Is It Okay?

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

L'AMOUR
A Fanfiction

'
Nama, tokoh, karakter dan cerita hanya fiktif,
hasil imajinasi penulis.

💚

Langit malam bulan Desember tampak begitu berkilap dengan ribuan bintang di atas kota Seoul. Seperti berlian, berkilauan memanjakan mata yang memandang. Membuat kagum manusia atas ciptaan Tuhan yang Maha Agung itu.

"Aku tak tahu jika melihat bintang bisa semenarik ini," ujar Se Riz. Netra beningnya masih menatap bintang yang berpendar indah di langit malam.

Di sebelahnya, Do Yeon tersenyum. "Itu karena kau melihatnya bersamaku."

Se Riz menarik ujung bibirnya. "Aku tak yakin karena itu alasannya."

"Lalu apa?" Do Yeon menoleh. "Kau pernah melihat bintang sebelumnya? Dengan siapa? Di mana? Apa seindah ini?" Cecarnya.

Se Riz tersenyum tipis mendengar rentetan pertanyaan Do Yeon. Jujur, dia tak terlalu suka pria cerewet seperti kakak laki-lakinya tapi pria di sebelahnya ini pengecualian.

Se Riz hanya menggeleng. "Aku bahkan tak pernah memperhatikan langit saat malam, Doy. Aku terlalu lelah dengan pekerjaanku."

"Sama sekali?"

"Eum, mungkin pernah sekilas dari kamar apartemenku. Tapi jika benar-benar melihat bintang seperti ini, tidak." Se Riz menggeleng.

"Pria itu tak pernah mengajakmu keluar?" Tanya Do Yeon.

Sejenak Se Riz diam, berpikir siapa yang dimaksud  Do Yeon hingga dia tersenyum tipis begitu menebak mungkin DK.

"Tidak," jawab Se Riz pendek. Jika dia keluar dengan DK, tak ada yang spesial. Jarang sekali pergi ke tempat terbuka seperti ini.

"Jika begitu berterimakasihlah padaku," ucap Do Yeon. "Karena aku, kau bisa melihat pemandangan indah ini." Mata pria itu memandang langit dengan takjub. Bibirnya menyenandungkan sebuah lagu.

Mendengar suara lembut Do Yeon, Se Riz tersenyum. "Ne, gomawo, Do Yeon," ucap Se Riz. "Kekasihku."

Do Yeon menoleh pada Se Riz. Bibirnya berhenti bernyanyi kemudian mengembangkan senyum mendengar bagaimana Se Riz menyebutnya.

"Ah, kau benar di sini dingin sekali," kata Se Riz lalu mengusap bahunya. Matanya memandang kota Seoul dari tempat mereka berdiri. Namsan Tower. Di bawah sana, kota terlihat indah di malam hari karena efek lampu yang menyala.

Melihat itu Do Yeon perlahan mendekat, berdiri di belakang Se Riz sebelum memeluk wanita itu.

"Sekarang bagaimana?" tanya Do Yeon. Dia memeluk Se Riz erat. Kepalanya ia letakkan di bahu kekasihnya itu.

"Doy, apa yang kau lakukan?" tanya Se Riz. Dia perlahan menoleh pada Do Yeon dan mendapati wajah pria itu tepat di depannya.

"Kau bilang dingin, jadi aku ingin membuatmu sedikit lebih baik dengan memelukmu," jawab Do Yeon.

"Tapi di sini banyak orang," kata Se Riz melirik ke sebelah mereka.

Do Yeon tahu. Namsan Tower di Sabtu malam seperti sekarang banyak sekali pengunjung yang datang.

"Iya tapi mereka juga sibuk dengan pasangan masing-masing," balas Do Yeon tak peduli. Pria itu tersenyum. Terlihat lekukan kecil di atas bibir kanannya seperti dimple.

Se Riz menahan napas. Do Yeon membuatnya terpesona dengan hal-hal kecil tentang pria itu.

"Se Riz," panggil Do Yeon.

"Heum." Se Riz hanya menggumam. Dia mengalihkan tatapan matanya dari dimple tadi dan mendapati Do Yeon menatapnya lekat. "Apa?"

"Aku..."

Se Riz menunggu. Dia bisa merasakan napas Do Yeon dari jarak yang begitu dekat seperti ini.

"Aku..."

"Katakan, Do Yeon," pinta Se Riz.

Do Yeon mengangkat wajahnya dari bahu Se Riz lalu memutar badan wanita itu hingga mereka saling berhadapan.

"Aku ingin..."

Se Riz memutar bola matanya. Sebenarnya apa yang ingin dikatakan Do Yeon? Alis Se Riz menaut dan otaknya berpikir sesuatu saat pandangan Do Yeon turun dari mata ke bibirnya.

Wait, apakah Do Yeon...

Do Yeon menatap bibir Se Riz. Bukan kali ini dia melihat bibir wanita, bahkan yang lebih seksi dari bibir wanita di depannya itu, namun dia tak pernah berpikiran apa-apa. Tapi kali ini, saat melihat bibir Se Riz, sebagai seorang pria dewasa dia tak bisa menahan godaan untuk mencicipi bagaimana rasanya bibir merah itu. Perlahan, pria itu menunduk memangkas jarak. Di depannya, Se Riz menahan napas ketika bibir mereka semakin mendekat. Jantungnya berdebar di luar kendali.

Apakah Do Yeon akan menciumku? Batinnya. Mencoba bersikap biasa saja meski sebenarnya dia gugup, Se Riz perlahan menutup mata saat bibir Do Yeon dan bibirnya tak berjarak. Selanjutnya,

















Drrttttt!!!!! Drrrrrtttttttttt!!!























Getaran ponsel membuat Se Riz membuka matanya.

"Ponselmu, Doy," ucap Se Riz setelah dia mengecek bukan ponselnya yang bergetar. Dia menepuk dada Do Yeon lalu menjaga jarak.

Do Yeon menaikkan sebelah alisnya lalu meraba saku jaket dan meraih benda yang dengan tidak sopan sudah mengganggu momen pentingnya.

"Ne, Hyung. Wae geurae?" tanya Do Yeon. Terdengar suara seseorang di seberang.

"Aku sedang jalan-jalan."

"..."

Se Riz merapatkan jaket yang dia pakai dan memeluk dirinya sendiri. Hawa dingin ini membuatnya menggigil. Kemudian diliriknya Do Yeon yang tampak kesal.

"Lagipula tak ada jadwal yang harus kita lakukan bukan?"

"..."

"Aku tahu, Hyung. Iya, iya. Annyeong." Do Yeon menutup panggilan dan memasukkan ponselnya ke dalam saku jaket dengan kesal.

Se Riz memandang Do Yeon dengan tanya. "Ada apa?"

Do Yeon mengangkat bahu. "Salah satu hyungku mengkhawatirkanku."

"Siapa? Taeyeo?" tanya Se Riz. Suara seseorang yang tadi berbicara dengan Do Yeon tak begitu jelas terdengar.

Mata Do Yeon menatap Se Riz.

"Haruskah kau menanyakan dia?" Do Yeon justru balik bertanya dengan nada tak suka.

"Wae? Aku hanya menebak apa itu dia. Lagipula memangnya aku tak boleh bertanya tentang Taeyeo?"

Do Yeon menggeleng. "Sekarang kan aku kekasihmu. Kau tak boleh melihat pria lain di dalam ENKOTA."

"Tapi kan dia biasku," balas Se Riz.

"Andwae! Mulai sekarang hanya ada aku. Kau hanya boleh menyukaiku."

"Bagaimana bisa? Lee Tae-"

"Hanya Kim Do Yeon. Fokus saja padaku. Titik!" tegas Do Yeon, memotong ucapan Se Riz.

Se Riz menggeleng. "Oke, oke." Dia tertawa dengan sikap Do Yeon. Apakah pria ini cemburu atau posesif? Kekanakan sekali, pikir Se Riz, tapi lucu.

Di sebelahnya Do Yeon memandang sang kekasih kesal. "Kau menertawakan apa?"

"Tidak." Se Riz menggeleng. "Aku hanya.. ha... Hatchi! Hatchi!!!"

Kalimat Se Riz terhenti saat dua tiba-tiba bersin. Tangannya refleks menutupi hidung.

Do Yeon memandang Se Riz. Hidung wanita itu memerah, begitupula wajahnya.

"Sepertinya kita sudah terlalu lama di sini. Ayo pulang sebelum udara bertambah dingin dan kau terkena flu dan sakit. Wajahmu sudah seperti tomat matang," kata Do Yeon menatap Se Riz khawatir.

Se Riz menggosok hidungnya yang gatal.

"Kajja," ucap Do Yeon lalu meraih tangan Se Riz.

Meski sebenarnya Se Riz ingin lebih lama di Namsan Tower melihat hamparan bintang di langit tapi udara dingin memang tak baik untuknya. Jika nanti sampai di apartemen dia masih bersin-bersin juga apalagi demam, dipastikan besok dia akan tergeletak di ranjang. Yah, tubuh Se Riz tak bisa tahan dengan udara dingin.

Do Yeon dan Se Riz pun meninggalkan tower Namsan di saat udara semakin turun.

"Kau baik-baik saja?" tanya Do Yeon begitu mereka di dalam mobil, dalam perjalanan pulang ke apartemen Se Riz.

Se Riz mengangguk. "Lebih baik," jawabnya. Dia merapatkan jaket milik Do Yeon di badannya.

Do Yeon mengangguk lalu memastikan dia sudah mematikan AC dan menghidupkan penghangat mobil.

"Bagaimana jika kita ke rumah sakit?" Usul pria itu.

"Untuk apa? Aku hanya bersin-bersin, Doy," jawab Se Riz.

"Tapi kau terlihat...," Do Yeon memandang wajah Se Riz yang terlihat memucat. "Pucat."

Se Riz menggeleng.  "Tak perlu ke rumah sakit," ucapnya.

"Atau kita mampir ke apotek membeli obat?"

Gelengan Se Riz membuat Do Yeon tak tenang. "Tapi, Se Riz, kau-"

"Aku hanya kedinginan, Doy. Sudah biasa seperti ini," jawab Se Riz seraya tersenyum. "Aku tak apa-apa. Kita pulang saja."

Ragu, Doy mengangguk. "Baiklah jika itu maumu. Apa di rumah kau ada obat?"

"Sepertinya ada," jawab Se Riz mengingat DK selalu mengingatkan dia untuk menyediakan obat-obatan.

"Baiklah." Pria itu lalu melirik spion samping mobil. Tak banyak kendaraan, mungkin dia bisa sedikit mempercepat laju mobilnya.

Tanpa Doy sadari ada sebuah mobil yang mengikutinya begitu keluar dari Namsan Tower dan tetap di belakang mobil pria kelinci itu hingga sampai di apartemen Se Riz.

~l'amour~

Do Yeon bersiul senang sambil merebahkan badannya di ranjang kecilnya. Tangannya mengetik pesan dengan cepat. Musik yang dia putar melalui ponselnya memenuhi kamar, membuatnya tak menyadari ketukan di pintu kamarnya.

Di luar kamar, berdiri Ha Joon. Pria Chicago yang terpaut usia satu tahun dari Do Yeon itu menaikkan alis tak ada sahutan dari dalam kamar pria yang lebih muda itu.

"Apa dia sudah tidur?" Tanya Ha Joon lalu melirik jam di tangan kirinya. Pukul 23.15. Tetapi pria itu ragu jika Do Yeon sudah tidur karena samar dia mendengar musik dari dalam kamar Do Yeon. Pria yang sama-sama lahir di bulan Februari itu pun meraih handle pintu yang tak terkunci dan membukanya.

"Doye?" Panggil Ha Joon dan mendapati Do Yeon sedang tersenyum menatap ponselnya. Perlahan dia mendekat tanpa sepengetahuan Do Yeon.

"What are you doing, Doye?"

Pertanyaan Ha Joon membuat Do Yeon tersentak.

"Aigoo kamchagiya!" serunya. Dan ponsel biru di tangan Do Yeon meluncur bebas ke lantai.

Ha Joon terkekeh lalu meraih ponsel Do Yeon. Alisnya naik saat matanya tak sengaja membaca pesan pria itu dengan seseorang. Sebuah nama yang tak asing. Hanya saja dua baris pesan terakhir membuatnya tertarik.

Tidurlah. Love you, baby Riz.

Nado, Doy. 😊

Saat Johnny ingin membaca keseluruhan pesan, tangan Do Yeon sudah terulur meraih gadget miliknya.

"Terimakasih, Hyung. Ponselku baik-baik saja kan?" Do Yeon tersenyum.

"Baby Riz?" Tanya Ha Joon.

Do Yeon mendelik memandang Ha Joon. "Kau membaca pesanku?"

Ha Joon duduk di ujung ranjang Do Yeon sebelum menggeleng. "Tak semua karena kau sudah mengambilnya dariku."

Do Yeon menghela napas. Syukurlah, batinnya.

"Jadi bagaimana?" Ha Joon bertanya.

"Bagaimana apanya?" Yang ditanya palah balik bertanya.

"Ayolah. Katakan padaku apa yang kau lakukan seharian ini?" Ha Joon ingin tahu. "Sabtu malam ini lebih tepatnya. Kau tak ada di dorm saat yang lain bersenang-senang."

"Ah, itu..." Do Yeon sedang mencari alasan.

"Come on. Kau tak akan bisa berbohong padaku, Doye."

"Aku bahkan belum mengatakan apa-apa. Bagaimana kau bilang aku berbohong?" Ucap Do Yeon tak terima.

Ha Joon mengangkat bahu. "Aku tahu kau sedang mencari alasan."

Wah, Ha Joon tahu apa yang ada di pikiran Kim Do Yeon.

"Biar aku tebak, kau pergi dengan Se Riz? Wanita kekasih CEO pemilik hotel terkenal di Korea itu?"

Do Yeon tak mengangguk ataupun menggeleng. Tapi Ha Joon tahu pasti jawabannya dan dia menghela napas.

"Doye, kau tahu kau bisa bercerita apapun padaku. Aku bisa menjaga rahasia," ucap Ha Joon. Memancing agar Do Yeon bercerita padanya.

"Ah, iya." Ha Joon membuka mulut ketika teringat sesuatu. Do Yeon menoleh. "Apa kau tahu jika Tae Lee hyung melihatmu saat kau dan Se Riz jalan tempo hari?"

Do Yeon belum menjawab tapi dia mengangguk. "Ya, kemarin Tae Lee hyung bertanya padaku."

"Lalu?"

"Aku jawab jika itu bukan aku," jawab Doy. "Aku bilang, bisa saja itu pria lain yang memakai jaket dan topi yang sama denganku."

"Dan dia percaya?"

Do Yeon mengendikkan bahu. "Sepertinya karena Tae Lee hyung tak bertanya lagi."

Ha Joon hanya mengangguk.

"Jadi sekarang ceritakan padaku. Apa yang kau lakukan tadi? Dan yang membuatku penasaran kau menulis 'baby Riz' yang berarti Se Riz bukan? Lalu dia menjawab, 'Nado' saat membalas pesan 'Love you'-mu di pesan tadi. Bukankah kau bilang dia sudah menolakmu? Apa yang terjadi?"

Do Yeon menghela napas. Dia harus jujur pada Ha Joon. Pria itu tak akan bisa dibohongi.

"Yah, aku mengatakan jika aku serius mencintainya dan tak masalah jika harus menjadi yang kedua baginya. Lalu kami pun memutuskan untuk backstreet," cerita Do Yeon singkat dan jelas.

"Backstreet?! Are you crazy, Kim Do Yeon?!" seru Ha Joon sambil menatap Do Yeon tak percaya. "What the f*. Entah siapa yang gila di antara kalian berdua." Ha Joon menggeleng. "Ah, bukan. Rasanya kalian berdua sudah gila."

"Gila kenapa?"

Ha Joon menunjuk wajah Do Yeon. "Kau. Berkencan. Dengan. Kekasih. Orang. Lain. Dan. Wanita. Itu. Tak. Menolak."

"Tapi aku mencintainya, Hyung," kata Do Yeon. "Dan aku rasa Se Riz juga. Makanya kami memutuskan untuk menjalin hubungan ini."

"Bagaimana jika kekasihnya tahu?" Ha Joon bersedekap.

"Tak akan tahu selama Se Riz tak menceritakan pada kekasihnya itu dan aku tahu dia tak sebodoh itu."

"Pertanyaanku." Ha Joon duduk menghadap ke arah Do Yeon yang sekarang mengambil posisi duduk. "Bagaimana Se Riz akhirnya mau menerimamu menjadi selingkuhannya?"

Do Yeon mengangkat bahu. Dia sebenarnya tak peduli alasan Se Riz menerimanya tapi dia teringat cerita wanita itu tentang kekasihnya.

"Mungkin karena kekasihnya terlalu sibuk, Hyung. Se Riz pernah bercerita padaku jika dia lelah. Kekasihnya yang CEO itu lebih memilih pekerjaannya dibanding menghabiskan waktu dengannya. Kau tahu rasanya diabaikan?"

Ha Joon perlahan mengangguk. "Oh, begitu." Dia sedikit mengerti. "Dan kau datang saat dia merasa kesepian."

Do Yeon mengangguk.

"Tapi tetap saja gila. Kalian tak berpikir jika suatu saat hubungan kalian diketahui oleh kekasih Se Riz? Atau lebih parah hubungan terlarang kalian terendus media?"

Do Yeon diam. Dia tak berpikir sejauh itu.

~l'amour~

Drrttttt. Drrttttt. Drrttttt.

Seorang pria berkacamata mengalihkan pandangan dari laptop di pangkuannya begitu Sumsang Note 20 Mystic Bronze miliknya bergetar dan berputar, menandakan ada panggilan masuk. Tangannya beralih dari keyboard laptop menuju gadget.

"Yeoboseyo," sapanya.

"Yeoboseyo, Tuan. Ini saya."

"Iya, aku tahu. Bagaimana?"

"Ternyata benar. Mereka sudah beberapa kali keluar bersama dan malam ini mereka pergi ke Namsan. Dari sana, mereka kembali ke apartemen dan si pria keluar tiga jam setelahnya."

Pria berkacamata itu diam.

"Kau tahu siapa pria itu?"

"Saya berhasil mengambil beberapa foto mereka dan akan saya kirim setelah ini, Tuan."

"Ah, baiklah. Terimakasih."

Pria berkacamata itu lantas mematikan panggilan. Tak lama setelahnya, dia menerima beberapa foto dari nomor tadi. Foto-foto kebersamaan wanita terpenting di hidupnya yang tengah tertawa dengan seorang pria berambut hitam. Kemudian obsidian pria itu beralih pada dua foto terakhir. Si pria memeluk wanitanya dan tatapannya menajam melihat foto pria itu menunduk ke arah kekasihnya dengan wajah tak berjarak. Rahangnya mengeras melihat foto itu.

"Apa yang kau lakukan di belakangku, Noona?"

💚

----Notes

Aigoo kamchagiya : Astaga

Yeoboseyo : Halo

----
Se Riz Yoon
11.10.2020

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro

#nubargwp