Bulan Bercerita (Rokade)

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Rokade

Kerja di perusahaan asing: keren. Menurut mereka.

Digaji dengan satuan dollar: luar biasa. Katanya.

Ya, memang luar biasa jumlahnya.

Aku yang dulu harus menahan diri minta dibelikan sepatu baru meskipun sepatu yang ada telah rusak, kini punya koleksi sepatu dari desainer kenamaan. Masa kecil hidup tepat di atas garis kemiskinan, kini aku menjadi budak korporat yang tak perlu merasakan kekurangan.

“Penyerahan ke rekening kas negara dengan mata anggaran tadi, jumlahnya tidak sesuai dengan bonus produksi yang kami hitung, Bu Dian.” Seorang lelaki dengan kemeja biru muda akhirnya bersuara di ujung sambungan rapat virtual.

“Nggak sesuai bagaimana? Memangnya, dasar perhitungan Kementerian dari mana? Perhitungan kami, jumlah yang kami transfer telah sesuai persentasenya, sesuai dengan kontrak Indonesia dengan kami.”

Aku ingin menggigit lidahku sendiri, rasanya selalu aneh meletakkan “Indonesia” dan “kami” di sisi berlawanan. Tapi apa boleh buat, aku adalah wakil perusahaan minyak dari Amerika. Meniti karir sejak lulus kuliah, yang bisa kunikmati karena beasiswa pemerintah, aku terjun ke perusahaan pertambangan. Merangkak dari bawah, di antara orang-orang pribumi yang memiliki privilege maupun di antara ekspat yang terkadang merasa superior, aku akhirnya dipercaya menduduki jabatan yang lebih tinggi: menjadi wakil perusahaan untuk berdebat dengan wakil negara sendiri.

“Kami sudah melakukan verifikasi, ada perbedaan data, dari yang dikirim minggu lalu dengan hasil pemeriksaan kami.” Baskoro menatap tajam dari dalam layar, jika sedang rapat langsung, bisa dipastikan lelaki itu akan mengulitiku.

“Boleh kami minta hasil pemeriksaan dari Tim Bapak?” ucapku sopan, sambil mengulur waktu. Hasil rapat top management awal pekan ini sudah menegaskan, jika perusahaan tidak akan membayar lebih dari jumlah yang telah disetorkan.
Aku tahu, para direktur itu sudah bersepakat untuk menggunakan celah kontrak kerjasama. Merasa bahwa itu adalah keuntungan yang sudah pantas mereka dapatkan, tak perlu terlalu banyak dibayarkan ke pemerintah Indonesia. Aku muak dengan rapat itu, tapi tidak bisa berkutik. Sekarang, aku makin muak dengan diriku sendiri karena menjadi ujung tombak ‘kecerdasan’ orang-orang yang ingin menguras sumber daya negara lain.
Ponselku menyala, notifikasi dari bengkel mobil, memberitahukan bahwa pekerjaan modifikasi mobilku telah selesai.

Aku meringis.

“Nanti akan kami kirimkan, sekalian dengan pemberitahuan jadwal pemeriksaan lapangan.”

Aku termenung untuk sesaat. Sama sekali tidak menyangka skenario ini. Dulu, kami sering melakukan hal ini, tapi dari pihak Kementerian sama sekali tidak berkomentar. Aku tidak yakin, apakah mereka benar-benar tidak tahu kelicikan yang kami lakukan. Atau para top management sudah beranjangsana ke pihak pemerintah, sehingga mereka bungkam?

Namun, setahun terakhir, sejak Baskoro menjadi pengganti pejabat sebelumnya yang pensiun, pemeriksaan dari Kementerian semakin merepotkan. Bahkan beberapa kali rapat gabungan, kulihat Baskoro sering berbeda pendapat dengan atasannya. Bukan pemandangan baik untuk dilihat orang luar seperti aku, bukan urusanku juga. Yang kupedulikan hanyalah jadwal rapat yang menjadi lebih panjang gara-gara perdebatan pejabat pemeriksa itu.

“Baik, Pak. Kami tunggu. Kalau suratnya masuk minggu ini, konfirmasinya bisa dengan saya. Kalau minggu depan, nanti Pak Benny yang akan konfirmasi.”

“Bu Meta mau cuti?”

“Kontrak saya habis, nggak saya perpanjang.” Aku tersenyum lebar, senyum lebar pertamaku sejak rapat dimulai satu jam lalu.

“Loh?” Baskoro terlihat bingung. Lebih bingung daripada tadi ketika aku menjabarkan paparanku. “Memangnya mau pindah perusahaan? Ke mana?”

“Belum tahu ke mana setelah ini, saya mau istirahat dulu saja.”

Ponselku kembali menyala, masih dari bengkel. Kali ini, mereka mengirim interior dalam mobilku. Bagian belakang mobil SUV-ku berubah. Yang awalnya terdiri dari dua baris bangku penumpang, sekarang berubah, hanya ada satu bangku memanjang yang bisa menjadi tempat tidur nyaman. Ruang yang tersisa digunakan untuk penyimpanan. Sisi kiri, dilengkapi dengan beberapa pengaitu yang bisa digunakan untuk memasang tenda.

“Liburan?”

Tebakan Baskoro tepat.

“Rencananya begitu. Touring keliling Indonesia.”

“Sepertinya akan menyenangkan.”

Iya, akan menyenangkan jika Jumat ini aku bisa langsung berangkat. Sayangnya, gara-gara tim pimpinan Baskoro, pekerjaanku yang seharusnya bisa selesai dengan mudah, ternyata tidak selesai juga. Aku harus membuat nota jabatan, sebagai untuk panduan penggantiku untuk menyelesaikan masalah ini.

“Menyenangkan, Pak. Paling tidak, saya tidak perlu berhadapan dengan tim Bapak lagi.” Aku bersoloroh menyandarkan punggung di kursi nyamanku, yang sebentar lagi kutinggalkan.

Wajah Baskoro berkerut, tapi lalu tertawa. Dia ikut menyandarkan tubuhnya di kursi. Ada dua orang dari Tim Baskoro yang juga ikut rapat virtual kali ini. Namun, keduanya hanya diam, bahkan kamera juga tidak dinyalakan. Entah mereka memang mengikuti, atau sekadar mengaktifkan virtual meeting lalu pergi.

Sebenarnya, akan lebih menyenangkan lagi, kalau aku bisa berada di tim yang sama dengan Baskoro. Aku tahu betul di mana celah kontrak yang bisa diarahkan untuk keuntungan Indonesia.

***

Baskoro mengumpat. Dia membanting berkas pemeriksaannya di meja. Dua tahun dia berkutat dengan kontrak kerjasama Indonesia dengan Earth Energy, perusahaan pertambangan Amerika yang mengambil minyak di beberapa titik Indonesia. Sayangnya, sama sekali tidak mendapatkan hasil yang diinginkan.

Baskoro berpikir, tahun pertama berhadapan dengan Meta, sudah menyusahkan. Wanita itu selalu berusaha mempertahankan keuntungan perusahaan. Awalnya, Baskoro berpikir jika Meta telah terbeli. Namun, kelakuan penggantinya, Benny, lebih parah lagi. Tim Baskoro benar-benar dipersulit untuk melakukan pemeriksaan.
Telepon di meja kerja Baskoro berbunyi. Lelaki itu harus menyisihkan tumpukan berkas agar bisa mengangkat gagang telepon. Dia sudah mewanti-wanti cleaning service untuk tidak menyentuh berkas di mejanya. Baskoro tidak ingin berkasnya berpindah tempat dan akan mengacaukan sistem berpikirnya.

“Pak Baskoro?” Suara Lily, CPNS yang sedang magang untuk membantu Sekretaris Direktur, mengalun pelan dari pelantang. “Dipanggil Pak Dir untuk menghadap, sekarang.”

“Ada perlu apa, ya?” Lelaki itu menyambar name tag-nya. Kakinya melepaskan sandal jepit yang biasa dia pakai di ruangan, dan langsung memakai sepatu yang tergeletak di bawah meja.

“Kurang tahu, Pak. Ini ada teman Pak Dir yang datang, sepertinya mau bertemu dengan Pak Baskoro.”
Baskoro menggaruk alisnya yang tidak gatal. Tidak mengerti apa yang akan terjadi.

“Saya perlu bawa apa, ya?”

“Cukup bawa diri dengan baik, Pak.” Lily tertawa. “Tamu Pak Dir ada Mbak-Mbak cantiknya, siapa tahu Pak Baskoro mau dijodohkan.” Bocah itu berkelakar. Di antara semua pegawai, sepertinya Baskoro yang menjadi sasaran ledekan para CPNS karena status jomlonya. “Segera ya, Pak.”
Sambungan ditutup, Baskoro merapikan diri sebelum keluar dari ruangan.

“Cantik, Pak!” sambut Lily begitu Baskoro masuk ke ruang sekretaris. Gadis muda itu tertawa tanpa suara melihat wajah kesal seniornya.

“Kalau udah ada yang punya, ‘gimana?” Lelaki itu bertanya sambil lalu. Rasanya ingin menimpuk Lily, tapi dia menahan diri.

“Nggak ada cincin kawin, sudah saya pastikan,” ucap Lily tepat ketika Baskoro memegang knop pintu. Baskoro hanya menggunakan tatapan tajamnya, seketika olokan si bocah berhenti.

Begitu masuk, Baskoro melihat ada tiga orang yang duduk di meja rapat. Pak Direktur duduk di bagian ujung meja, singasananya. Seorang lelaki yang sebaya dengan Direktur, yang memiliki uban sama banyaknya. Lalu, Meta?

Langkah Baskoro melambat, tapi atasannya sudah melambaikan tangan, meminta Baskoro segera bergabung.

“Kamu kemarin bilang, kita butuh seseorang yang mengerti seluk beluk kontrak, biar nggak terus-terusan dikadali.” Suara berat Pak Direktur memecah sunyi. “Perkenalkan, staf khusus kita yang baru.”

Tangan tua itu terangkat, menunjuk satu-satunya wanita di ruangan.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro