Bulan Bercerita (Rumah)

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

RUMAH

“Fungsi pohon untuk planet ini berkisar dari penyimpanan karbon dan konservasi tanah hingga regulasi siklus air. Mereka menyokong sistem makanan alam dan manusia serta menyediakan rumah bagi spesies yang tak terhitung jumlahnya. Termasuk kita, melalui bahan bangunan. Namun, kenapa manusia serakah sering memperlakukan pohon sebagai sesuatu yang dapat dibuang, Za?”

Teman perjuanganku mengangguk, menyetujui semua perkataanku. “Tanpa mereka, kita kehilangan fungsi yang luar biasa dan penting untuk kehidupan di bumi.”

Sebagai seseorang yang mendedikasikan hidup untuk penelitian, eksplorasi, dan pendidikan tentang pohon, aku berteriak nestapa atas kehilangan banyak pohon. Penebangan dan pembakaran hutan juga meningkat, terutama di Indonesia dan Madagaskar. Tanah airku….

Aku tidak bisa membayangkan kehidupan manusia tanpa pohon. Sungguh mengerikan. Jika kita menyingkirkan semua pohon, kita akan hidup di sebuah planet yang mungkin sebenarnya tidak bisa menopang kita.

Temanku mengambil posisi duduk bersila atas batu yang dikelilingi rumput panjang. Kami berdua melihat ke sekeliling, di tempat ini sangat menyeramkan. Di mana lahan yang begitu luas hanya dipenuhi rumput liar tanpa sebatang pohon. Di bawah terik matahari, aku merasa kehilangan sesuatu yang besar, seperti sebuah nyawa.

“Eza…,” panggilku seraya mengulurkan tangan, meminta bantuannya supaya aku bisa naik ke batu besar yang sama dengannya. Aku berdiri di atas sana, melihat hamparan rumput liar yang begitu tinggi. Tanganku terlentang, menikmati embusan angin yang menenangkan. “Aku janji akan menunjukkan eksotis indahnya rupa Indonesia, Za. Dengan atau tanpa bantuan orang lain.”

Eza menatapku dengan pandangan kagum, bahagia, terharu, entahlah… terlalu sulit untuk mengartikan tatapan itu. Dia ikut berdiri, membuka ranselnya, mengambil bendera merah putih yang kemudian diselimutkannya ke tubuhku.

Aku tersenyum, memamerkan lesung pipit di sebelah kiri.

“Ya, itu harus, Ca. Aku akan bantu kamu dari jauh,” ujarnya seraya mengacak-acak rambutku.

Jauh. Kata itu sebagai perwakilan jika perjuangan aku kali ini benar-benar sendiri. Eza punya mimpi, aku tidak bisa melarangnya meski aku ingin. “Kamu jadi kuliah di Jerman?”

“Ya.”

Ada sesuatu yang membuat aku tidak rela melepaskan Eza hingga raut wajahku menunjukkan ketidaksukaan. Eza pasti bisa menangkap keanehan dari ekspresi aku. Dia merengkuh bahuku, berusaha menenangkan. Iya, hanya sebatas menenangkan tanpa mengubah keputusannya.

“Aku ke sana untuk kamu, untuk Indonesia, dan untuk bumi kita,” katanya dengan nada penuh ketulusan. Dia mengajak aku untuk duduk saling membelakangi. Aku tidak tahu apa isi pikirannya, aku hanya tahu Eza ingin kuliah di luar negeri sejak SMP, sejak pertama kali aku mengajaknya bereskplorasi ke hutan. “Ca, aku ke sana membawa alasan. Kita secinta itu dengan alam. Aku ingin mengembalikan keindahan bumi ini, Ca, seperti yang kita impikan.”

“Iya. Aku paham. Aku tidak akan melarang, tetapi aku butuh waktu untuk menerima keputusan kamu.”

“Dulu kamu pernah bilang seperti ini, ‘silakan pergi ke mana pun, jelajahi dunia ini, pelajari ilmu sebanyak-banyaknya. Namun, suatu hari nanti kamu harus pulang ke kampung, gunakan ilmu yang kamu dapat untuk memperbaiki negeri ini’. Aku dapat motivasi dari apa yang kamu ucapkan. Aku harus menciptakan sesuatu supaya pohon yang kita tanam tumbuh dalam waktu singkat. Percaya sama aku, Ca. Suatu hari nanti, aku akan persembahkan sesuatu itu untuk kamu dan untuk negeri kita. Aku harus buktikan cinta aku.”

Setahu aku, selama kami berteman kurang lebih sepuluh tahun, Eza bukan tipe seorang pembohong. Ucapannya sesuai bukti nyata yang tidak bisa disangkal.

“Kamu harus baik-baik selama aku pergi, Ca. Tetap cintai negeri ini karena cinta kamu itu pembangkit cintanya aku. Tetaplah berjuang seperti kemarin kita berjuang sama-sama.”

“Aku akan selalu tunggu kamu, menunggu kamu membuktikan itu semua.”

*

Ya… dari semua anaknya ayah, aku adalah anak yang paling sering menentang. Ayah dan dua saudaraku lulusan teknik robotika, kuliahnya selalu mengambil di luar negeri. Berbeda dengan aku, si bungsunya ayah ini tidak suka dengan dunia teknik, robotika, kecerdasan buatan, atau apalah. Aku nekat mengambil jurusan pemuliaan tanaman karena aku begitu mencintai alam.
Keluargaku sempat menentang keputusan itu. Imbasnya, aku menjadi takut untuk meminta sesuatu kepada keluargaku sendiri. Sejak lulus SMA, aku tidak pernah meminta yang aneh-aneh, hidupku mandiri dan suka menjelajah alam.

Komunikasi yang kurang membuat kami seakan asing meski hidup di bawah atap yang sama. Namun, kali ini, aku harus memberanikan diri. Untuk kelangsungan hidupku dan anak cucuku di masa depan.

“Ayah, boleh aku bicara?” tanyaku takut-takut seusai makan malam.
Aku menjadi pusat mata. Kenapa? Apa aku salah bicara?

“Apa?”

Alhamdulillah, ayah merespon aku. “Di ruangan ayah, ya?” Maaf, Ayah, aku banyak minta.

“Ayo,” ajak ayah seraya bangkit dari duduknya.

Aku menghela napas lega. Permulaan yang berhasil.

Kami berhadapan di ruang kerja ayah. Rasanya canggung, ayah seperti orang asing yang tidak aku kenal. Ternyata aku sejauh itu dengan ayah sendiri.

“Ada apa?” Suara ayah memecahkan lamunanku.

Jantungku mulai tidak normal, otakku juga seakan kosong. Reaksi tubuhku seolah memberitahu jika hubungan kami hanya sebatas anak-ayah yang asing. “Apa aku masih anak ayah?” Astagfirullah, Ca. Bicara apa kamu? Reaksi ayah langsung shock, aku sih, kenapa bertanya seperti itu. “Enggak, Yah. Maksud aku—”

“Tidak ada yang bisa memutuskan aliran darah ayah di tubuh kamu, Ca. Apa pembuktian itu masih kurang?”
Aduh. Aku yang salah bertanya seperti itu, Yah, maaf. Aku refleks karena gugup saja.

“Ada apa, Ca?” Tangan ayah menyentuh tanganku dengan lembut. Ini pertama kalinya setelah sekian tahun hubungan ayah dan aku seperti orang tidak dikenal.

“Apa ayah masih marah sama aku? Ini sudah empat tahun. Apa aku salah memilih apa yang aku inginkan?”

“Ayah yang salah.” Aku tertegun mendengar pengakuannya. Jadi, selama ini siapa yang salah? “Harusnya ayah tahu sejak dulu jika kamu sudah bersahabat dengan alam sedari kecil. Persahabatan kalian luar biasa, tidak semua orang punya rasa cinta sebesar kamu mencintai alam sekitar.”

Ayah… aku terharu. Baru saja aku sedih karena Eza pergi ke Jerman, tetapi aku langsung bahagia karena ayah berkata demikian. Ucapan ayah adalah apresiasi terbesarku saat ini. Banyak orang yang sering merendahkan aku dan Eza karena mengambil jurusan yang minim peminat. Setelah lulus pun, aku tidak bekerja. Mereka di luar sana sudah pasti berpersepsi negatif. Silakan saja berbicara apa pun. Aku tidak peduli. Alasanku kuliah bukan untuk uang. Ijazahku terlalu mahal untuk hal kecil seperti itu.

“Jika aku meminta bantuan ayah, apa ayah bersedia membantu?”

“Jika ayah bisa bantu, kenapa tidak?”
Aku terharu lagi mendengar ucapan ayah. “Aku ingin membeli tanah. Namun, tabungan aku tidak cukup.”

“Tujuannya?”

“Tanah itu tidak ditanami apa-apa. Aku ingin membelinya karena aku ingin menanam pohon di sana. Kasihan, Ayah. Pemukiman warga di sekitar sana selalu kekeringan ketika musim kemarau. Ketika aku dan Eza sampai di pemukiman mereka, udaranya juga panas.”

Satu hal yang membuatku bingung, ekspresi ayah. Datar dan diam seribu bahasa. Aku harus bersiap dengan kemungkinan terburuk. Ayah tidak bisa bantu aku.

“Aku punya 50 juta. Sisanya… aku butuh bantuan ayah.” Tanganku memegang tangan ayah untuk memohon. Jika memang ayah tidak mau membantu, aku harus siap banting tulang mencari uang untuk membeli tanah itu. Bagi aku tidak ada masalah, tetapi waktunya akan sangat lama.

“Kamu melakukan ini untuk siapa?”
Mataku sudah mulai berair. Sepertinya ayah memang tidak akan membantu.

“Dainaca Nadhifa, kamu melakukannya untuk siapa?” Ayah mengulang pertanyaan yang sama.

“Untuk mereka, Yah. Untuk Indonesia, dan untuk sepersekian titik tempat di medan kosmik.”

“Ca….” Ayah menghela napas, matanya menyorotkan rasa haru. Air mata ayah menetes dengan sendiri dalam sekali kedip. “Terima kasih. Terima kasih sudah punya hati semulia itu. Kamu sudah buat ayah bangga dengan cara kamu sendiri tanpa mengikuti kemauan ayah. Ayah akan selalu dukung kamu mulai dari sekarang sampai selamanya.”

*

Apakah aku harus menyusul Eza ke Jerman?

Namun, aku tidak bisa meninggalkan Indonesia.

“Kenapa, Dek?”

Aku menoleh dengan tatapan lesu. Semakin hari semakin jarang ada notifikasi dari Eza. Ke mana sih anak itu? “Aku ingin melanjutkan study, Kak. Mau bantu Eza menemukan hal untuk mempercepat pohon tumbuh dalam waktu singkat.”

“Waw. Bagus tuh! Lanjutkan, Dek! Ayo kejar tittle prof. di depan nama. Lomba sama kakak, mau nggak?” tawarnya gila.

Kakak tertuaku mudah sekali mengucapkan hal seperti itu. Mungkin karena dia lulusan univeritas bergengsi di luar negeri. Baginya, meninggalkan negeri sendiri bukan masalah besar. Berbeda dengan aku yang tidak minat meninggalkan Indonesia. Jika aku pergi, siapa yang menanam pohon setiap hari?

“Kakak, ih! Aku nggak haus dengan gelar dan pangkat!” Aku beranjak dari tempat duduk menuju kulkas, mengambil minuman kaleng sebagai teman untuk diajak galau. “Nggak mudah bagi aku, Kak.” Suaraku tiba-tiba merendah.

“Buat mudah aja. Lagian kamu mau ngapain lagi di Indonesia? Kamu udah investasi pohon di tanah berukuran delapan hektar. Kurang apalagi pengorbanan kamu? Lebih baik lanjut study, daripada di rendahin orang-orang karena pendidikan kamu rendah.”

Ini bukan soal pendidikan rendah, tetapi tentang manfaat.Untuk apa berpangkat tinggi jika kita tidak bermanfaat bagi sekitar? Susah jika bicara pendidikan dengan orang haus gelar seperti ayah dan kedua kakakku. Uang dan pernghormatan adalah targetnya. “Aku nggak peduli direndahkan sedemikian rupa. Yang aku perjuangkan bukan kedudukan dan pujaan, tetapi kemanfaatan, Kak. Manusia butuh alam dan alam butuh manusia sadar!”

Tuhan, kenapa seberat ini memperjuangkan kelangsungan hidup? Bukan hanya orang lain yang aku lawan, tetapi saudara sendiri.

“Ayah, tolong didik Kak Vidi supaya nggak haus pendidikan! Tolong juga beritahu Kak Vidi, kalau dia tidak bisa hidup tanpa oksigen!” teriak aku seraya berjalan dari dapur menuju ruang keluarga.

“Dek!” bantah Kak Vidi, tetapi aku tidak peduli.

*

“Selain memediasi siklus air, pohon memiliki efek pendingin lokal. Mereka memberikan naungan yang mempertahankan suhu tanah sebagai hal yang paling gelap di lanskap, mereka menyerap panas daripada memantulkannya. Dalam proses evapotranspirasi, mereka juga menyalurkan energi dari radiasi matahari yang mengubah air menjadi uap. Dengan hilangnya semua layanan pendingin itu, sebagian besar tempat di mana pohon-pohon yang sebelumnya berdiri akan segera menjadi hangat.”

Aku mengedukasi mereka supaya sadar betapa kita sangat membutuhkan pohon. Tidak ada sepeser uang yang aku dapatkan dari kegiatan seperti ini. Justru aku yang mengeluarkan uang untuk membeli bibit pohon dan diberikan kepada warga.

Jika ditanya apakah aku menyesal?
Sama sekali tidak. Aku melakukan ini atas dorongan ketulusan hati tanpa mengharapkan imbalan materi.
Jika ditanya apa alasan aku berkorban sebesar ini?
Seseorang akan buta jika sudah cinta, bukan? Jika budak cintanya anak muda sekarang  adalah lawan jenisnya, aku adalah budak cintanya alam dan negeri ini. Keren, bukan? Iya, aku melakukan ini karena cinta. Cinta yang tulus akan melahirkan kebaikan begitu saja.

Keluargaku sudah mendukung penuh asal aku tetap punya penghasilan. Aku tidak pernah berniat untuk mengeksplor kegiatan aku untuk uang, tetapi Tuhan memberikan bonus dari kegiatan aku berupa uang. Dari awal, niat aku membuat vlog dan menulis di blog untuk mengajak manusia melakukan kebaikan, tidak lebih dari itu. Namun, Tuhan begitu baik. Siapa sangka jika konten aku yang tidak mengikuti arus malah mendapat respect banyak orang.
Enam tahun berlalu begitu saja. Gerakan aku tetap sama; membina manusia untuk menjadi manusia bermanfaat. Di sisi lain, aku menunggu Eza kembali dan membawa perubahan.

Mungkin dia terlalu sibuk, sudah nyaris empat tahun tidak ada kabar.
Za, kamu tidak mungkin ingkar janji, bukan?

Ah, fokus, Ca! Kamu harus segera menyelesaikan kegiatan ini supaya besok bisa pulang ke Jakarta.

“Ya, ketersediaan nutrisi bagi tanaman sangat penting untuk proses pertumbuhan. Dengan adanya unsur K yang tinggi, maka air kelapa dapat merangsang pertumbuhan dengan cepat,” jawab aku seraya memberikan bibit pohon mangrove kepada pria paruh baya itu.

Za, apa kamu sudah menemukan yang kamu cari di sana? Aku mengharapkan bibit-bibit pohon ini tumbuh besar dalam waktu satu atau dua tahun.

Ya Tuhan, kenapa aku teringat Eza terus?

*

Kejutan.

Tidak.

Ini mimpi.

Namun, itu benar Eza!

Tuhan… aku rindu sampai air mata menetes karena bertemu dengannya.

“Sesuai janji, aku kembali ke kampung halaman dan akan mempersembahkan sesuatu untuk kamu,” katanya seraya menunjukkan cairan di dalam tube. Apa itu?

“Za….”

“Aku berhasil, Ca!” ungkapnya girang. “Aku mati-matian menemukan cairan ini, belajar siang-malam, terus-terusan meneliti, sampai otakku mendidih banget. Capek.”

Aku tertawa mendengar curhatannya. Segila itu perjuangannya untuk menciptakan cairan yang diimpikannya.

“Kamu tahu sendiri kan? Aku bukan orang yang suka baca. Pas di Jerman, semuanya berbalik. Ke mana-mana bawa buku, sampai makan dan tidur pun ditemani buku. Serius, deh,” lanjut Eza bercerita. Aku mendengarnya sambil tersenyum getir, terharu sama perjuangannya. “Sampai akhirnya aku mendapatkan apa yang aku mau, aku pulang ke Indonesia, mendengar berita kalau kamu udah terkenal, sekarang jadi aktivis, teman aku keren gila! Ternyata selama aku berjuang, kamu enak-enakan. Nggak adil, Ca.”

“Enggak, Eza,” bantah aku.

“Aku suka semangat juang kamu dalam menyadarkan masyarakat, Ca. Kreatif banget. Terpikir nggak sih, kita seakan kolaborasi tanpa direncanakan. Kamu di sini menyadarkan masyarakat betapa pentingnya pohon untuk kehidupan. Aku di sana berjuang mati-matian supaya pohon bisa tumbuh dalam waktu cepat.”

Senyumku tiba-tiba berkembang. Eza benar, kita kolaborasi tanpa direncanakan. “Alam adalah sahabat kita, Za. Aku tidak mau kita kehilangan mereka karena keserakahan manusia.”

“Persembahan cinta ini sederhana, dari orang biasa. Semua ini untuk Indonesia, Ca, rumah kebanggaan kita semua.”

*

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro