Nostalgia

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Written by LeeAdis_

Terik matahari menyengat kulit. Aku merebahkan tubuh tepat di depan kipas angin sembari membaca novel Tere Liye berjudul Pulang. Padahal aku kini berada di kampung, namun panas matahari tetap membakar kulit. Bibirku pecah-pecah, stok air liur mulai berkurang, aku mulai dehidrasi. Mengabaikan bayangan sirup marjan, air kelapa, dan teh es yang muncul tiba-tiba di benakku. Memfokuskan pada novel yang telah kubaca puluhan kali itu.

Ah, aku Dini Kinanti. Salam kenal. Bulan puasa ini cuaca semakin memanas saja. Beruntung sumur di belakang rumah belum kering. Jadi, jika ingin menyegarkan tubuh aku bisa bolak-balik mandi tanpa takut kehabisan air.

"Dini!" Suara teriakan dari depan memecah fokusku pada novel.

"Dini, ada Mahesa," ujar Ayah yang sedang duduk di ruang tamu.

"Mahesa?" Aku beranjak menuju beranda dengan langkah agak limbung karena kebanyakan membaca sambil berbaring, serta panas yang berdengkang ini.

"Ada angin apa kau siang bolong datang ke rumahku?" tanyaku tanpa mempersilakannya masuk.

"Jalan yuk!" ajaknya enteng.

Aku tercengang. Tubuh anak ini terbuat dari apa sebenarnya? Apa dirinya tidak merasakan panas? Aku menggaruk kepala yang tidak gatal.

"Kau serius mengajakku berjalan di tengah hari seperti ini?"

Mahesa Dirganata. Seorang pemuda pendek di antara pemuda lainnya. Bermata lebar yang menggemaskan. Satu fakta yang terpenting adalah ia mantan pacarku yang menjelma menjadi teman dekat dewasa ini.

"Tengah hari? Ini sudah pukul tiga sore, Din." Mahesa menunjuk-nunjuk arloji di pergelangan tangannya dengan geram.

"Tetapi panasnya masih kuat. Pukul empat kita keluar." Aku membuat kesepakatan tanpa menunggu keputusannya. "Duduk dulu. Mau minum apa?"

Pemuda berambut cepak itu membulatkan kedua matanya. "Kau lupa kita sedang berpuasa? Atau pura-pura lupa?"

Aku menepuk jidat seraya terkekeh. "Maaf," ucapku.

Sambil menunggu pukul empat sore, aku dan Mahesa mengobrol seru. Masing-masing menceritakan kota perantauan. Menceritakan tentang orang-orang seperti apa yang dikenal. Sesekali disertai beberapa anekdot-anekdot yang membumbui percakapan kami. Waktu berjalan tanpa terasa. Cahaya mentari juga mulai memudar, teduh.

"Yuk! Sebentar aku ganti pakaian." Aku berlalu masuk.

Sepersekian detik kemudian, aku kembali dengan training, kaus panjang, dan sepatu kets. Rambut ekor kuda kuikat tinggi.

"Cepat sekali?"

"Kenapa harus lama hanya berganti baju. Ayo! Keburu sore." Aku berlari-lari kecil mendahului Mahesa.

"Din! Din!" Aku menoleh dan menghentikan langkah. "Ikut aku!" Mahesa menarik tanganku, entah ke mana tujuannya.

Kami berdua menyusuri jalan setapak pedesaan, melewati kebun karet yang rimbun. Berpapasan dengan satu dua orang yang baru pulang kerja hendak menyiapkan menu berbuka.

"Masih ingat tempat ini?" Suara Mahesa memecah keheningan di antara kami.

Aku mengedarkan pandangan ke sekeliling, mencoba mengenali tempat yang dimaksud Mahesa. Lantas menggeleng serta menatap manik hazel Mahesa penuh kekepoan.

"Kerbau?"

Dua alisku semakin bertaut saja memikirkannya. Apa hubungannya dengan kerbau?

"Sandal tersangkut?"

"Kau menangis?"

"Aku menunggu?"

"Masih tidak ingat?"

Tunggu! Apa dia sedang … bernostalgia? Itu … kenangan masa kecil.

"Mahesa," rengekku dengan pipi yang bersemu merah. Aku menutupi wajah dengan kedua tangan.

Mahesa sedang membahas perihal kami dikejar kerbau yang entah datang dari mana, kami berlari tunggang langgang. Namun, aku ceroboh saat itu. Sandalku tersangkut di lumpur, sementara hewan bertanduk itu kian mendekat, karena rasa takut yang membuncah aku menangis. Mahesa setia menungguku meloloskan sandal dari lumpur, kemudian kami berlari menjauhi kerbau ganas itu. Kenangan itu masih terekam jelas diingatan.

Mahesa terbahak melihat rona merah di wajahku. Ia mantanku, namun saat ini kami berteman dekat.

"Ayo kita ke tempat lain." Mahesa menarik lenganku lagi.

"Bagimana dengan itu?" Pemuda berambut cepak itu menunjuk perosotan yang sudah tua dimakan usia.

"Perosotan?"

Mahesa mengangguk mantap.

"Ah, pasti kau lupa lagi. Kau meluncur, sedangkan aku di bawah, lalu aku terjungkal karena ulahmu." Mahesa berkisah dengan pandangan menerawang jauh, menembus langit. Terkekeh pelan.

"Mahes, stop! Sudahlah, kenapa jadi nostalgia? Sudah berlalu, jangan dibahas lagi. Itu memalukan," ujarku dengan wajah memelas.

Mahesa menatapku penuh makna. Tersenyum tipis. "Masih banyak kenangan yang kuingat tentang kita," tuturnya lembut.

Aku tertegun.

"Kalau kita balikan bagaimana? Menjalani hubungan yang lebih serius?"

Aku tersentak kaget dengan pernyataan itu. Apa maksudnya?

"Kurasa akan lebih menyenangkan jika kita mengulang kembali kisah kita," ucap Mahesa, seraya tersenyum lebar.

Kenapa jadi begini? Apakah aku bahagia? Atau sedih? Atau aku yang terlalu baper?

Allahu Akbar Allahu Akbar ….

SELESAI

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro