Bulan Bercerita (Hidup Kembali)

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Hidup Kembali
By: annisaaly

“Indonesia mencatat rekor kasus Covid-19 harian tertinggi pada Rabu (23/6/2021) dengan 15.308 kasus, sehingga total kasus menjadi 2.033.421 kasus. Dengan adanya lonjakan in, mengakibatkan banyak rumah sakit terancam kolaps karena tak mampu menampung pasien.”

Fani mengambil remot tv yang tergeletak di depan meja, setelah melihat kabar berita tentang virus covid yang semakin hari semakin meningkat. Ia menghela napas dengan berat. Tubuhnya lemas, lalu membaringkan diri di sofa yang menutupi seluruh wajah dengan bantal. Fani ingin menangis, namun taka ada satu tetes pun yang keluar dari matanya.

“Aku nggak bisa begini terus,” ia bangkit dari tidur menuju ruangan sebelahnya, tempat para pekerja konveksi yang sudah berdiri sejak dua tahun terakhir.

“Alsa.”

“Iya mbak,” Alsa menghentikan laju tangannya sejenak.

Alsa menatap Fani yang terduduk lemas di meja panjang. Dengan tatapan penuh kekhawatiran, ia menghampiri Fani.

“Mbak Fani kenapa?”

Alsa pegawai paling muda di sini, ia baru lulus SMA beberapa bulan yang lalu. Demi membantu ekonomi keluarga dengan tanggungan tiga adiknya yang masih sekolah, Alsa memutuskan untuk bekerja di usaha konveksi ini sejak akhir tahun lalu dan tidak melanjutkan kuliah.
Dengan wajah lesu Fani menoleh ke arah gadis tersebut, rasa kasihan menyelimutinya. Terhitung sudah tiga bulan ini para pegawainya belum diberi upah akibat menurunnya pesanan, ditambah lagi jumlah virus corona yang semakin meningkat menambah kekhawatirannya.

“Al, gimana kalau usaha ini tutup?”

“Huss, mbak, nggak boleh ngomong gitu. Setiap ucapan adalah doa, aku percaya semua akan kembali normal,” ucapnya sambil meneguhkan hati Fani.

“Kenyataannya Al, semua berubah drastis, apalagi kasus covid-19 ini makin meningkat, nggak tahu sampai kapan,” ujar Fani putus asa.

“Hmm, mbak, sepertinya kita harus coba hal baru.”

“Gimana caranya?”

Hening menyelimuti keduanya. Pesanan memang sepi, namun ada beberapa potong baju yang harus dikerjakan hari ini. Bola mata Alsa menelisik setiap sudut ruangan sambil mencari solusi.

“Assalamu’alaikum,” tiba-tiba suara Mak Yana terdengar dari arah pintu.

“Wa’alaikumsalam, emaaakkk,” sambut Fani dan Alsa antusias.

Mak Yana dengan satu kresek oleh-oleh di tangannya langsung menghampiri mereka, “Kenapa, Fan?” Tanya Mak Yana kemudian duduk di sebelah.

“Ini Mak, kita lagi mikirin cara baru biar toko nggak sepi.”

“Pas banget ini, emak mau bilang sama kalian. Anak emak belakangan ini lagi bungkusin dagangannya, katanya lagi banyak pesanan dari luar kota. Kalau dipikir-pikir usaha kita ini juga bisa maju dengan cara itu.”

“Nah, jualan online, mbak.”

“Duh, iya sayang banget kalau kesempatan ini dilewatkan,” senyum semringah tergambar jelas di wajah Fani.

“Gimana mbak Fani?”

“Sebenarnya aku sudah coba jualan online sejak awal pandemi tahun lalu, tapi nggak seperti yang diharapkan. Nggak ada yang ngurusin buat upload tiap hari, aku kemarin malah sibuk urusin toko.”

Alsa semakin mendekatkan posisi duduknya di samping Fani, “Mbak, aku bisa jadi admin kok, nanti urusan jual online biar aku yang urus,” mata Alsa berbinar-binar.

“Sip, nanti biar aku sama mak Yana fokus bikin baju sama ngurus pesanan di sini,” tanpa sadar Fani merangkul dua orang di sampingnya.

“Sebentar, emak kepikiran satu hal. Selama ini, kan, kita produksi baju-baju muslim, terus ada juga yang minta jahitin kain batik tapi emak rasa modelnya gitu-gitu aja. Seandainya kita lebih fokus bikin baju batik dengan desain yang pas buat anak muda, pasti peminatnya bakal banyak, Fan.”

“Benar deh, nggak salah aku pilih Mak Yana buat kerja bareng di sini, dari tadi idenya cemerlang,” mendengar ucapan Fani, Mak Yana tersipu malu, “Itu bisa banget, Mak, anak muda sekarang juga malas pakai batik katanya kelihatan tua nggak modis. Nah, sekarang saatnya kita buat hal baru yang bikin anak muda bangga pakai batik, nggak malu lagi karena model dan motifnya.”

“Mbak Fani kenal Fathan, kan, teman SMA ku yang asli Pekalongan itu?”

“Kenal, Al, kenapa?”

“Ternyata, bapaknya pengusaha kain batik yang cukup besar disana, kita bisa coba kerjasama sama mereka. Nanti aku hubungi Fathan, deh. Kita belum mulai aja aku udah semangat gini.”

“Kamu semangat karena bisa jadiin alasan buat dekat sama Fathan,” Fani tertawa melihat wajah Alsa yang mendadak memerah karena niat terselubungnya diketahui.

“Ih mbak Fani, kalau bisa ya kenapa nggak, sih, mbak?” kini Alsa membalasnya dengan gelak tawa juga, “tanpa sadar kita juga nunjukin bentuk cinta tanah air dengan menggunakan produk sendiri, ya bersyukur cinta Fathan juga.”

“Hei, selain cinta tanah air, kita juga perlu cinta diri sendiri. Ayo makan dulu, aduh ini Emak udah lapar banget, keburu dingin nasinya,” ujar Mak Yana kemudian mengeluarkan nasi bungkus dari kresek yang sejak tadi tergeletak di atas meja, lalu membagikan pada Fani dan Alsa.

Meski baru rencana, namun harapan baik sudah tergambar dalam benak Fani yang sempat merasa putus asa. Ia merasa sangat bersyukur dipertemukan dengan perempuan-perempuan kuat di sampingnya, yang tak meninggalkan ketika jatuh namun tetap ada ketika merasa butuh. Berkat energi positif dan dukungan yang kuat membuat toko konveksi Fania terasa hidup kembali.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro