngatasinnya? Bedakan antara realita dan cerita.

Kalau menurut kamu cerita yang kamu tulis udah mengganggu kehidupan nyata kamu, minta temen buat ngingetin kalau kamu cuma menulis cerita. Jangan terpaku sama cerita itu terus. Tinggalkan cerita itu buat sementara waktu.

--->>>

• Pertanyaan 12:
→ Maaf kak jika sedikit OOT dan curhat. Beberapa bulan terakhir ini saya terkena mager alias males mau nulis dan baca, lalu akhirnya tulisan saya banyak yang tidak selesai. Mau mulai nulis rasanya susah banget. Gimana caranya mengatasi kak? Apakah dengan cara hiatus dulu dari dunia kepenulisan, hingga datang hidayah lagi untuk menulis?

★ Jawaban:
→ Sebenarnya, ide itu nggak perlu ditunggu. Menulis itu masalah kemauan dan tekad. Kalau kamu nunggu sampai kamu ngerasa pengen nulis lagi, sampai kapan? tahun depan? Dua tahun lagi? Saya biasain nulis tiap hari meski lagi maleeees banget nulis.

Meski cuman dapet dua paragraf, nggak papa, yang penting nulis. Tanamkan itu. Buat pancingan, baca lagi cerita kamu, biasanya itu akan menimbulkan perasaan ingin melanjutkan. Atau kalau nggak bisa, nonton film, baca buku. Kamu sendiri yang athu kan apa yang biasanya kamu lakuin buat mancinng diri supaya nggak mager?

--->>>

• Pertanyaan 13:
→Kak, aku baca suatu cerita, terus pas baca, aku nemu adegan yg tiba2 pengin aku tambahin di ceritaku, itu boleh gak? Atau malah termasuk plagiasi?

★ Jawaban:
→ Apakah adegan itu akan nyambung sama cerita kamu atau nggak? Kalau nggak, ngapain kamu tambahin di cerita?

Kalau memang masuk, sesuaikan dengan jalan cerita kamu. yakin aja kalau kamu ubah adegan itu sesuai dengan cerita dan gaya kamu nulis, nggak akan keliatan kok karena memang gaya penulis satu dengan yang lain nggak sama meski menulis satu adegan yang persis.

--->>>

• Pertanyaan 14:
→ Kak abi kalo nulis pov 3 harus detail kah? Narasinya itu loh, misalkan lagi nyeritain si A, terus latar belakangnya sama cucunya segala?

★ Jawaban:
→ Kamu kuak sedikit demi sedikit, jangan sekalligus kamu ceritakan semua di awal. Fokuskan pada adegan yang ingin kamu tulis. Misal si A lagi ada di kafe, gambarkan aja apa yang ada di kafe itu, nanti baru masuk ke perasaan si A, tapi kalau adegannya nggak menuntut untuk menjelaskan latar belakang keluarga dia, ya nggak usah diceritakan. Buat apa?

Contoh:

Pandangan Karan masih belum beralih dari layar ponselnya. Sudah 10 menit dia diam mematung sementara bolo rei yang biasanya tandas dalam hitungan menit, tidak mampu mengembalikan selera makannya. Di luar, beberapa orang berlari kecil, berharap rintik yang mulai membasahi Porto tidak membuat mereka basah kuyup. Percakapan tentang cuaca yang tiba-tiba berubah setelah hari sebelumnya cerah menjadi topik sebagian pejalan kaki di luar pastelaria yang berada di Avenidos da Republica. Bahkan keriuhan di dalam pastelaria yang biasanya selalu menjadi pusat perhatian Karan, tidak mampu mengalihkannya dari foto yang diunggah pemilik akun Instagram itu dua jam lalu. Jika saja Karan tidak mengenal siapa pria di dalam foto itu, dia tidak segan untuk menekan tombol hati begitu melihatnya, meninggalkan komentar singkat, bahkan sebuah senyum lebar mungkin terpasang di bibirnya. Pasangan dalam foto itu terlihat bahagia.

--->>>

• Pertanyaan 15:
→ Duh emosi ini yang gak nahan buat kecampur, eh tapi katanya kudu kita merasakan di posisi tokoh, gimana tuh Kak?

★ Jawaban:
→ Nah, itu tantangannya di POV 3. Maksud saya, emosi kamu sebagai penulis jangan sampai kecampur dengan emosi karakternya, kan kamu posisinya sebagai pengamat, bukan si tokoh kan? Kalau POV 1 kan jelas.

--->>>***<<<---

╰╮╰╮╰╮╰╮╰╮╰╮╰╮╰╮╰╮╰╮╰╮╰╮╰╮╰╮

⇨ Ya ampun, saya merasa tidak enak jika memberikan jawaban yang salah atau tidak memuaskan. Kalau ada yang tidak puas, silakan maki-maki saya saja, huhu.

Member WWG:  Tidak apa-apa, Kak Abi. Justru jawaban Kak Abi sangat jelas sekali. Terima kasih atas ilmunya, Kak Abi.

***

Terima kasih atas kesempatan, waktunya, ilmunya, Kak....

Semoga berbalas kebaikan yang melimpah :) JAZAKALLAHU KHOIR.

***

Terimakasih yang sudah menyimak, mohon maaf apabila ada kesalahan.

Kami menerima kritik, pendapat, saran, dan pertanyaan. :)

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro