BAB 8: Hujan Malam Ini Tidak Buruk

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Satu per satu orang masuk, memenuhi setiap tempat duduk yang sudah disiapkan di aula ini. Rash memakai gaun malam berwarna merah menyala, menyamakan warna dengan rambutnya. Pertama kalinya dia harus tampil dihadapan orang sebanyak ini, dia sangat gugup. Mimpinya sudah di depan mata. Namun rasanya sangat berat. Udara di sekitar sini seolah menipis. Membuat Rash sulit untuk bernafas lega.

Tangan dingin memegang pundaknya. Rash membalikan badan dan melihat Daniel di belakang. Sambil tersenyum Daniel mengatakan, "kau luar biasa." Mantra sihir ajaib yang langsung berhasil mengembalikan rasa percaya diri Rash.

Nama Rash disebut. Saatnya dia naik ke panggung besar itu sebagai seorang diri. Sorot mata sinis tertuju padanya. Mereka bukan orang biasa yang sering lalu lalang di pelabuhan dan melakukan pekerjaan kasar. Hampir semua di sini kalangan atas yang ingin menyaksikan penampilan yang memuaskan selera tinggi mereka. Sebagai orang kaya yang mengelola bisnis sendiri, dan beberapa bahkan rombongan bangsawan.

Rash menghela nafas panjang, dan mengeluarkannya secara perlahan. Matanya mengarah pada pemandu musik, meminta timnya memainkan instrumental nya sekarang.

Suara bak malaikat, tidak sekedar marketing yang berlebihan pada sebuah kertas yang disebar ke seluruh kota. Mereka semua terdiam, terpesona, terhipnotis pada suara Rash yang bernyanyi sungguh-sungguh dari dalam hati. Ekspresinya yang selasar dengan lagu membuat para penonton meneteskan air mata. Begitu Rash selesai menyanyikan part terakhirnya, tepuk tangan meriah terdengar menggema di seluruh aula ini. Tepuk tangan itu menandakan penampilan sukses besar. Bahkan bunga-bunga dilemparkan padanya.

Rash sempat diam sebentar, menyakinkan dirinya ini semua bukanlah mimpi. Hingga dia sadar, ini memang bukan mimpi saat tidur atau khayalannya sebagai penyanyi jalanan, melainkan ini mimpinya yang terwujud. Rash memberikan senyuman lebar pada semua orang sebagai tanda terimakasih.

-0-

Penampilan berhenti, Amara tepuk tangannya. Kali ini dia tidak sendirian, ada yang juga bertepuk tangan untuk band Yaksa. Secara kebetulan begitu lagu terakhir selesai, dan Yaksa mengucapkan salam perpisahan, hujan turun. Semua orang kocar kacir seperti gerombolan semut, tak tau arah, yang penting terhindar dari hujan.

Amara juga bingung harus bagaimana, bajunya sudah mulai basah karena guyuran hujan. Dia teringat dengan Gita yang dia tinggalkan. Namun ketika dia hendak pergi, tangannya dipegang seseorang. Amara menoleh, ternyata itu Yaksa. Yaksa membawa payung, entah dari mana dia mendapatkannya.

"Jangan hujan-hujanan, nanti sakit," ujarnya dengan nada khawatir.

Amara dan Yaksa berbagai satu payung. Yaksa menggeser tubuh Amara agar lebih dekat dengannya, dengan begitu air hujan tidak akan mengenainya.

"Aku mau cari temenku, mereka pasti nyariin," ucap Amara dengan suara agak gemetar.

"Kamu tau mereka dimana?"

Amara geleng kepala. "Mereka mau nonton penampil utama."

"Kalau gitu disini aja. Habis ini mereka tampil. Nanti sambil nonton, kamu sekalian cari temanmu. Lagian ini masih hujan. Bisa-bisa kamu keliling sambil hujan-hujanan, basah kuyup, terus sakit."

Mendengar ucapan Yaksa, Amara tidak bisa membantahnya. Dia hanya menganggukkan kepala, berarti dia menurut pada Yaksa.

Karena hujan, beberapa teknis menggeserkan barang dan kabel-kabel. Memeriksa bagian agar tetap aman dari hujan. Amara memperhatikannya. Namun sebenarnya itu pengalihan dari perasaan canggung dan gugupnya. Sejujurnya, Amara tidak pernah dekat dengan cowok manapun sebelum ini. Jangankan dekat, berpapasan saja Amara akan langsung memalingkan wajah acuh. Dia tidak ingin tertarik pada siapapun, dan tidak ada yang melirik gadis pendiam dengan penampilan tidak menarik. Itu yang difikirkan Amara selama ini.

Berada begitu dekat dengan Yaksa jelaa membuatnya gugup, dan sangat canggung. Dia bingung harus bagaimana, memasang eksepsi apa, atau bagaimana dia harus memecah kecanggungan ini. Jika diberi pilihan Amara lebih baik berkeliling area ini mencari Gita sambil hujan-hujanan, dibandingkan dengan berdiam dan berbagai payung seperti ini.

Penampil utama naik ke panggung. Dibandingkan tadi, kali ini ada banyak orang yang mengerumuni panggung. Mereka tidak peduli dengan jalanan yang becek karena air, dan hijau yang masih mengguyur. Beberapa membiarkan dirinya terguyur hujan. Sisianya membeli jas hujan plastik yang biasanya dengan harga 10rb, kini naik menjadi 20rb. Band yang ditunggu naik, menyapa semua orang, dan semuanya bersorak menyapa mereka. Lagu pertama adalah lagu yang cukup terkenal dari band mereka, HIVI; Siapkah Kau 'Tuk Jatuh Cinta Lagi'.

"Aku suka lagu ini," gumam Yaksa.

"Aku juga sering dengerin lagunya." Dan kini untuk beberapa part di lagu itu, mulai disukai juga oleh Amara.

Meski bibir ini tak berkata
Bukan berarti ku tak merasa
Ada yang berbeda di antara kita
Dan tak mungkin ku melewatkanmu hanya karena
Diriku tak mampu untuk bicara
Bahwa aku inginkan kau ada di hidupku

Lagu itu, khususnya part itu, masih terbayang-bayang bahkan hingga Amara berpamitan dengan Yaksa dengan alasan hujan sudah tidak sederas tadi, dan dia harus bertemu dengan temannya. Yaksa melambaikan tangan sambil tersenyum pada Amara dengan memegang payung. Amara juga melambaikan tangan, lalu berlari menebus hujan dan keramaian.

Hujan malam ini tidaklah buruk.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro