BAB 14: Berbicara Tentang Masa Depan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Cowok yang sering jemput kamu siapa Ra? Pacar kamu?" Tanya Gita.

Harusnya Amara tidak perlu kaget. Karena Yaksa sudah berulang kali menjemputnya. Bisa seminggu dua sampai tiga kali selama satu bulan ini. Di minggu-minggu awal Amara sengaja pulang terakhir agar tidak ada orang yang lihat dia di jemput cowok. Tapi akhir-akhir ini Amara tidak perduli. Yang ada dia ingin segera keluar gerbang, dan segera ketemu Yaksa.

"Bukan, cuma temen kok," jawab Amara.

"Jangan sering main lo, bentar lagi kita mau Tryout. UN juga tinggal menghitung bulan. Gak sangka bentar lagi kita bakal lulus. Oh iya, SNMPTN udah mau dibuka, kamu udah tau mau masuk PTN apa?"

"Aku pengen kuliah di Jogja," jawab Amara. Jawaban yang sama dan sudah dia fikirkan dari awal masuk kelas 12. "Kalau gak keterima, paling masuk kampus swasta kota." Di sana dia bisa ketemu Yaksa.

Gita bertanya lagi pada Nando dan Nanang. Nanang tegas bilang kalau dia gak ada minat buat kuliah. Dia mau langsung kerja setelah lulus. Nanda dan Gita sepertinya punya plan mau masuk di kampus yang sama. Meski dengan jurusan yang berbeda. Gita dan Amara punya keinginan masuk jurusan Guru SD, meski sejujurnya Amara punya aura yang bisa bikin anak kecil nangis, sangat beda dengan Gita. Sejujurnya alasan Amara ingin mengambil jurusan keguruan, dia ingat cerita salah satu gurunya dulu yang jadi sukarelawan dan mengajar hingga tempat-tempat pelosok. Amara mau seperti itu. Berperilaku ke tempat baru. Dan mengajar di desa-desa pelosok Indonesia.

Ketika di mobil, Amara menceritakan hal itu ke Yaksa. "Keren sekali, tidak ku sangka kamu yang bulan lalu mau loncat ke sungai punya mimpi sekeren itu," ujar Yaksa.

Sekarang Amara sudah mulai bisa menertawakan pikiran konyolnya untuk bunuh diri. Akhir-akhir ini selain belajar main gitar, dan semakin hari dia semakin bagus kecuali saat bernyanyi, Amara menghabiskan waktu untuk belajar. Mengerjakan soal-soal UN, dan SBMPTN tahun lalu, juga beberapa kali ikut Tryout bersama Gita dan Nando.

"Kakak sendiri kenapa ambil jurusan Ekonomi? Bukan musik?" Tanya Amara.

"Ibuku gak bakal izinin aku kalau ambil seni. Sebenarnya aku asal milih jurusan. Dan yang masuk cuma Ekonomi. Gak masalah sih, yang penting setelah lulus nanti aku bakal jadi pemusik terkenal."

"Dengan Dragon?"

"Dengan atau tampa Dragon. Sejujurnya selain Aiden, anak-anak yang lain sudah mulai susah bagi waktu di band. Rizal juga mau keluar karena punya part time. Jadi aku dan Aiden punya rencana  buat open member," jelas Yaksa. Dia diam sejenak dengan tangan sibuk memegang  senar gitar. Kepala Yaksa menoleh ke Amara. "Kami juga mau ganti nama band. Ada saran?"

Amara berfikir. Dia menatap sekeliling, memikirkan nama yang cocok. Meski dia penulis, dan sering mengarang nama, tapi tetap saja memikirkan sebuah nama yang cocok dengan karakter tokoh itu terkadang susah. Apalagi ini untuk sebuah band. Matanya tertuju pada bandul gantungan kunci di tasnya. Berbentuk kupu-kupu. Dia melepas gantung kunci itu, dan menunjukkannya pada Yaksa.

"Dragon Butterfly?" Ujarnya dengan suara agak gemetaran. Yaksa diam dan membuatnya agak malu. "Aku cuma asal mengarangnya." Dia memalingkan wajah dan memasang kembali gantungan kunci nya ke tas.

"Bagus," suara Yaksa terdengar riang, "nama yang bagus. Aku tanyakan pada Aiden, kalau dia setuju, Dragon Butterfly boleh dipertimbangkan menjadi nama band kami yang baru."

Amara tersenyum mendengarnya. Mereka melanjutkan pelajaran gitarnya seperti biasa. Sesekali Yaksa menyontoh permainan gitar dengan sebuah lagu. Berkali-kali mendengar, Amara tidak pernah bosan mendengar suara Yaksa. Dia ingin terus mendengarnya, tak masalah jika itu setiap hari atau setiap detik.

"Oh iya, minggu besok kamu ada acara?" Tanya Yaksa.

-0-

Ngomong-ngomong sudah hampir sebulan Amara tidak lagi melihat Rash. Apa karena selama sebulan ini dia sudah tidak lagi menulis apapun?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro