Bulan bercerita (Bahasaku, Wujud Cintaku kepada Negeri)

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Bahasaku, Wujud Cintaku kepada Negeri
Oleh Vei_la

"Mengapa harus ada bahasa Indonesia? Bukannya setiap harinya kita berbahasa Indonesia? Jadi, untuk apa mempelajarinya? Bukankah lebih baik kita simpan tenaganya untuk belajar hal yang lain?"

Pertanyaan itu spontan terlontar dari mulut temanku, Rania, ketika melihat hasil ulangan bahasa Indonesianya. Hasil ulangan bahasa Indonesia teman satu kelasku tidak begitu baik. Hanya beberapa orang saja yang mendapat nilai di atas delapan dan nilai-nilai tersebut belum dapat dikategorikan sempurna.

Kulihat angka tujuh puluh delapan di lembar ulanganku. Tidak begitu baik, tetapi tidak buruk juga karena sudah melampaui KKM. Bahasa Indonesia memang cukup sulit dipelajari, apalagi jika harus mempelajari tentang ejaan dan kalimat yang efektif. Rasanya ingin menyerah. Dan kurasa pertanyaan Rania benar, untuk apa mempelajari bahasa Indonesia dengan segala aturan yang memusingkan, sedangkan kita sudah fasih berbahasa Indonesia sejak dini.

"Apa karena perancang pendidikan ingin mengerjai siswa-siswi?" ucapku, berusaha menerka-nerka jawaban dari pertanyaan yang Rania lontarkan.

"Hei!" Seseorang mengagetkanku dari belakang. Sontak aku membalikkan badan dan melihat Nadia melemparkan senyuman kepadaku. Kemudian dia berjalan mendekatiku. "Kalau otak belum mencapai kulitasnya, jangan aneh-aneh ya pikirannya. Nanti kalau prasangkanya salah, bikin kamu kena dosa loh. Emang mau?"

Kutatap bingung pada Nadia yang tiba-tiba saja datang untuk menceramahiku. Sesaat kemudian, aku menggelengkan kepala untuk menjawab pertanyaannya. Kuakui bahwa perilakuku salah, menduga jawaban yang tidak jelas kebenarannya memang bukan hal baik. Apalagi jika dugaan itu keliru, bisa termasuk pada fitnah.

"Yuk, keluar," ucap Nadia kepadaku.

"Hah?"

Nadia langsung mengambil napas. Lantas, dia menarik tanganku untuk bangkit dari posisi dudukku. "Aku mau kasih lihat sesuatu ke kamu."

Aku mengikuti langkah Nadia dengan perlahan. Kebetulan sekarang jam istirahat dan aku sedang tidak ingin pergi ke kantin. Jadi, aku memiliki waktu yang cukup untuk melihat apa yang ingin Nadia tunjukkan kepadaku.

Nadia membawaku ke pinggir lapangan upacara, dengan pemandangan orang-orang yang saling berlalu lalang. Ada beberapa siswi yang berjalan sambil tertawa riang, siswa-siswi jalan sambil memakan makanan yang dibawanya, serta siswa-siswa yang sedang bermain basket dengan mengenakan seragam putih abu-abu.

Aku memincingkan mata ke arah Nadia. Kupandangi dia lamat-lamat, berusaha mencari makna di balik senyuman yang terus saja ditujukan pada lapangan di depan kami.

"Kamu punya resolusi untuk masa depanmu, Na?" tanya Nadia kepadaku.

Sontak aku mengerutkan dahi. Otakku yang cenderung pas-pasan berusaha memahami makna dari pertanyaan yang Nadia lontarkan. Akan tetapi, masih belum juga menemukan hubungan antara tempat ini dengan resolusi di masa depan.

"Jangan banyak berpikir, kamu jawab saja pertanyaanku. Punya atau tidak?"

Aku menganggukkan kepala. "Ya, punya. Sedikit. Tapi, aku enggak yakin akan memenuhi sasaran yang telah aku canangkan."

Nadia langsung menggeleng-gelengkan kepalanya. "Kamu ini kebiasaan sekali, ya. Belum apa-apa, sudah pesimis saja. Seharusnya sebagai anak muda yang perjalanannya masih panjang, kita harus penuh semangat dalam mencapai mimpi. Jangan mudah loyo oleh keadaan yang ada. Situasi bukan hal menetap kok, masih suka berubah-ubah seiring berjalannya waktu. Nah, tugas kita sebagai anak bangsa, tunjukkan yang terbaik. Apa pun mimpimu, asal masih dalam tujuan yang baik, layak untuk diperjuangkan kok."

Ucapan Nadia kucerna sebagai penyemangat untuk melangkah ke masa depan yang lebih baik. Gadis itu memang luar biasa. Dia pintar, juga ramah. Dia pun si baik hati yang disukai oleh teman satu kelas dan guru-guru. Berbicara dengannya seperti bicara dengan orang tua, cukup berbobot dan terselip pesan di balik kata-katanya. Namun, pintarnya Nadia, dia selalu dapat mengutarakannya dengan santun, sehingga tidak terkesan menggurui.

Aku dan Nadia terdiam beberapa saat, sambil meresapi embusan angin yang meliuk-liukkan hijab kami. Aku ingin bertanya alasannya mengapa mengajakku ke sini, tetapi aku tidak ingin merusak suasana.

"Kamu punya harapan apa untuk negeri ini?" Nadia menatapku dengan semringah, tetapi hanya dapat kubalas dengan tatapan linglung.

Aku tidak mengerti harapan apa yang aku miliki untuk negeri ini. Karena rasanya kehidupanku dan keadaan di negeri ini saling bertolak belakang, serta tidak ada hubungan satu sama lainnya. Jadi, untuk apa menaruh harapan kepada negeri yang sudah jelas tantanannya?

"Enggak ada sih, aku enggak punya harapan apa-apa untuk negeri ini. Toh, menaruh harap pada sesuatu bukan hal yang baik, 'kan? Takutnya kita malah berambisi untuk merealisasikannya dan membuat kita salah langkah. Jadi, aku memilih untuk menikmati apa yang ada saja," kataku kepada Nadia. Mungkin cukup menyiratkan ketidakpedulianku pada negeri ini, tetapi inilah aku.

"Coba kamu lihat ke tengah lapangan sana." Telunjuk Nadia menunjuk pada segerombolan anak laki-laki yang sedang berdiri sambil melemparkan tawa. "Bangsa kita tentu tidak pernah mengajarkan perilaku yang seperti itu. Bangsa kita menyukai kesopanan, tata krama, dan kesantunan dalam bertutur. Tapi, apa yang terjadi sekarang? Banyak anak muda yang terbawa arus pergaulan yang salah. Bertemu guru, tidak salaman. Ke sekolah untuk belajar, malah main-main. Diajarkan bicara yang lembut, malah bicaranya kasar. Budaya orang yang tidak kita tahu filosofinya, malah dipuja-puja. Terlihat seperti kecintaan terhadap negeri ini sudah sangat memudar."

Aku melihat dengan teliti pada segerombolan siswa itu. Benar pendapat Nadia, miris melihat perilaku mereka. Benar-benar tidak mencerminkan budaya yang diwariskan oleh para leluhur. Tidak hanya dari cara mereka berkomunikasi yang salah, perilakunya pun banyak yang keliru. Salah satu contohnya adalah mengeluarkan baju dari celana dan berbuat kasar kepada teman sebayanya.

Meskipun aku tidak pernah memikirkan tentang masa depan bangsa ini, tetapi aku berusaha menjaga sopan santun dan taat terhadap peraturan, sebagai bukti bahwa aku menghargai segala tatanan pendidikan di negeri ini. Aku juga tidak ingin berbuat macam-macam karena tahu tindakan itu akan mencoreng kehormatan negeri ini. Serta aku mencoba fokus terhadap ilmu yang sedang kutuntut sebagai keterlibatanku dalam memajukan negeri ini.

Mungkin aku bukan Nadia yang memiliki pikiran matang untuk memahami keadaan di negeri ini, tetapi kecintaanku terhadap negeri ini telah kusimpan dalam hatiku. Tidak ingin negeri ini rusak karena perilaku anak bangsa yang urakan, serta tidak ingin negeriku kehilangan jati dirinya. Memang aku tidak bisa mengubah banyak hal yang melenceng, termasuk sikap siswa-siswa yang telanjur keliru. Namun, aku bisa memberikan terbaik untuk negeri ini, dengan caraku sendiri. Syukur-syukur di masa depan aku dapat memberikan yang terbaik kepada negeri ini.

"Hei, ngalamun aja. Lagi mikirin apa, sih?" Suara Nadia yang cukup kencang, berhasil mengagetkanku. Aku yang sebelumnya sedang berangan tentang negeri ini, seketika kembali ke dunia nyata. Sepertinya aku terhanyut oleh perkataan Nadia.

"Enggak mikirin apa-apa kok, Nad. Aku hanya berusaha memahami makna dari ucapan kamu dan menyatukannya dengan melihat keadaan yang ada. Aku pikir, ucapanku salah. Aku bukan tidak memiliki harapan untuk negeri ini, aku hanya belum memahami harapan apa yang ingin aku titipkan untuk negeri yang kucinta. Karena nyatanya ketika melihat anak muda yang suka seenaknya sendiri, aku merasa kasihan. Aku tidak ingin mereka jadi perusak negeri yang telah susah payah diperjuangkan, sekaligus bermimpi bahwa kelak aku bisa menjadi pendobrak perubahan," jawabku kepada Nadia.

Nadia melemparkan senyuman kepadaku.  "Bagus dong kalau begitu." Setelah itu, dia berdiri dari posisinya. "Yaudah, yuk, balik ke kelas. Lama-lama di sini panas."

Aku melongo mendengar ucapan santainya. Otakku langsung bertanya-tanya mengenai jalan pikiran Nadia. Tadi dia mengajakku kemari dan seperti ingin bertukar pikiran tentang masa depan negeri ini. Kemudian ketika aku ingin menyeleraskan pemikiranku dengannya, dia malah ingin kembali ke kelas dan tidak menanggapi ucapan panjangku. Sebenarnya maksud Nadia mengajakku kemari itu apa?

"Cuma begini aja, Nad? Enggak ada kelanjutannya mau gimana gitu? Misal kita kasih saran ke mereka kek, bikin rancangan untuk masa depan negeri ini kek, apa kek. Masa langsung ajak balik ke kelas?" kataku menunjukkan ketidaksukaanku pada ajakannya.

Nadia menanggapiku dengan santai. Dia berkata, "Loh, masalahnya apa? Kan tugasku sudah selesai. Kamu tadi bertanya mengapa kita harus mempelajari bahasa Indonesia. Nah, ini jawabannya."

"Jawaban apa? Aku tidak merasa menemukan jawaban dari pertanyaan itu. Justru aku menemukan makna kecintaan terhadap negeri ini."

"Nah, itu dia jawabannya, Hana." Nadia menatapku lamat-lamat. Tatapannya seperti hendak memberitahu sesuatu yang serius kepadaku. "Negeri kita punya beragam suku dan bahasa. Oleh karena itu, cara kita berbicara pasti tercampur dengan bahasa ibu. Adanya bahasa Indonesia bertujuan untuk mengingatkan kalau sejatinya kita adalah bangsa Indonesia. Dan materi yang diajarkan di bahasa Indonesia bertujuan untuk membangkitkan kecintaan kita terhadap bahasa resmi negeri ini, bukan untuk menambahi beban belajar kita. Kita tidak bisa menyebut diri kita mencintai Indonesia, kalau belum bisa bertutur bahasa yang baik dan benar. Contohnya ya seperti siswa di tengah lapangan itu."

Aku mengangguk paham pada penjelasan Nadia. Ternyata apa yang dari tadi ditunjukkan Nadia kepadaku, saling berkaitan dengan pertanyaan yang aku pikirkan di kelas. Namun, Nadia memiliki cara sendiri untuk membuatku paham pada tujuan pelajaran bahasa Indonesia, sekaligus membuatku mengerti bagaimana cara mencintai negeri ini dengan caraku sendiri.

Sekarang aku bukan hanya tahu bagaimana cara menunjukkan rasa cinta kepada negeri ini dengan versiku sendiri. Akan tetapi, juga membuatku ingin mendalami bahasa Indonesia dengan lebih baik dan mengaplikasikannya pada kehidupanku. Karena bahasa bukanlah ilmu yang dapat melekat dengan dibaca atau didengarkan. Namun, sesuatu yang melekat pada kehidupan sehari-hari, serta harus diaplikasikan secara langsung agar mudah diingat dan meminimalisir terjadinya kesalahan berbahasa.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro