22

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Bagaimana hasilnya?" tanya Horace begitu melihat Selena keluar dari tenda utama.

"Buruk," jawab Selena sambil berusaha menahan emosinya yang nyaris meledak. "Jendral tidak mau mendengarkan kata-kataku."

"Aku tidak bisa menyalahkannya. Ia kehilangan anak satu-satunya," timpal Horace." Apa kau sudah menceritakan tentang kepingan jiwa Morgrath?"

Selena menggeleng. Cerita tentang jiwa Morgrath hampir saja ia katakan dan itu bisa jadi satu – satunya yang akan meyakinkan Jendral Aiber. Tapi pandangan penyihir agung membuat kata-katanya terhenti di tenggorokan. Mata pria itu begitu dalam menatapnya, seolah ingin mengorek pikirannya sampai habis, haus akan sesuatu hal, tapi Selena tidak tahu apa itu.

"Apa rencanamu sekarang?"

Dengan lesu, Selena mengangkat bahu sambil berjalan menuju tendanya."Aku mau tidur dulu, semoga nanti sore aku bisa dapat ide lebih baik."

Selena langsung merebahkan tubuh begitu masuk ke tenda, pikirannya langsung melayang menuju desa para Orc, sedang apa Garzo sekarang? Apakah ia jadi memarahi adiknyanya karena meminta Selena untuk mengampuni nyawanya? Delzar, si Shaman tua itu pasti sibuk di kuil, lalu Krall, Kalia, dan juga anak mereka. Sedang apa mereka sekarang?

Ia beralih kepada bayangan yang lebih mengerikan, Selena memang tak tahu seperti apa sihir ultima, tapi ia bisa membayangkan akibat yang akan ditimbulkannya. Kuil megah dan aula dewan para Orc akan hancur, rumah - rumah berbentuk tempurung mereka rata dengan tanah, mayat para orc, dewasa dan anak – anak tersebar di seluruh desa. Mereka tewas dengan wajah ketakutan.

Memikirkan itu semua membuat dada Selena terasa perih.

Selena menyesali sikap pengecutnya yang langsung tunduk begitu saja di bawah tatapan Jendral Aiber dan Gladius, andai saja mau memaksa sedikit, ia pasti bisa menceritakan semuanya tentang serpihan jiwa Morgrath kepada mereka. Ia gagal dalam tugasnya.

Ia mengatur napas untuk menenangkan diri dan memutar otak. Kalau sudah begini, tidak ada cara lain lagi, setidaknya ia harus memberi peringatan kepada Krall tentang apa yang akan terjadi agar kepala suku Orc itu bisa memutuskan yang terbaik, tapi untuk itu ia harus mengetahui beberapa hal terlebih dulu.

Selena keluar dari tenda dan ia mengamati keadaan. Para anggota Zealot semakin banyak yang berkeliaran, pasukan Zealot topeng hitam tidak berbaur dengan yang lain tetapi berkumpul dengan sesamanya dan memandangi para prajurit biasa dengan campuran sinis dan jijik. Sementara Zealot perak terpencar dan sesekali melatih sihirnya dengan percikan kilat atau api yang muncul di jari mereka.

Dengan perasaan harap bercampur cemas, Selena berjalan ke tenda milik Glaive. Semula ia sangka tenda itu dijaga oleh Zealot seperti kemarin malam, tapi ia menjadi lega karena tidak ada para pria bertopeng itu di sana. Sebagai gantinya, Carmelo berdiri dengan sikap tegak yang terlalu dibuat – buat.

"Carmelo. Sedang apa kau di sini?"

"Nona Selena." Carmelo membalasnya dengan senyum lebar. "Mulai beberapa hari ke depan, aku bertugas menjaga kemah penyihir tinggi."

Carmelo terlihat sangat gembira, membuat Selena ikut tersenyum juga. "Senang mendengar kau dapat kehormatan seperti itu," katanya. "Lalu kenapa bukan para Zealot yang menjaga tenda ini?"

"Mereka diperintahkan beristirahat oleh penyihir agung karena harus menjaga tenaga mereka " kata Carmelo sambil menatap salah satu Zealot bertopeng hitam yang sedang duduk dan mengobrol dengan pandangan berharap. "Seandainya aku bisa bergabung dengan mereka."

Selena meringis. Bayangan pria di depannya memakai topeng hitam dengan tampang masam jelas tidak akan pernah cocok. Tapi ia berusaha kembali ke masalahnya semula. "Memangnya kapan mereka akan mulai berperang?"

Carmelo mengangkat bahunya. "Aku kurang tahu pasti, tapi menurut kabar yang beredar, mungkin besok atau lusa kita akan kembali berperang."

Hati Selena mencelus mendengarnya, itu artinya ia tidak punya banyak waktu lagi. Selena mengamati tenda itu, nampaknya Glaive tidak ada di dalam. "Boleh aku masuk sebentar?" pinta Selena." Cincinku tertinggal di tenda penyihir Glaive semalam."

"Eh, tapi -"

"Tolonglah," kata Selena dengan suara memohon. "Itu cincin peninggalan mendiang ayahku, dan selalu membawa keberuntungan untukku. Sebentar saja, setelah aku mendapatkan cincin itu, aku akan keluar."

Tampang Carmelo yang awalnya nampak ingin bersikap tegas menjadi lunak, bola matanya yang berwarna kelabu bergerak-gerak untuk menimbang permintaan Selena.

"Seharusnya tidak ada yang boleh masuk kemah tanpa seizin penyihir tinggi," kata Carmelo. "Tapi-"

"Aku janji hanya sebentar."

Selena memasang muka memohon dan sesedih yang ia bisa, walaupun ia malu sekali dan berharap Horace ataupun yang lain tidak melihatnya. Atau masalah akan bertambah rumit.

"Baiklah, baiklah," kata Carmelo mnyerah akhirnya. "Tapi hanya sebentar."

"Terima kasih Carmelo," kata Selena gembira sambil mengecup kening pemuda itu, menjadikan wajahnya semerah buah ceri. "Aku tidak akan melupakan ini."

Tanpa menunggu lagi Selena langsung masuk ke dalam tenda, tapi tentu saja bukan cincin yang ia cari karena Selena memang tidak pernah meninggalkan benda miliknya di sana, ia malah menuju tumpukan buku di sudut tenda, memilih buku tentang sihir-sihir perusak dan membacanya secepat yang ia bisa.

Matanya terus menelusuri halaman demi halaman dari buku yang ia baca. Setiap menemui sederet kalimat tentang Ultima hatinya melonjak girang, tapi semangatnya langsung padam begitu mengetahui semua catatan itu hanya sekilas saja.

Ultima adalah sihir pemusnah yang sanggup menghancurkan iblis,penggunanya akan memanggil kekuatan sangat besar dari bintang – bintang untuk menghancurkan sasaran yang sangat luas, butuh konsentrasi dan penggunaan prana tingkat tinggi untuk melakukannya, dalam sejarah sihir Miderland sejauh ini yang pernah menggunakan sihir ini adalah penciptanya sendiri, yaitu penyihir agung Gladius.

Selena mengerang frustasi di sela – sela bacaannya, hanya catatan semacam itu yang ia temukan di hampir seluruh buku sihir yang selesai ia baca, Itu semua hanyalah pengetahuan dasar yang sudah dipelajarinya di akademi militer.

Mendadak, Selena merasa tangan seseorang diletaklan di atas bahunya dan membuatnya terkejut sekaligus membeku, segaris keringat dingin melintas dan ia memberanikan diri untuk menoleh. Bulu tengkuknya berdiri begitu melihat Glaive berdiri di belakang dengan alis terangkat, ia didampingi Carmelo dengan wajah yang sama pucatnya.

"Pengawal yang baik ini memberitahuku kau kehilangan cincinmu di sini, Selena." kata Glaive dengan nada datar. "Tapi aku tidak pernah ingat memakai cincinmu untuk pembatas halaman buku sihirku "

"Aku-"

Glaive menghiraukan Selena. ia memberi tanda agar Carmelo keluar ruangan dan pemuda itu mematuhinya dengan wajah lega. Setelah hanya tinggal mereka berdua di dalam tenda, Glaive mengambil buku di tangan Selena, lalui ia ikut duduk di sampingnya.

"Kau beruntung buku yang kubawa ke sini tidak diberi mantra pelindung. Atau tanganmu mungkin sudah hangus waktu memegangnya," kata Glaive sambil membuka lembaran buku yang ia pegang dengan cepat. "Jadi, apa yang kau cari?"

"Aku mau tahu lebih banyak tentang Ultima." Jawab Selena.

"Kenapa?"

Selena terdiam sesaat, kepalanya berusaha mencari-cari alasan yang paling tepat, tapi tidak ada yang bisa ia utarakan. Sampai akhirnya ia mengakui. "Aku ingin menyelamatkan para orc itu."

Sesuai dugaan Selena, wajah Glaive berubah keruh, Ia tidak bisa menyalahkannya. Para penyihir adalah kaum yang punya kesetiaan tertinggi setelah para Zealot, hal – hal yang melanggar keyakinan mereka pasti tidak akan diterima dengan mudah.

"Apa yang kau bilang tadi?" Tanya Glaive tidak percaya.

"Kubilang aku ingin menyelamatkan para orc itu." Selena mengulangi perkataannya, dam menambahkan. "Aku sudah cerita padamu tentang kepingan hati Morgrath kan? Dan aku telah merasakan kekuatan itu sendiri. Jika benda itu sampai terlepas, atau siapapun mengambilnya, aku tidak bisa membayangkan akibatnya."

Glaive terlihat bimbang, ia mengetukkan jarinya di buku sihir yang dipegangnya. "Aku ingin percaya bahwa rencana penyihir agung adalah yang terbaik," katanya. "Tapi-" Mata hijaunya menatap Selena lekat-lekat. "Apa kau tidak takut Selena?"

"Apa yang harus kutakuti?" Selena balik bertanya.

"Masa depanmu," kata Glaive. "Kalau yang lain sampai tahu kau membantu para Orc, kau akan jadi pengkhianat, gelar ksatriamu dicabut dan kemungkinan besar kau akan diasingkan sebagai kaum sesat yang sama seperti Elf dan para kurcaci. Lalu kalau mati kau akan-"

"Akan masuk Shamvalla? Penjara tanpa akhir tempat dimana jiwa – jiwa terbuang disiksa selamanya?" potong Selena, dan Glaive mengangguk. "Glaive, aku sudah merasakan semua itu. Atau setidaknya, yah melihat seperti apa itu Shamvalla," katanya."Tapi, apa kau berpikir akan lebih baik aku masuk ke Valadrin tapi masih menyesali hal yang seharusnya bisa aku lakukan? Katakan padaku Glaive, apa Kalios sekejam itu sampai kita harus untuk membantai kaum lain yang berbeda dengan kita hanya untuk masuk surga milik-Nya?"

Butuh waktu beberapa detik bagi Selana sendiri untuk menyadari kata – kata itu memang meluncur keluar dari mulutnya. Ia menahan napas, berharap penyihir tinggi Glaive tidak tersinggung dan merasa bahwa ia sedang diceramahi oleh bocah perempuan yang hanya berusia delapan belas tahun.

Tetapi Glaive malah tergelak, sampai Selena melongo memandang penyihir itu. "Aku, penyihir yang mempelajari filsafat kebijaksanaan Kalios bertahun – tahun diberi ceramah oleh gadis sepertimu? Apa yang akan dikatakan teman-teman penyihirku nanti?"

Selena meneguk ludah, sebenarnya apa yang dipikirkan penyihir di depannya ini?

"Jadi apa yang ingin kau tanyakan lagi tentang Ultima?" kata Glaive pada akhirnya setelah ia bisa mengendalikan dirinya.

"Aku, em-" kata Selena, sekejap ia bisa merasakan rasa gembira yang memenuhi dadanya. "Aku mau tahu apa ada cara untuk mencegah sihir Ultima itu keluar?"

"Tidak ada yang lain lagi?" tanya Glaive tersenyum.

"Itu saja, jawablah dulu."

Glaive memandangi langit-langit tenda seolah-olah jawaban yang Selena butuhkan tertulis di sana, sebelum ia menjawab. "Tidak ada yang bisa menghentikan atau menahan ultima saat sihir itu sudah dilepaskan," katanya. "Kalaupun ada kekurangannya, itu adalah semakin jauh jarak sasaran dan semakin rendah tingkat prana si penyihir, sihir itu akan butuh waktu lama untuk dikeluarkan. Dan selama ia mengarahkan prananya untuk memanggil kekuatan bintang, penyihir itu tidak akan bisa bergerak sama sekali."

Selena mencoba memahami kata–kata Glaive dengan otak kecilnya, ia berusaha merangkai apa yang ia bisa tangkap dari penjelasan penyihir itu, ia membayangkan bagaimana sihir ultima itu terjadi. Mungkin seperti memanggil sebuah petir yang punya kekuatan ratusan kali lipat, langsung menyambar dan menghancurkan semuanya menjadi debu.

"Lalu, bagaimana cara penyihir agung mendapat kekuatan untuk memakai sihir itu?"

Glaive mengangkat bahunya, seolah ia hampir menjawab tidak tahu, tapi sesaat wajahnya berubah menjadi keruh. "Ada satu bisa yang kupikirkan, tapi rasanya itu mustahil."

"Apa itu?"

Penyihir itu menggeleng. "Itu cara yang terlalu kejam, dan melanggar kehormatan bagi para penyihir, aku tidak akan percaya kalau penyihir agung akan melakukannya. " Ia lalu berkata. "Mungkin ia punya ramuan rahasia untuk meningkatkan prananya."

Penjelasan yang diberikan Glaive sebenarnya sudah cukup bagi Selena, namun masih ada yang mengganjal pikirannya. "Glaive, kenapa kau mau membantuku? Kau tahu aku akan memberi kabar ini kepada para orc."

"Aku hanya ingin mengetahui kebenaran, itu saja." kata Glaive. "Penyihir ini selalu merasa bodoh dan akan menerima kesempatan sekecil apapun untuk mendapatkan pengetahuan yang bisa memenuhi rasa hausnya. Terutama aku tertarik tentang para orc itu. Tapi ingat satu hal ini Selena-" ia memberi peringatan. "Kalau sampai kau berbohong kepadaku, dan para orc itu memang iblis seperti yang selalu diajarkan, aku sendiri yang akan mengirim jiwamu ke Shamvalla."


=========
Bab 22

Akhirnya bab ini rilis juga, jujur saya sebenarnya tegang mendekati bab-bab yang semakin menipis ini, karena adegan pertarungan bagian terakhir masih sulit sekali ditulis haha doakan saja semoga bisa selesai tepat waktu 

Apalagi ditambah kondisi AC kamar saya yang mulai aneh - aneh *sigh*, padahal baru diganti dua tahun. Doakan saja semuanya berjalan normal

Seperti biasa mohon krisar dan votenya jika berkenan ya 

m(_ _)m 

=========
Bab Selanjutnya

    Tepat ketika Glaive selesai berbicara, terdengar geraman tidak jauh dari tempatSelena berdiri, sesosok binatang besar muncul menghampiri mereka dengan pelandan kedua matanya yang besar menarap dengan waspada, sementara percikan api ditangan Glaive semakin membesar hingga membentuk bola api sebesar kepalan orang dewasa.     

=========

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro