BAB 4: Tepuk Tangan dan Halte

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Apa wajar jika seseorang merasa tidak nyaman dengan sorot mana orang lain? Meski sorot mata itu sebenarnya bukan untuknya. Tangannya gemetaran, dan dia menyibukannya dengan memegang rok bawahnya, kemeja hitamnya, rambutnya, dan tas selempang yang dia pakai. Beharap kegelisahannya perlahan bisa hilang. Di tempat asing ini, dikelilingi oleh orang-orang dengan banyak latar belakang, ia merasa gelisah. Di antara banyak orang ini, apakah ada yang lebih gila dari dia?

Dengan langkah yang ragu-ragu, Amara melangkah ke dalam kafe yang tenang. Ia mengenakan kemeja hitam yang dimasukkan ke dalam rok panjang berwarna puih dengan banyak motif bunga. Kedua rambutnya dikepang, dan ia memakai kacamata aksesoris, bukan karena minus, tetapi sebagai tambahan gaya dan pengalihan dari tatapan langsung orang lain. Di tangan kirinya, gelang-gelang berderet menghiasi pergelangannya. Amara duduk di salah satu meja yang tersedia. Di sudut ruangan, ada sebuah panggung kecil di mana alat musik sudah disetel, siap untuk pertunjukan. Amara memesan minuman dan makanan, mencoba untuk meredakan kegelisahannya dengan sibuk memperhatikan hal-hal di sekitarnya.

Setelah menyelesaikan persiapan, band tersebut naik ke panggung dan mulai memperkenalkan diri. "Halo semuanya! Kami adalah Dragon," kata vokalis mereka, Yaksa, dengan senyuman lebar. "Di sini ada Aiden di gitar, Rizal Bash di bass, Musa di drum, dan saya Yaksa di vokal. Kami semua dari universitas swasta kota ini, semua pasti tahu karena hanya satu," candaan Yaksa tidak masuk ke para pengunjung, terbukti tidak ada yang tertawa kecuali meja dekat panggung yang kemungkinan itu teman mereka sendiri. Setidaknya dapat membuat Amara yang awalnya gelisah mulai merasa lebih nyaman. Yaksa melanjutkan, "Untuk malam ini, kami akan membawakan lagu 'Surat Cinta Untuk Starla' dari Virgoun. Kami harap kalian menikmatinya."

Ketika mereka mulai bermain, suara Yaksa yang merdu dan penuh emosi segera memenuhi kafe. Para penonton, termasuk Amara, terpesona oleh penampilan mereka. Amara yang awalnya canggung mulai merasakan getaran musik dan, tanpa disadari, ikut bernyanyi bersama. Ada juga beberapa orang yang sengaja berhenti makan untuk menikmati penampilan itu. Dengan setiap nada dan lirik yang dimainkan, Amara merasakan kegelisahannya perlahan menghilang. Suara Yaksa begitu memukau, masuk ke telinga dengan lembut, sementara Aiden, Rizal Bash, dan Musa memainkan instrumen mereka dengan sempurna, menciptakan harmoni yang indah.

Setelah lagu selesai, Amara yang terpesona tidak bisa menahan diri untuk bertepuk tangan. Namun, ternyata dia satu-satunya orang yang bertepuk tangan di situ. Semua menatapnya, termasuk para anggota band. Amara merasa malu dan gugup, lalu segera memalingkan wajah, berusaha menyembunyikan rasa malunya.

Yaksa, yang menyadari situasi tersebut, tersenyum hangat dan berkata, "Terima kasih, terima kasih untuk tepuk tangannya. Kami sangat menghargainya." Kalimat itu membantu mengurangi rasa canggung, dan perlahan-lahan, beberapa penonton lain mulai ikut bertepuk tangan, meski tidak banyak, namun memberikan Amara sedikit kelegaan. "Lanjut untuk lagu kedua."

Musik kembali dimainkan, penglihatan Amara ke arah Rash yang duduk di depannya. Rash tersenyum sangat lebar dan masih menepukkan tangan. Tidak ada yang memperhatikannya, seperti yang tadi terjadi pada Amara. Mereka bertingkah seoalah memang Rash tidak ada. 

"Musiknya enak," ucap Rash yang lalu berdiri dan menuju ke panggung. Dia berdiri di sebelah vokalis bernama Yaksa sambil memainkan gitar, seolah memang dia bagian dari band itu.

-0-

Hujan mulai turun deras ketika Amara meninggalkan kafe. Ia berlari menuju halte bus, berharap bisa segera naik bus kota. Seharusnya masih ada bus yang beroperasi pada jam segini, sekalipun hujan deras, pikirnya. Kalau tidak ada, ia terpaksa harus memesan ojek online yang harganya mahal.  Amara duduk di bangku halte, matanya menatap lurus ke jalanan yang sepi. Hampir tidak ada kendaraan yang lewat. Di tengah jalan sepi itu Rash berlarian, menari-nari di bawah guyuran air dari langit. Senyumnya amat lebar, Rash hampir tidak pernah melihat Rash tidak tersenyum. Tingkahnya seperti anak kecil yang diiznkan bermain bebas dan tidak perlu khawatir akan kena marah saat pulang nanti. 

Tiba-tiba, ia mendengar suara langkah mendekat, tapi Amara mengabaikannya dan sibuk bermain dengan ponselnya. Suara cowok terdengar jelas, mengeluh tentang gitarnya yang basah. Amara tetap fokus pada ponselnya hingga cowok tersebut tiba-tiba bertanya, "Kamu punya tisu nggak?"

Amara terkejut dan mendongak. Ia mengangguk pelan dan, kebetulan, memang membawa tisu. Ia menyerahkan beberapa lembar kepada cowok itu, yang ternyata adalah Yaksa, vokalis dari band yang baru saja tampil di kafe. Namun, Amara tidak langsung mengenalinya.

"Terima kasih banyak," kata Yaksa sambil mengeringkan gitarnya dengan tisu. Setelah itu, ia menatap Amara dengan rasa terima kasih di matanya. "Kamu cewek yang tadi tepuk tangan, kan?"

Amara mengangguk lagi dan hanya berkata, "Hmm."

Yaksa tersenyum, "Terima kasih. Tadi kami sempat nervous di atas panggung. Kami pikir nggak ada yang suka sama penampilan kami, tapi kamu tepuk tangan, itu bikin kami semangat lagi."

Amara merasa sedikit tersanjung dan tersenyum kecil. "Kalian memang bagus," katanya singkat namun tulus.

Yaksa tersenyum lebih lebar. Dia mengulurkan tangan ke Amara, "kenalin aku Yaksa. Dari univ itu."

Dengan senyum kecil yang agak dipaksakan, meski sedikit ragu dan takut, Amara meraih tangan Yaksa. "Amara, dari SMA 2." Amara buru-buru menarik tangannya.

Yaksa terlihat kaget, "Wah, kamu masih SMA? Jarang nih lihat anak SMA main sendirian. Biasanya kan nongkrong sama temen-temen."

Amara tersenyum lagi, "Aku memang suka sendirian."Yaksa mengangguk,

"Kalau gitu, nanti kita ada tampil lagi. Bukan di kafe, tapi di acara lokal. Kita bukan penampil utama sih, cuma buat seru-seruan. Siapa tahu kamu mau datang." Yaksa memberikan informasi tempat dan waktu acaranya. "Acaranya di Taman Kota, jam 7 malam hari Sabtu ini. Semoga bisa lihat kamu di sana!"

"Hmm," Amara menganggukkan kepala, "jika ada teman aku tidak keberatan."

Percakapan mereka berkahir saat bis datang. Keduanya masuk bersamaan begitu pintu bis terbuka. Perempuan di sebelah kanan, dan laki-laki kiri. Karena bis sepi jadi Amara bisa mendapatkan tempat kosong untuk duduk. Dibagikan laki-laki juga sepi, hanya ada Yaksa dan dua cowok yang berseragam, aneh karena ini hari minggu. Sesekali mata Amara mengintip ke tempat Yaksa duduk. Sedari tadi masuk Yaksa fokus pada HPnya sambil memangku tas gitar agar tidak menjauh darinya.

Hingga sampai di sebuah halte, tempat perhentian Yaksa. Dia duluan berdiri meski bis belum sampai ke halte. Seperdetik sebelum pintu terbuka, Yaksa mendapati Amara yang menatapnya. Yaksa melemparkan sebuah senyum dan lambaian tangan. Lalu melangkah keluar bis. Pintu tertutup dan bis ini melanjutkan perjalanannya. Sesaat ada sesuatu yang berbeda sedang dirasakan Amara.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro