I Just Fall in love

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

A Fanfiction

'L'AMOUR

Nama, tokoh, karakter dan cerita hanya fiktif,
hasil imajinasi penulis.

💚

"Aku tak apa-apa, Natha-ya," ucap Se Riz begitu sang sahabat datang ke apartemennya pagi menjelang siang ini.

Natha Kim datang setelah melihat status yang diunggah Se Riz dengan caption, "Mingguku tergeletak tak berdaya di atas tempat tidur.🙃"

"Badanmu masih panas, Se Riz," kata Natha setelah mengecek suhu badan Se Riz. 37,9 derajat. "Katakan padaku kenapa kau bisa demam?" Lanjutnya.

"Semalam aku keluar dan ternyata dingin sekali," jawab Se Riz tanpa menceritakan yang sebenarnya.

"Kau sakit tapi diam saja?" tanya Natha.

"Mau apa?" Se Riz bertanya balik.

"Kau bodoh apa bagaimana? Jika sakit periksalah ke rumah sakit."

Se Riz menggeleng. "Shireo."

Natha mendelik pada sahabatnya itu. "Kau sakit dan harus diperiksa."

"Aku hanya demam, Natha-ya."

"Tetap saja kau sakit. Mau aku antar ke rumah sakit sekarang?" Natha melihat jam tangannya. Pukul 10.45. "Atau aku panggilkan dokter Bae Kyung? Dia pasti akan dengan senang hati kemari jika tahu kau sakit." Natha tersenyum menggoda setelah menyebut nama Bae Kyung.

"Andwae!" Se Riz menggeleng.

"Kenapa?" Natha memandang Se Riz.

"Jangan menggodaku, Natha." Se Riz duduk sambil memeluk lututnya.

"Menggoda apa? Tidak. Aku hanya ingin tahu reaksi mantan kekasihmu itu melihat kau sakit."

Se Riz mendengkus. "Bisa-bisanya kau menggoda sahabatmu yang sedang sakit."

Natha tertawa. "Mau atau tidak?"

"Tidak, Natha Kim. Dia pasti sibuk sejak pindah ke rumah sakit  di Seoul. Lagipula aku baik-baik saja." Se Riz melambai. Meskipun kepalanya terasa berdenyut dan hidungnya tak berhenti mengeluarkan cairan.

Natha menghela napas."Yakin?"

Se Riz mengangguk.

"Habiskan bubur herbal yang aku bawa biar badanmu tak lemas," perintah Natha.

"Iya nanti aku habiskan. Gomawo, Natha," ucap Se Riz. "Maaf merepotkan."

"Sama-sama, Sayang, tak masalah. Kau kan sudah seperti adikku sendiri. Aku akan senang hati merawatmu jika sakit." Natha mengusap lengan Se Riz.

"Aku menyayangimu, Natha," ucap Se Riz seraya memandang Natha haru.

"Aku tahu. Tapi maaf, Se Riz, aku menyayangi Loey," balas Natha. Membuat Se Riz memukul tangan sahabatnya kesal tapi wanita itu lalu tertawa.

"Ah, baiklah karena kau sudah tertawa artinya kau baik-baik saja jika aku tinggal," kata Natha kemudian.

"Kupikir kau akan merawatku seharian," ucap Se Riz saat Natha berdiri dan meraih slingbag miliknya di kursi.

"Hei, Nona. Ini Minggu dan aku punya kekasih. Kau tahu apa artinya?"

Se Riz mengangguk. Apalagi jika bukan kencan. "Baiklah, kau boleh pergi. Terimakasih ya," ucap Se Riz.

Natha mengangguk. "Tenang saja nanti akan ada seseorang yang merawatmu."

Belum sempat Se Riz bertanya seseorang yang dimaksud Natha, sahabatnya itu sudah berpamitan.

"Aku pergi. Bye, Se Riz. Cepat sembuh ya."

Se Riz mengangguk lalu merebahkan badannya kembali. Tak ada yang bisa dia lakukan jika sedang dalam kondisi tidak fit seperti ini padahal biasanya di Minggu pagi dia akan berlari di taman dekat apartemen.

"Tapi aku ingin berjalan-jalan sebentar," ucap Se Riz lalu turun dari ranjang.

Meraih cardigan, Se Riz keluar dari kamarnya. Ketika dia sedang memakai sandal, bel apartemennya berbunyi.

Tak berpikir atau menebak siapa yang datang, Se Riz membuka pintu dan seorang pria bermantel krem dan mengenakan topi tersenyum melihatnya.

"Hai," sapa pria itu.

Se Riz bergeming untuk sesaat sebelum akhirnya menyunggingkan senyum. "DK? Kapan kau kembali?"

"Baru saja," jawab DK. "Kau tak menawari kekasihmu ini masuk?"

"Ah, maaf aku lupa. Masuklah," kata Se Riz. Dia masuk setelah DK melangkah lebih dulu ke dalam apartemennya dengan menarik koper.

"Apa kau langsung kemari setelah dari bandara?" Se Riz mengekor DK.

DK mengangguk. "Begitu mendengar kau sakit, aku segera pulang," jawab DK. "Untung saja urusanku sudah selesai semalam."

Se Riz tersenyum tipis.

"Apa yang terjadi?" Lanjutnya lalu menatap Se Riz.

Tak perlu tahu dari siapa DK tahu dia sakit. Pasti Natha. Mereka cukup dekat sejak perusahaan keduanya menjalin kerjasama.

Belum sempat menjawab, DK meletakkan telapak tangannya di dahi Se Riz.

"Wah, berapa suhu badanmu?" tanya DK begitu merasakan suhu badan sang kekasih. "Mengapa tak memberitahuku kau sakit? Natha bilang kau tak mau ke dokter. Kenapa?" DK mengusap pipi Se Riz.

"Aku..."

"Bersiaplah. Aku akan mengantarmu ke rumah sakit," kata DK.

"Tapi, DK. Aku–"

DK menggeleng. "Aku akan tetap memaksamu meski kau menolak!" tandas pria itu tanpa bisa dibantah Se Riz.

"Baiklah," jawab Se Riz patuh.

Dua jam kemudian, Se Riz dan DK sudah kembali ke apartemen setelah pergi ke rumah sakit. Meski hanya demam, DK tak mungkin membiarkan sang kekasih sakit.

"Aku sudah bilang jangan keluar saat udara dingin," ucap DK saat dia membantu menyiapkan obat untuk diminum Se Riz.

"Maaf." Hanya itu yang keluar dari bibir Se Riz.

DK menghela napas lalu meraih gelas dan mengulurkan obat. "Minum dulu setelah itu kau bisa tidur."

Dengan patuh Se Riz membuka mulutnya. Dalam sekali tenggak obat yang berada di tangan DK sudah masuk ke dalam mulutnya.

"Aku benci obat," ucap Se Riz bergidik.

"Jika kau benci obat, kau harus lebih sayang pada tubuhmu sendiri, Noona."

"Ne, Kim Sajangnim." Se Riz mengangguk. "Kamsahamnida, sudah merawatku."

DK  tersenyum lalu memeluk Se Riz. "Sudah kewajibanku sebagai kekasih untuk menjaga dan merawatmu jika kau sakit. Aku menyayangimu kau tahu?"

Wanita itu mengangguk dalam dekapan sang kekasih. Rasanya sudah lama sekali Se Riz tak merasakan pelukan senyaman ini. Apakah dia harus sakit dulu agar DK ada di sisinya?

Pelukan DK terasa berbeda dengan pelukan Do Yeon. Tiba-tiba saja pikiran itu terlintas di pikiran Se Riz. Dia merutuk dalam hati mengapa memikirkan Do Yeon saat bersama DK.

"Tidurlah." DK mengusap punggung Se Riz sebelum melepas pelukan mereka.

"Jika aku tidur, kau pasti pulang bukan?" tanya Se Riz.

"I-" DK akan menjawab iya, tapi saat dilihatnya wajah Se Riz muram, dia mengganti ucapannya.

"Lalu apa maumu, Noona?"

Se Riz tak menjawab. Dia hanya memutar telunjuknya di punggung tangan DK.

"Kau ingin aku tetap di sini menemanimu, hm?" tanya DK peka. Se Riz mengangguk.

"Oke, tapi aku harus melepas mantelku dulu."

Se Riz baru sadar jika pria itu masih mengenakan mantel. Baru setelah DK melepas mantelnya, wanita itu kembali memeluk tangan DK.  Saat DK duduk di samping Se Riz, mengusap kepala sang kekasih, bel apartemen berbunyi.

Mengapa hari ini bel apartemenku seperti tak berhenti berbunyi, batin Se Riz.

"Siapa?" tanya Se Riz.

"Mungkin Eommamu," jawab DK. "Tadi aku sempat memberitahu beliau jika kau sakit. Apa kau tak mengatakan jika kau sakit?"

Se Riz menggeleng. "Harusnya kau diam saja, DK. Aku hanya tak ingin eommaku cemas."

"Sebagai orang tua, wajar jika beliau cemas mendengar anak gadisnya sakit." DK beranjak. "Aku akan membuka pintu dulu," lanjutnya saat bel berbunyi lagi.

Se Riz mengangguk. Wanita itu memejamkan matanya. Kantuk tiba-tiba datang. Hampir saja dia jatuh tertidur saat dia menyadari DK belum kembali. Terpaksa dia keluar kamar.

"Mengapa mereka lama sekali," gumam Se Riz lalu berjalan menuju pintu.

"Chagiya, kena–"

Ucapan Se Riz menggantung saat melihat DK berdiri di depan pintu dengan seorang pria.

Dua pria yang sedang bertatapan itu serempak menoleh ke arah Se Riz. Wanita itu menutup mulutnya, mencegah diri sendiri untuk berseru kaget saat melihat Do Yeon, pria yang berdiri di depan DK.

Astaga.

"Chagi, kau bangun? Ini temanmu datang," ucap DK lalu mendekat pada Se Riz dan mengusap lengan wanita itu.

Se Riz memandang DK. Mengapa pria itu bertanya dia bangun? Dia kan memang belum tidur saat DK pergi membuka pintu. Kemudian wanita itu mengalihkan pandangan pada pria di depan pintunya.

"Do Yeon," ucap Se Riz lirih. Dia tak yakin jika dia mengucapkan nama itu atau hanya menggumam.

"Hai, Se Riz," sapa Do Yeon kaku. "Bagaimana kabarmu? Aku mendengar kau sakit jadi aku membawakan ini." Pria itu mengangkat parcel buah di tangannya dengan senyum tipis.

DK menoleh pada Se Riz. "Wah, temanmu perhatian sekali ya," ucapnya lalu memandang ke arah Do Yeon.

Untuk sesaat kedua pria itu saling pandang. Se Riz merapatkan cardigan yang dipakainya. Tetiba udara dingin begitu terasa di sekitarnya. Apakah ini efek badannya yang sedang tidak fit?

"Terimakasih, teman Se Riz," kata DK lalu meraih parcel di tangan Do Yeon. "Aku terima ya."

Sebenarnya Do Yeon berharap Se Riz yang menerima bingkisan yang dia bawa tapi sudahlah, memangnya dia harus bertengkar dengan pria pirang itu, batinnya.

"Terimakasih, Doy," ucap Se Riz. Tersenyum.

Do Yeon mengangguk.

"Masuklah," lanjut Se Riz.

DK menoleh pada Se Riz. "Sayang, kau harus istirahat."

"Tapi Do–"

"Terimakasih, Riz. Aku pulang saja." Potong Do Yeon dengan ujung mata tertuju pada DK sebelum kemudian memandang Se Riz. "Aku tak ingin mengganggu waktu istirahatmu."

DK menatap Do Yeon dalam diam.

"Aku harap kau lekas pulih," tambah Do  Yeon.

Se Riz hanya mengangguk.

"Tenang saja. Ada aku, kekasihnya, yang akan merawat Se Riz." DK memeluk bahu Se Riz. Wanita itu tersenyum tipis melihat raut Do Yeon yang masam.

"Aku pergi." Do Yeon menatap Se Riz.

"Terimakasih, Do Yeon." Se Riz pun melambai begitu Do Yeon berbalik pergi.

"Hati-hati di jalan!" seru DK yang tak dihiraukan Do Yeon.

Pria itu terlalu kesal dengan apa yang terjadi barusan hingga tak berminat menjawab seruan kekasih Se Riz itu.

"Sial!" Rutuk Do Yeon saat dia masuk ke dalam lift. Melihat DK memeluk Se Riz dan memanggilnya 'Sayang' membuatnya kesal. Cemburu.

~l'amour~

"Hyung, kau sudah kembali? Cepat sekali? Bagaimana keadaan Se Riz noona? Apa dia–"

"Diam, Jung Won!"

Jung Won langsung menutup mulut begitu Do Yeon memotong ucapannya dengan tak bersahabat .Hyungnya itu masuk ke kamar dengan wajah mendung tanpa menjawab.

"Hyung," panggil Jung Won membuntuti Do Yeon masuk ke kamar. Dilihatnya pria kelinci itu melemparkan tubuhnya ke ranjang lalu menutup mukanya sendiri dengan bantal.

"Hyung, jangan bunuh diri," ucap Jung Won. Pria itu duduk di kursi memperhatikan tingkah yang lebih tua. "Kau kenapa sih?"

Do Yeon menghela napas panjang lalu mengangkat bantal yang menutupi mukanya.

"Dia ada di sana."

Alis Jung Won menyatu. Tak mengerti kalimat Do Yeon. Dia siapa?

"Noona di apartemen?" tanya Jung Won.

"Kekasihnya," jawab Do Yeon.

"Kekasih? Ah, CEO itu? Lalu apa yang terjadi?"

"Tak ada. Aku langsung pulang setelah memberikan parcel yang aku bawa."

"Kau tak bertemu noona?" Jung Won ingin tahu.

"Bertemu. Dia menyuruhku masuk tapi kekasihnya bilang Se Riz harus istirahat. Jadi aku pulang."

"Dengan kesal." Lanjut Jung Won kini mengerti mengapa hyungnya itu terlihat kesal. "Sabar ya, Hyung."

"Jika Se Riz tidak keluar, mungkin aku tak bertemu dengannya. Pria itu bilang jika Se Riz sudah tidur. Ck, dia berbohong." Do Yeon mendengkus.
"Aku tak suka pria itu ada di sana. Membayangkan dia memeluk Se Riz. Memanggilnya 'Sayang'."

"Tapi dia kan kekasih noona, Hyung. Wa–"

"Kau pikir aku siapa? Aku kan juga kekasihnya, Juon. Aku cemburu!" Nada bicara Do Yeon meninggi.

Jung Won mengatupkan bibirnya. Dia tak ingin mendebat Kim Do Yeon yang sedang emosi. Sama saja cari penyakit.

"Iya aku tahu. Tapi kan hyung tahu bagaimana posisimu. Kau hanya ...." Jung Won tidak meneruskan kalimatnya. Diliriknya Do Yeon dengan takut.

"Aku harus bisa merebut hati Se Riz sepenuhnya, Juon."

"Hyung,"

"Aku sudah berbuat segila ini dan tak akan menyerah begitu saja sebelum dia menjadi milikku sepenuhnya," tekad Do Yeon.

Jung Won tak tahu harus berkomentar apa. Dia hanya berdoa tak ada keributan yang terjadi nanti.

"Hwaiting, Hyung. Jangan menyesali apa yang nanti terjadi," kata Jung Won.

"Sesalku hanya satu. Jika tak bisa mendapatkan Se Riz," sahut Do Yeon lalu melirik ponselnya yang berkedip. Mendung di wajahnya perlahan sirna membaca pesan yang baru masuk.

Kenapa kau pulang begitu saja?
Tak tahukah kau jika aku mengharapkan kau datang?
Aku...

Alis Do Yeon naik membaca pesan Se Riz yang menggantung itu.

"Hyung?"

Mengabaikan Jung Won, Do Yeon membalas. Kamu kenapa, By?

Baby. Panggilan sayang itu terucap begitu saja dari bibirnya saat dia mengajak kencan Se Riz tempo hari. Dan Se Riz tak keberatan.

"Hyung?" Jung Won menaikkan alis melihat senyum tipis Do Yeon.

Aku merindukanmu.
Bisakah kau menelponku? Aku ingin mendengarmu bernyanyi.

Balasan  Se Riz membuat wajah Do Yeon berseri. Dia tak bisa menyembunyikan rasa gembiranya mendengar ah, bukan, membaca pesan Se Riz.

Dia merindukanku. Bukankah ini bagus? Batin Do Yeon.

"Hyung, kau baik-baik saja?"

Do Yeon memandang Jung Won dengan senyum lebar. "Eum, apa kau lapar, Juon?"

"Wae?" tanya Jung Won. Jam sudah menunjukkan  pukul 14.15 dan jam makan siang sudah lewat.

"Ayo keluar. Aku traktir belut panggang."

Jung Won tak tahu apa yang terjadi tapi jika akhirnya dia ditraktir tak masalah.

"Aku menyukaimu, Hyung," kata Jung Won.

~l'amour~

Se Riz tersenyum sambil memasukkan potongan tiramisu cake ke dalam mulutnya. Bukan karena rasa cakenya yang memang lezat tapi karena seseorang yang ada di depannya.

Kim Do Yeon. Pria itu datang ke apartemen sekitar pukul 20.00 membawa kue pesanan Se Riz. Tadinya pria itu ragu ingin datang karena berpikir ada pria pirang, kekasih Se Riz tetapi ketika membaca lagi pesan wanita itu yang ingin mendengar suaranya, dia pun memutuskan datang.

"Padahal aku hanya memintamu menelponku," kata Se Riz.

Do Yeon menggeleng. "Tapi aku ingin bertemu denganmu. Memastikan kau baik-baik saja."

Se Riz tersenyum lalu memasukkan potongan baru kuenya.

"Aku sudah lebih baik, Doy," kata Se Riz.

Do Yeon menatap Se Riz. "Syukurlah."

Se Riz mengangguk. "Kau hanya akan melihatku menghabiskan kue  ini tanpa membantu?"

"Kau tahu aku tak terlalu suka kue," jawab Do Yeon.

"Tapi ini enak. Cobalah." Se Riz menyendok potongan kue baru dan mengangkatnya ke mulut Do Yeon. "A...!" Perintah wanita itu agar kekasih keduanya membuka mulut.

Dan Do Yeon tak bisa menolak dengan puppy eyes Se Riz. Dia tersenyum.

"Enak bukan?" tanya Se Riz.

Do Yeon mengangguk. "Mungkin karena kau yang menyuapiku."

Se Riz tertawa.

"Mianhae," ujar Do Yeon. Membuat Se Riz menoleh.

"Wae?" Se Riz bertanya.

"Kau sakit karena aku mengajakmu melihat bintang semalam."

"Aniyo. Mungkin tubuhku memang sedang tidak fit jadi aku sakit," jawab Se Riz. "Hanya demam dan flu."

"Tapi tetap saja. Kau sakit karena aku."

"Jangan menyalahkan diri sendiri, Doy. Aku sungguh tak apa." Se Riz menepuk tangan Do Yeon. "Lebih baik sekarang kau nyanyikan lagu untukku." Wanita itu menyingkirkan kotak kuenya lalu memandang Do Yeon.

"Nyanyikan sebuah lagu agar perasaanku lebih baik." Pinta Se Riz.

"Kau ingin mendengar lagu apa?" tanya Do Yeon meraih jemari Se Riz.

"Something romantic atau terserah saja. Aku suka lagu apapun yang kau nyanyikan," jawab Se Riz. Sejak pria itu mengirimi video cover tempo hari, Se Riz sangat menyukai suara Do Yeon.

Do Yeon diam seakan sedang berpikir lagu apa yang akan dia nyanyikan.

"Aku mempunyai lagu favorit dan lagu ini mewakili perasaanku padamu," kata Do Yeon. "Kuharap kau suka."

Se Riz mengangguk. "Coba nyanyikan. Aku ingin tahu perasaanmu."

Do Yeon mengambil napas sebelum bibirnya mulai melantunkan lagu.

I just fall in love
Aku jatuh cinta

Oneuldo neoreul saranghae
Bahkan hari ini aku mencintaimu

Seolleneun nae mam gamchuryeo hae bondedo
Meskipun berusaha menyembunyikan hatiku yang berdebar

Dan han saramman nae nune boyeoyo
Hanya seorang yang kulihat di mataku

because of you you
Karena dirimu

If you leave me
Jika kau meninggalkanku

I’m broken in my heart
Aku hancur di hatiku

because of you you
Karena dirimu

always
Selalu

Neul nae gyeothe meomulleojwo
Tinggallah selalu disisiku

Eonjena jikhyeojulke
Aku akan selalu melindungimu

Eonjena neol saranghae to you
Selalu mencintaimu untukmu

baby I love you
Sayang aku mencintaimu

baby I need you
Sayang aku membutuhkanmu

Sarangi muldeureo
Mewarnai cinta

Neoran sesange nan ppajyeotjanha uh
Aku terjatuh ke dalam duniamu

baby I love you
Sayang aku mencintaimu

baby I need you
Sayang aku membutuhkanmu

Seolmueong hal su eobneun
Yang tak bisa dijelaskan

Dan hanaui sarang neoya it's you
Hanya satu cinta dirimu adalah dirimu

Lagu Because of You milik Huh Gak mengalun indah dari bibir Do Yeon. Itu bukan hanya sekedar nyanyian tapi perasaan Do Yeon untuk Se Riz. Dan wanita itu merasakan ketulusan dalam tiap kata yang keluar dari bibir manis Do Yeon. Perasaan Do Yeon diterima dengan baik oleh Se Riz. Perlahan air mata wanita itu turun saat menyadari sesuatu.

"Se Riz, kau menangis?" tanya Do Yeon begitu dia menyelesaikan lagunya. Dia menatap sang kekasih cemas. "Hei, kau kenapa? Sakit?" Lanjutnya melihat air mata  menuruni pipi pucat Se Riz.

Di depannya Se Riz menggeleng.

"Hei, katakan kenapa?" Do Yeon mengusap air mata Se Riz dengan ujung jarinya.

"Doy," panggil Se Riz.

"Apa? Katakan. Kau sakit lagi?"

Se Riz mengangguk.

Raut wajah Do Yeon berubah cemas. "Sakit? Bagian mana?" Pria itu meraba dahi Se Riz. Tak terlalu panas. "Kau pusing?"

Se Riz mengangguk.

"Astaga. Maafkan aku. Harusnya kau–"

"Hatiku sakit, Do Yeon." Se Riz menyela kalimat Do Yeon. Pria itu memandang Se Riz dengan alis terangkat.

"Hatimu? Kenapa? Kau ada riwayat penyakit hati?" tanya Do Yeon bingung. "Perlu kuantar ke dokter? Hatimu sakit sekali?"

Entah harus menangis atau tertawa melihat wajah cemas Do Yeon sekarang. Se Riz kemudian meraih jemari pria itu dan meletakkan ke dadanya.

"Kau tahu, rasanya hatiku sakit karena merasakan sesuatu," ucap Se Riz.

"Merasakan apa?" tanya Do Yeon. "Kau punya penyakit hati?"

Ingin sekali Se Riz tertawa tapi rasanya ini bukan waktu yang tepat.

"Doy dengar. Aku menyukaimu dan menangis karena aku baru sadar jika aku mencintaimu."

Selama beberapa saat Do Yeon hanya terpaku menatap Se Riz. Masih tak percaya dengan ucapan wanita itu.

"Aku mencintaimu, Kim Dong Yeon," ucap Se Riz jujur dengan perasaanya.

"Kau ... Serius? Mencintaiku?" Do Yeon tak percaya tapi Se Riz mengangguk. Meyakinkan jika apa yang dia katakan benar.

Kemudian Do Yeon meraih tangan Se Riz, menggenggamnya seraya tersenyum manis. "Terimakasih." Kemudian pria itu mendekat dan mengecup bibir ranum Se Riz.

"Aku mencintaimu, Yoon Se Riz."

Sementara itu di ruang tamu sebuah rumah bergaya modern, seorang wanita cantik tengah mengobrol dengan pria berambut pirang.

"Jadi dia datang ke pestamu Natal lalu dengan idol pria itu?" Si pria membuka suara.

"Aku juga tak menyangka. Mereka terlihat begitu dekat," jawab si wanita.

"Dekat seperti apa? Dia mengatakan sesuatu tentang hubungan mereka?"

"Dia bilang mereka hanya teman."

Teman macam apa yang memeluk dan mencium kekasih orang lain, cibir pria itu dalam hati.

"Apa kau berpikiran sepertiku?" Wanita tadi bertanya saat pria di depannya diam. "Aku menghawatirkan satu hal."

"Apa?"

"Mereka menjalin hubungan di belakangmu."

"..."

"..."

"Jika benar itu yang terjadi aku harus melakukan sesuatu."

"Apa? Melarangnya bertemu pria itu atau sebaliknya?"

Pria pirang itu menggeleng. "Aniyo. Aku punya rencana agar pria itu berbalik pergi dengan sendirinya."

"Bagaimana?"

💚

----Note

Chagiya / Chagi : Sayang

----
Se Riz Yoon
12.10.2020

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro

#nubargwp