BAB 15: Pantai dan Cakrawala

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Melihat cakrawala dari pantai selalu memberi perasaan aneh bagi Amara. Apakah ada dunia lain di balik cakrawala itu? Dunia yang ia pelajari dalam buku Geografi, atau dunia lain yang tidak diketahui orang lain? Kadang pertanyaan seperti itu lewat di otak Amara. Kadang pula dia ingin menjadi gila dengan menaiki kapal dan pergi ke cakrawala itu. Bagaimana Amara bisa di sini, berdiri di atas pasir kekuningan dan deburan ombak menerpa kaki?

Tidak seperti kesalahannya sebelumnya, Amara izin ke ayahnya untuk latihan gitar dengan teman sekelasnya di sekolah. Amara berjanji akan pulang sebelum malam. Alasan palsu yang diterima mentah-mentah oleh sang Ayah.

Seperti biasa, dia berdiri di halte tempat dia menunggu bis menuju sekolah. Namun kali ini dia tidak turun di halte sekolahnya. Melainkan halte lain dimana Yaksa sudah menunggunya. Awalnya Amara berfikir kalau Yaksa akan mengajaknya ke bukit itu atau melihatnya tampil, siapa sangka Yaksa mengajaknya keluar kota dengan perjalanan hampir dua jam hingga sampai ke pantai ini. Sudah lama sekali Amara tidak ke pantai. Terakhir tahun lalu saat studi tour.

Gitar yang tadi di bawa Amara, ditinggal begitu saja di motor Yaksa. "Orang gila mana yang mencuri gitar rongsokan," ujarnya yang sangat percaya gitarnya Aman.

Anehnya, pantai ini sepi. Tidak seperti pantai lain yang ramai. Kata Yaksa memang jarang orang yang datang ke sini. Hanya beberapa, dan mungkin warga lokal. Ke sini pun sedikit susah. Mereka harus melewati rumah-rumah warga lokal, sawah, bahkan masuk ke hutan. Awalnya Amara khawatir, entah mau dibawa kemana dia. Ada pikiran-pikiran aneh di kepala Amara. Namun sekarang lupa seolah dia tidak pernah memikirkan hal-hal aneh tadi.

Setelah berjalan di atas pasir, kini mereka berjalan di antara batu karang. Suara ombak terdengar keras saat menerpa batu-batu besar ini. Yaksa membantu Amara berjalan di antara batu karang agar tidak jatuh dengan memegang tangannya. Mereka memilih untuk duduk di batu karang besar, dan menikmati laur dari sana. Rambut Amara yang panjang dibiarkan terurai. Berterbangan saat angin rambut berhembus. Sama seperti rambut kriting Yaksa yang sudah mulai panjang.

"Aku berencana daki gunung minggu depan. Sayang sekali kamu ada tetap, jadi tidak bisa ikut," ujar Yaksa.

"Kalaupun gak ada tryout, aku juga gak bakal dapat izin." Pulang malam saja dia dapat satu tamparan, apalagi ide gila daki gunung dengan seorang cowok. Membayangkan saja Amara tidak mau. "Kenapa kakak suka naik gunung?"

"Hmm apa ya? Setiap langkah saat mendaki mewakili upaya dan usaha. Ada perasaan kebanggaan untuk mengatasi tantangan yang tampaknya gak terjangkau. Setelah sampai puncak, ada perasaan puas seolah telah melakukan pencapaian besar," jawab Yaksa. Suara ombak besar menjeda ucapannya. "Ada perasaan tenang ketika berdiri di puncak. Kadang aku merasa ingin menjadi bagian dari ketenangan itu selamanya." Untuk kedua kalinya, suara ombak membuat Yaksa berhenti sesaat. "Tapi tidak mungkin, karena aku masih mau daki banyak gunung lain. Dan tampil di banyak panggung lagi," dia mengakhiri ucapannya dengan ketawa kecil.

"Kalau disuruh milih nyanyi atau daki gunung, kakak milih yang mana?"

"Pertanyaan sulit, keduanya bagian dari hidupku. Mana mungkin bisa dipilih. Dalam hidup kita tidak harus memiliki satu hal, ada hal lain yang bisa pilih secara bersamaan. Itu yang membuat hidup ini menyenangkan.

Percakapan itu berkahir begitu saja. Amara dan Yaksa bermain dengan ombak di pasir putih. Mereka mengejar ombak, lalu berbalik di kejar. Yaksa juga jahil pada Amara, dia menggendong Amara dan membawanya ke laut agar tersapu ombak. Tak mau kalah, Amarah mendorong Yaksa hingga jatuh. Suara tawa Yaksa dan Amara menggema di pantai yang sepi. Mengabaikan baju mereka yang basah karena bermain air, dan lupa bahwa keduanya sama-sama tidak bawa baju ganti. Sehingga keduanya harus berjemur lagi di atas batu karang di tengah siang untuk mengeringkan baju sebelum kembali pulang.

"Saat aku di puncak, jangan lupa kirim video waktu kamu latihan gitar," pintah Yaksa.

"Gak bisa tiap hari tapi kak, aku ada Tryout."

"Kalau gitu kirim foto gitarnya, buat mastin gak berdebu."

Amara tertawa mendengarnya, Yaksa benar-benar tidak mau latihan gitar ini berhenti. "Emang kakak akan pergi berapa lama?"

Yaksa mengangkat bahu. "Entahlah, tidak lama kok. Paling Minggu depan kita bakal latihan di mobil lagi. Aku harap kamu bisa nyanyiin satu lagu ke aku, sambil main gitar."

"Oke kak, aku usahakan," jawab Amara dengan percaya diri melihat kemampuan gitarnya yang sudah lebih baik.

Untungnya Amara pulang tepat waktu. Agar tidak ada orang rumah curiga, dia langsung cuci baju yang dia pakai, bersama baju-baju lain yang sudah menggunung di keranjang baju kotor. Khusus baju tadi, dia pastikan tisak ada bekas pasir yang menpel.

HP nya bergerak, pesan masuk dari Yaksa yang mengirim foto persiapannya naik gunung bersama Aiden, teman band nya. Selagi mencuci baju dengan mesin, Amara berbalas pesan WA dengan Yaksa.

Sesekali dia tertawa sendiri. Setelah semua baju selesai di cuci dan dikeringkan, Amara masuk ke kamarnya. Dia tidak bisa melepas kesenangan hari ini dan terus memikirkannya. Hingga dia melihat laptop nya yang terbuka. Sudah sangat lama dia tidak menulis, dan ceritanya tentang kerajaan Yuemeda terbengkalai terlalu lama. Yaksa tidak membalas pesan lagi karena sedang diperjalanan. Sehingga ada waktu untuknya menulis satu bab cerita.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro