BAB 12: Pengungkapan di Atas Bukit

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Bukit, banyak bukit, ditutupi pepohonan rimbun, persawahan, beberapa rumah, dan jalanan yang tidak beraspal. Yaksa memarkir motornya di bawah bukit, terdapat satu-satunya warung yang terlihat sejauh ini. Motor tidak masuk karena terhalang pagar pembatas. Sengaja dipagari oleh warga lokal, entah apa tujuannya.

Yaksa membantu Amara meloncat dari pagar kayu paling pendek. Emang susah, apalagi Amat masih memakai seragam rok abu-abunya. Dari balik pagar itu langsung dihadapkan dengan sebuah tanjakan untuk naik ke sebuah bukit. Dan ada jalan lain yang mengarah pada hutan-hutan.

Dengan berpegangan tangan Yaksa mengajak Amara masuk ke hutan itu. Banyak pepohonan, meski bukan hutan rimbun yang gelap seperti di film-film. Pohon di sini tidak besar, batangnya kecil. Beberapa bagian jalannya ada bekas aspal. Dan nampak sebuah rel yang sudah tidak lagi difungsikan. Amara sedikit membayangkan bagaimana hutan ini dulu.

Jalannya menanjak, tidak cocok dengan Amara yang jarang sekali olahraga. Nafasnya terpatah-patah. Berbeda dengan Yaksa yang sepertinya sangat terbiasa dengan jalan tanjakan.

"Sampai," ujar Yaksa.

Mobil tua, mirip seperti angkot yang sering lewat di jalanan. Namun dengan model sangat lama. Amara pernah melihatnya di film jadul 90 an. Yaksa yang masih memegang tangan Amara, membawanya masuk ke dalam. Tidak ada pintu, beberapa bagian juga sudah keropos, banyak grafiti yang menutupi seluruh badan mobil hingga dalam. Di dalam juga tidak ada kursi. Namun ada sebuah tikar yang warnanya berubah cokelat, Amara yakin bukan itu warna asli tikar itu, baunya juga aneh, dan gitar.

Yaksa duduk di atas tikar itu, tidak seperti Amara yang sempat berfikir untuk duduk di sana. Yaksa memberikan isyarat dengan menggerebek kepala, menyuruh Amara segera duduk.

"Aku sering ke sini. Anggap aja ini persembunyian rahasiaku," ujar Yaksa, "coba lihat ke jendela," perintah Yaksa.

Amara berdiri, dia mengeluarkan kepalanya dari jendela mobil yang hanya tinggal rangka kotak tanpa kaca. Rambutnya dihembus angin. Mata yang terbuka lebar dan berbinar. Pemandangan indah dari atas bukit ini, dia dapat melihat perkotaan yang sering ia lewati dan jalanannya, semua napak kecil seperti miniatur, dan dia masih bisa melihat beberapa bukit kecil, dan di ujung cakrawala ada sebuah gunung yang tertutup dengan awan-awan, namun masih bisa dinikmati keindahannya.

Dia melirik ke Yaksa yang memasang senyum, seperti habis menang dari lotre dengan hadiah jutaan. Yaksa berdiri. Dia berada di jendela samping Amara.

"Aku punya adik perempuan," Yaksa mulai bercerita, dan Amara menyimaknya meski matanya sudah terpaku pada pandangan di depan. "Sekarang sudah SMP. Dia anak yang penurut, sangat penutur. Bahkan dia tidak keberatan saat ibuku menikah lagi." Yaksa menjeda ceritanya dengan hembusan nafas panjang. "Berbeda denganku, aku pembangkangan. Ibuku gak suka aku main musik, mirip ayahku katanya. Gitar pertama yang kubeli saat SMA di banting ibuku sampai hancur. Sejujurnya aku frustasi saat itu. Dan memilih untuk menyerah."

Amara menyampingkan kepala, melihat Yaksa yang untuk pertama kali dengan mata sayu meski bibirnya masih ia paksakan terangkat. Bahunya merosot dan dia menghembuskan nafas panjang untuk kesekian kali.

Yaksa terkekeh sebelum kembali bicara," saat itu aku masih maba. Aku bertemu dengan Aiden. Dan Kating yang udah lulus sekarang. Kating itu ngajak aku dan Aiden ke sini. Awalnya cuma nongkrong. Habis itu kami dihipnotis dengan pemandangan ini,  lalu kami saling curhat soal masalah masing-masing. Dan setelah itu, aku dan Aiden buat band ini."

Kembali, Amara menatap lagi pemandangan di depannya. Benar, ini seperti sebuah hipnotis, memberikan rasa nyaman dan aman yang aneh.

"Aku suka menulis. Aku memang tidak suka ngungkapin sesuatu dengan ucapan, jadi aku menulisnya."

"Benarkah? Keren sekali. Lalu apa yang sedang kamu tulis sekarang?"

Amara membayangkan di depan mata, menggambar khayalannya tentang kerajaan Yuemeda. "Kerajaan Yuemeda yang damai dan makmur. Lalu seorang tokoh utama, gadis ceria yang memiliki mimpi besar menjadi penyanyi terkenal di seluruh penjuru Kerajaan Yuemeda. Dia cantik, baik hati, dan disukai banyak orang. Suaranya seperti malaikat, begitu lembut dan menyentuhnya hati yang mendengarnya."

"Aku jadi ingin membacanya," ujar Yaksa.

Pipi Amara merah. "Jangan, bukan cerita bagus. Lagipula belum tamat. Nanti aja kalau udah tamat."

"Beneran ya, ku tagih lo."

Amara tersenyum sambil mengangguk. Semoga saja cerita kali ini bisa ia tulis sampai tamat. Tidak seperti naskahnya yang lain.

"Ngomong-ngomong kamu bisa main gitar?"

"Jangankan main gitar, nyanyi aja fales banget."

Yaksa megang gitarnya, dia angkat dan ditunjukkan ke Amara. "Mau ku ajari gitar?"

Sekali lagi Amara tersenyum dan mengangguk.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro