BAB 11: Hidup yang Berbeda

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Mata Amara memantulkan cahaya lampu jalanan yang berada di sebrang jembatan ini. Telapak kakinya masih telanjang, namun berkat jaket dari Yaksa, dia tidak lagi merasa kedinginan. Amara duduk bersandar pada pinggiran jembatan, dengan lutut terlipat, dan kedua tangan di atas lutut. Ada botol air mineral di sebelahnya, kebetulan sekali Yaksa lewat dan baru saja membeli air mineral di Indomaret.

Motor Yaksa terparkir tak jauh dari sana. Dia sedang mengambil helm nya yang terguling karena terlalu kaget melihat ada orang mau melompati ke sungai tengah malam. Helm itu ia taruh menutupi spion kanan motornya. Lalu dia duduk di sebelah Amara dengan posisi badan menempel pada pinggiran jembatan.

Yaksa menghembuskan nafas berat setelah 1 menit duduk diam. "Aku ingin hidup, panjang, sangat panjang. Banyak petualangan yg ingin kulakukan. Masih banyak gunung yg ingin kudaki. Atau pantai indah yg belum tereksplor. Aku akan hidup sampai semua itu terwujud." Yaksa memiringkan kepalanya ke arah Amara. Senyumnya lembut dengan mata setengah tertutup. "Hidup itu sangat menyenangkan. Tergantung cara kita melihatnya," lanjutnya.

Amara mendekap lututnya, seperti memeluk sebuah guling. Dagunya menempel pada ujung lutut. Dia mengigit bibirnya sangat kuat, hingga berwarna merah nyaris berdarah.

"Aku ingin mati," ucapnya dengan suara gemetar, "rasanya sudah tidak artinya aku hidup," Nada suaranya semakin mengecil." Tangannya mengusap-usap jari-jarinya. "Tapi aku takut," suaranya semakin gemetaran, ada isakan di akhir kalimat, "aku terlalu takut."

Yaksa diam sejenak, memikirkan kalimat yang cocok untuk menjawabnya tanpa menyakiti perasaan Amara. "Hmm, mungkin kamu yang belum tau alasan untuk hidup," jawabnya. "Seperti yang aku katakan tadi. Itu alasanku masih hidup. Kamu harus cari alasanmu juga agar hidupmu lebih menyenangkan."

"Tapi aku gak tau harus apa," ujar Amara sambil terisak tangis.

"Kalau gitu ayo cari." Yaksa berdiri. Dia mengulurkan tangan ke Amara. Amara mendangak. Matanya yang sembab bertanya apa yang dimaksud oleh Yaksa dari uluran tangan itu. "Aku akan membantumu mencarinya. Itu kalau kamu mau."

Dengan ragu, dan sedikit maju mundur Amara mengulurkan tangannya. Tangannya gemetaran, meski begitu dia dapat meraih tangan Yaksa yang hangat, dibandingkan dengan tangannya yang sangat dingin. Yaksa menariknya, memaksa Amara untuk berdiri. Senyum Yaksa lebar, dengan mata berbinar, mirip seperti saat dia tampil dipunggung tadi. Senyuman dan tatapan itu mulai menerangi sisi abu-abu Amara.

-0-

'Aku di depan gerbang.'

Pesan masuk ke WhatsApp Amara. Dia berjalan keluar gerbang dan melihat Yaksa yang sudah ada di sana. Kepala Amara celingukan, memastikan tidak ada orang yang ia kenal melihat. Untuk saat ini, setelah kejadian Minggu lalu, Amara sedikit menjaga jarak dengan semua orang. Dia bahkan mencari alasan ke Gita saat bertanya kenapa pipi Amara merah. Amara jawab dia terpeleset dan pipinya yang pertama kena lantai. Ada lagi saat orang lain bertanya, dan dia menjawab hal sama. Atau kadang ia jawab kalau ini efek elerginya. Agak tidak masuk akal, tapi mereka puas hanya dengan jawaban asal itu. Semakin Amara menutup diri, semakin sedikit pula pertanyaan yang hanya sekedar kepo tentang hidupnya.

Selama itu juga Amara dan Yaksa sering chat melalui WhatsApp. Sebenarnya tidak ada yang penting, hanya basa basi seputar 'selamat pagi', 'selamat malam', 'udah makan belum?', 'lagi apa?', dan hal-hal tidak penting lainnya. Namun entah mengapa Amara merasa senang. Ketika chat Yaksa masuk, dia mendadak melulu semua rasa sedih, marah, atau semua masalahnya. Justru jika Yaksa tidak menghubungi, dia merasa gelisah yang sedikit aneh dari biasanya. Gita sering mendapati Amara senyum atau bahkan tertawa sendiri saat membaca WhatsApp.

Seminggu penuh mereka hanya mengirimkan Chat. Dan hari ini secara tiba-tiba Yaksa sudah ada di depan gerbang SMA-nya.

"Aku mau ngajak kamu ke suatu tempat," ajaknya.

"Kemana, aku gak bisa pulang malam kak."

'Kak', itu panggilan Amara ke Yaksa, tentu saja karena Yaksa lebih tua darinya.

"Tenang aja, jam 5 sore kuantar pulang. Janji," jawabnya dengan mengulurkan sebuah helm pada Amara.

Pipi Amara merah, kedua bibirnya terangkat. Dia memberikan sebuah anggukan kepala, bertanya setuju untuk ikut dengan Yaksa. Hidup Amara sudah tidak akan sama lagi seperti dulu.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro