Luka di Penghujung Cerita

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Written by Ninahdyni

Sudah dua hari lamanya, Andra memikirkan jalan cerita yang akan ia buat nantinya. Pasalnya, ia tidak bisa membuat cerita yang berhubungan dengan kehidupan nyata jika dirinya sendiri belum pernah mengalaminya. Apalagi permasalahan tentang percintaan, mendengar kata Cinta terlontar pun ia langsung bergidik ngeri, dan rasanya ingin berlari sejauh mungkin agar tidak berurusan dengan yang namanya Cinta.

Menurutnya Cinta itu rumit. Lebih rumit daripada rumus fisika, kimia, ataupun matematika.

Sialnya, ia malah mendapatkan sebuah tawaran serupa tantangan dari salah satu penerbit besar yang tak mungkin ia tolak mentah-mentah. Dan tawaran itu mengharuskan dirinya untuk membuat sebuah novel bergenre Fiksi Remaja. Dan gilanya lagi, dia tidak pernah membuat genre sejenis itu, mentok-mentok hanya di fantasi saja, yang merupakan zona nyamannya. Bertolak belakang memang,  tapi Andra tidak pernah putus asa dalam urusan coba mencoba.

"Shit!"

Pria itu mengumpat kesal, entah sudah berapa kertas yang ia buang sembarangan ke lantai. Kamarnya berantakan, kebiasaan buruknya tertampakkan. Karena jika ia terlalu fokus terhadap apa yang ia kerjakan, dirinya akan melupakan lingkungan sekitar.

Ia meraih gawainya yang tergeletak di penjuru meja belajar. Dahinya mengernyit heran melihat sebuah pesan masuk yang nomornya sempat mengisi pula dihari-hari sebelumnya.

'Istirahat pertama, di taman sekolah. Gue tunggu disana yaaa.'

"Ini siapa sih sebenernya?" tanyanya seraya menaikan satu alisnya. Nomor yang sama, yang sempat menggila di kotak masuknya, bahkan sudah mencapai ratusan jumlahnya.

Pusing, ia memijat pelipisnya yang terus menerus berdenyut sedari tadi. Segera ia beranjak naik ke ranjangnya, dan mulai memejam mata untuk mengistirahatkan penatnya.

___

"Andra, gue kan udah bilang! Kita ketemuan di taman. Kenapa lo gak dateng sih?" rentetan kata dari seorang gadis menguar di udara, kakinya menghentak dengan kesal.

"Andra, lo dengerin gue gak sih? Andra!" Suara gadis itu meninggi membuat semua mata siswa-siswi yang sedang berada di koridor sekolah tertuju kepadanya. Andra tetap bergeming mengacuhkan gadis di sebelahnya yang sedari tadi mengoceh tidak jelas.

"Andra!"

"Andra! Budeg!"

Andra segera menghentikan langkahnya. Pandangannya lurus menuju netra gadis itu, diam menghunus. Namun, itu semua tak ayal membuat nyali gadis itu menciut, yang ada ia malah mendongakkan kepalanya, seperti menantang.

"Kenapa lo gak dateng ke tempat janjian kita?" tanya gadis itu seraya menyilangkan kedua tangannya di dada.

Andra menoleh sembarang arah, bola matanya memutar malas. Banyak tanya memenuhi kepalanya. Kenapa harus dirinya yang bertemu dengan gadis aneh ini? Ia lelah terus menerus dikejar oleh gadis aneh yang rasanya sudah cukup pantas mendapatkan predikat gila darinya.

"Mau lo apa?" tanya Andra malas.

"Lo jadi pacar gue!" katanya diiringi senyum manis yang menampakkan lesung pipitnya.

"Dih kenal aja kagak!"

"Ya udah tinggal kenalan." Eca merapihkan anak rambut yang menjuntai di hadapan. "Kenalin nama gue Nesya Maharani, panggilannya Eca, tapi kalo lo mau manggil sayang juga boleh kok. Dan gue jomlo yang menjabat sebagai calon pacar lo."

"Gila!"

"Isshh!" desis Eca, ia gemas dengan perlakuan Andra yang selalu saja bersikap dingin dan cuek kepadanya.

"Ya udah, sekarang lo jadi pacar gue!" tandas Eca.

Andra terdiam, tentu saja dia terkejut mendengar perkataan Eca yang memaksanya untuk jadi pacarnya. Baru kali ini ada gadis yang berani menyatakan cintanya secara langsung kepada Andra. Biasanya penggemarnya hanya memberikan dia coklat atau surat di kolong meja, itupun tanpa diketahui oleh dirinya.

Jika boleh jujur, sebenarnya ia sedang memikirkan pernyataan cinta gadis itu. Pemikiran liciknya merayu dan menyuruhnya untuk menghubungkan kejadian ini dengan penawaran penerbit yang di terimanya di suatu malam. Namun segera ia tepis. Karena menurutnya, untuk memutuskan butuh pertimbangan, tidak bisa dilakukan secara gamblang.

"Lo gila!" seru Andra lantas meninggalkan Eca. Segera ia berlalu dan memasang earphone yang semula hanya dibiarkan menjutai bebas.

"ANDRA! LO BELUM BILANG IYA!"

"ANDRA! AWAS YA!"

"POKOKNYA LO HARUS JADI PACAR GUE!ANDRAAAAA!" Eca pun turut berlalu mengejar pria yang di idam-idamkannya itu.

___

Pemikiran liciknya memaksa Andra untuk menerima cinta dari gadis yang selama ini mengincarnya dengan berani. Membuatnya mau tak mau harus berpacaran dengan Eca. Nasib sial rela diterima asalkan itu bisa membuatnya memikirkan projek penerbit yang akan ia garap nantinya. Walaupun di lubuk hatinya, ia tak ingin berpacaran dengan gadis aneh ini.

Mungkin bagi Eca, ia merasa bahagia atas apa yang diterima. Namun, lain hal dengan Andra. Ia malah tersiksa karenanya, setiap hari ia harus merelakan telinganya mendengarkan ocehan Eca yang tiada henti. Membuat kupingnya berdengung bak mendengar suara nyamuk yang selalu mengganggungnya dikala malam.

Seperti halnya sekarang, Andra terganggu dengan ocehan Eca yang menurutnya tidak jelas sekaligus tidak bermanfaat.

"Andra, lo itu manusia apa batu sih?"

"Daritadi gue ngomong gak di dengerin, apalagi disahutin. Lama-lama ngomong sama lo, bikin tue jadi gila tau gak?" cerca Eca kesal seraya mencebikkan bibirnya.

Andra mengabaikan gadis di sampingnya, perhatiannya lebih ditujukan kepada bakso yang ia makan.

"ANDRA! DENGERIN GUE!" teriak Eca membuat semua isi kantin menoleh ke arahnya.

"Ca, berisik." Andra menggeser mangkok baksonya yang sudah kosong ke penjuru meja dan beralih menyeruput jus jeruknya hingga tandas saking hausnya.

"Makanya, dengerin gue!" Eca mulai menenang.

"Gini ya, kemarin si Ajeng cerita sama gue. Katanya dia habis dibeliin boneka beruang sama pacarnya." Tatapan Eca menerawang.

"Dibeliinya lima boneka beruang, bayangin aja! Lima, Ndra. LIMA!" ujar Eca seraya menunjukan jarinya ke wajah Andra.

"Ya, terus?" tanya Andra malas.

"Gue kan mau kaya gitu juga." rengek Eca memelas. Melihat Andra yang tidak ada pergerakan, membuat Eca tak tahan untuk mengeluh lagi dan lagi. "Gak romantis! Gak peka!" tatapnya melirik Andra sekilas.

Dengan malas Andra menatap tajam gadis di depannya, Eca yang sadar sedang dipandang cepat-cepat mengalihkan tatapannya ke kaki yang sedang mengayun pelan.

"Jangan aneh-aneh. Gue gak suka," jawab Andra dingin.

"Ma-maaf. Tapi, kalau gue minta lo buat jadi suami, mau?" celetuk Eca yang malah membuat Andra semakin tak suka kepada gadis ini.

"Andra, lo beneran suka sama gue gak sih?" tanya Eca memastikan, pasalnya Andra menerimanya dengan sangat tiba-tiba, padahal jika dipikirkan, bukankah sedari awal Andra menolak kehadirannya? Apa yang mengubah keputusan Andra? Pertanyaan demi pertanyaan mulai menghantui kepalanya.

"Gue ragu sama jawaban lo kemarin. Gak jelas lagi. Apaan dah masa jawabnya cuma bilang 'ya udah', lo pikir kita itu se-ya udah- jawaban lo? Bukan bego!" Kekesalan Eca memuncak, membuatnya tak sengaja mengumpat.

"Andra! Gue tanya, lo beneran suka sama gue gak sih?" tanya Eca mengulang, karena tak kunjung mendapat jawaban.

"Ca, bisa diam gak?"

"Iya!" sarkas Eca memutar bola mata.

____

"Nih ...."

Eca terkejut bukan main, niatnya ingin membungkuk dan membenarkan tali sepatunya malah dikejutkan dengan kehadiran seorang pria yang tiba-tiba menjulang di hadapannya sambil menyodorkan sebotol air mineral.

Gadis itu menatap heran pria yang tak lain adalah pacarnya.

"Pegang dulu," pinta Eca seraya membenarkan tali sepatunya yang lepas.

"Ambil! Tangan gue pegel!" suruh Andra tidak ada lembut-lembutnya.

Eca mendesis kesal, ia mengambil air mineral dengan kasar.

"Makasih ya-"

Ucapannya terpotong, arah matanya turun mengikuti gerak tubuh Andra. Tiba-tiba saja Andra berjongkok dan melakukan hal yang tak terduga.

Andra membenarkan tali sepatu Eca.

Gadis itu meremas erat botol air mineral dalam genggamannya, tak tahan ia menggigit kuat bibir bawahnya menahan desiran aneh yang kembali menguar di dadanya. Eca merasakan kedua pipinya memanas. Mungkin bagi Andra hal seperti ini biasa saja, tapi berbeda dengan Eca yang tubuhnya merasakan efek luar biasa karenanya.

"Andra."

"Iya?" ucap Andra masih berkutat dengan tali sepatu kanan Eca.

"Anterin gue ke kelas," pinta Eca.

"Iya." jawab Andra singkat. Ia berdiri tegap, sudah selesai dengan tugasnya. Menatap langsung gadis di depannya.

"Lo udah makan?" tanya Eca kesal dengan Andra yang tak kunjung membuka pembicaraan.

"Udah." jawab Andra masih menatap wajah gadisnya.

Eca menghela nafas pelan, berusaha sabar menghadapi pria tidak peka sejenis Andra.

"Lo gak punya niat buat nanya balik gitu?"

"Eca udah makan?" tanya Andra datar.

Gadis itu mendesis kasar.

"Baru di suruh langsung nanya, inisiatif dikit dong!" omel Eca menanggapi sikap dingin Andra.

Andra tak menanggapi omelan Eca, ia malah menggenggam tangan Eca dan membawanya jalan bersama. Eca tak mengerti terhadap perlakuan Andra yang terkadang ambigu kepadanya. Namun, Eca memilih diam saja dan balas menggenggam, sesekali mereka mengayunkan tangannya, melangkah seperti anak kecil yang bergandengan dengan ayahnya.

"Mau gue beliin makanan Ca?" tawar Andra ketika langkahnya berhenti di ambang pintu kelas Eca.

Dengan cepat Eca menggangguk dan tersenyum ceria.

"Nasi goreng sama jus Alpukat," jawab Eca tak menghilangkan senyumannya.

Andra mengangguk singkat, tangannya mengusap pelan puncak kepala Eca, membuat Eca terpana. Ketika sudah puas, barulah Andra beranjak dan melangkahkan kaki menuju kantin. Tujuannya hanya satu, membuat Eca bahagia.

"Makasih Andra," ucap Eca pelan ketika Andra sudah tak ada di hadapannya.

Bagaimana bisa Eca tidak bahagia? Ketika pacarnya berhasil membuat Eca merasa menjadi wanita paling istimewa di hidupnya walau hanya dengan perhatian kecil seperti tadi. Karena terkadang kebahagiaan dimulai dari sesuatu yang kecil sebelum akhirnya membesar dan menghabiskan ruang letupan di dada yang membara.

___

Tiga bulan berlalu.

Tak terasa, Andra sudah cukup lama menjalin hubungan dengan Eca, sejauh ini semuanya berjalan lancar, walau terkadang ada beberapa hal kecil yang sering mereka perdebatkan. Tanpa Andra sadari, hatinya sudah mulai terbiasa diurus oleh gadis yang selalu menemani harinya. Meskipun tadinya hanya main-main saja, tapi sekarang semuanya berubah menjelma nyata.

"Andra," panggil Eca pelan.

"Apa Eca sayang?"

Gadis itu buru-buru membalikkan tubuhnya, agar Andra tidak bisa melihat wajahnya yang sudah merah padam karena merona.

Sedangkan, Andra tertawa geli melihat tingkah Eca sekaligus menertawakan dirinya sendiri, yang merupakan kali pertama bagi Andra berbicara layaknya tadi kepada wanita.

Terasa aneh tapi menggelikan.

"Mau pulang?" tanya Andra kembali datar. Eca menatap Andra barang sebentar.

"Ayo!"

Eca bergegas masuk ke dalam mobil tanpa menunggu Andra yang sedang ke toilet,

Ia merogoh tas ketika gawainya terus bergetar dari dalam sana.

Lo harus putus sama Andra, karena dia cuma manfaatin lo aja. Jangan pura-pura buta, coba buka mata!

Eca membeku di tempat, jantungnya seakan berhenti berdetak. Hening kembali menjelma bising di sekitar, terlebih dirinya seorang diri di dalam sini.

"Maksudnya?" ucap Eca seraya menggeleng pelan. Masih belum bisa percaya terhadap apa yang diungkap oleh si pengirim pesan misterius tadi.

"Ca."

Eca terhenyak, kaget mendengar suara bariton yang menyapa telinganya tiba-tiba, ia menoleh ke sampingnya. Terlalu lama dibawa hanyut oleh alam pikir membuatnya tak sadar bahwa Andra sudah kembali ke dalam mobil.

"Lo kenapa? Sakit?" tanya Andra khawatir. Eca menggeleng pelan seraya tersenyum kaku.

"Gue mau pulang, cepet!" seru Eca memalingkan wajahnya kepada jendela yang lebih menarik minatnya.

___

Andra berdiri di depan pagar rumah Eca dengan wajah yang tak bisa di artikan. Menatap ponselnya seraya tersenyum getir, ia sudah berkali-kali menelpon Eca tapi tak di jawab sama sekali.

Menunggu sampai malam? Bodoh sekali, pria satu ini tidak mungkin akan menunggu sampai malam. Tidak akan melalukan drama yang konyol, lebih baik pulang dan kembali lagi besok hari.

Datang pagi-pagi menurutnya hal yang wajar, dan itu cara dia memperjuangkan gadisnya.

Egois? Itulah Andra Wijaya. Begitulah caranya bertindak dan berpikir. Ia masih waras dengan hal cinta sewajarnya.

Alasannya hanya untuk mendapat penjelasan kenapa dalam satu minggu ini gadisnya menjauhinya.

Hanya itu saja.

___

Eca tetap diam di kursinya dengan ponsel yang dijadikan pengalihan. Membiarkan Andra terus berbicara dan bertanya, namun ia sama sekali tidak berminat untuk menjawabnya.

"Jawab pertanyaan gue!" pinta Andra yang terduduk di depan Eca.

"Kenapa lo jauhin gue?" kedua mata Andra menyorot dingin wajah Eca.

"Setelah apa yang lo lakukan ke gue, lo masih bisa tanya 'kenapa'? Lo gila!"

Gadis itu merasakan bola matanya yang memanas, kedua tangannya mengepal kuat menahan amarah. Genangan air hujan di pelupuk matanya, berusaha ia tahan untuk tidak keluar.

"Selama ini lo cuma manfaatin gue, kan? Lo ngejadiin gue sebagai alat, bukan sebagai pacar." murka Eca.

Andra menegang. Berbagai jenis tanya menggumpal di kepala. Bagaimana bisa Eca mengetahui taktik liciknya? Tanpa Andra sadar bahwa sedalam-dalamnya orang mengubur bangkai, lama kelamaan akan tercium jua baunya, dan menguar di udara.

"Ca ... gue bisa jelasin."

"Percuma ngejelasin, kalo ujung-ujungnya emang itu faktanya."

"Tap-"

"Gue minta kita putus!" ucap Eca telak.

"Deng-"

"Apa ini balasan yang gue terima? Setelah perasaan yang gue kerahkan malah berujung menyakitkan? Kita harus berakhir perpisahan, Andra."

"Maaf, Ca"

Eca menghembuskan nafasnya, wajahnya memaling ke sembarang arah.

"Sekali lagi, kita selesai," ucap Eca dengan suara parau, kini dalam tubuhnya seperti ada tali panjang yang sedang mencambuk hatinya. Tubunya semakin bergetar.

Terpaksa Andra menganggukkan kepalanya,dengan helaan nafas berat yang mengakhiri cerita mereka.

"Oke, seperti yang lo mau. Kita selesai!" terang Andra dengan suara yang tak rela.

Eca tersenyum paksa.

"Gue pamit, lo harus jaga diri baik-baik, " ucapnya seraya beranjak meninggalkan kelas Eca.

Tanpa keduanya tahu, bahwa ada seseorang yang sedang membekap mulutnya di balik dinding karena tak kuasa menahan tawa melihat cerita mereka yang usai hanya karena keegoisan yang mengekang hubungan. Ketika yang satu tidak ingin mendengarkan penjelasan, dan yang satu tidak minat menjelaskan sebelum ketahuan, apalagi namanya jika bukan keegoisan? Mereka usai ketika cerita belum selesai.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro