Part 34

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Seperti hari-hari biasanya. Setiap pukul 7 pagi, Dara pasti sudah berada di dalam kelasnya.

Seharusnya pembelajaran hari ini sudah dimulai. Namun, katanya guru yang akan mengajar tidak bisa datang karena ada urusan mendadak. Sehingga, Dara dan teman-teman sekelasnya diberi tugas.

Namun, jangan percaya ketika diberi tugas semuanya akan mengerjakan. Karena, saat ini kelas Dara begitu ricuh.

Ada yang melanjutkan tidurnya. Ada yang menggosip, ada yang lari-larian mengitari kelas. Bahkan, ini malah jadi kesempatan bagus untuk bendahara menagih uang kas karena masih pagi.

Ada juga yang asik mabar di pojokan, sampai ada yang memilih berselfie ria.

Yang mengerjakan hanya mereka murid-murid rajin. Dan sisanya, akan menyontek. Sepertinya, itu sudah menjadi kebiasaan buruk yang sulit dihilangkan oleh anak-anak sekolah.

"Dar, gimana? Keren gak?" Pandu memberikan ponselnya yang menampilkan design buatan cowok itu.

Dara diam beberapa saat. "Bagus. Coba lo kirim ke anak kelas sebelah. Kalau dia setuju, ya bagus. Kalau enggak, nanti kita bikin lagi design yang lain."

Pandu mengangguk. Cowok itu mengirimkan hasil designnya pada nomor Pelanggan pertama mereka.

Sedangkan Dara, gadis itu terlihat fokus membuat design juga di aplikasi yang berada pada ponselnya.

"Dar, ngerjain tugas dulu, kek," ucap Pandu.

"Iya, nanti. Tanggung, nih."

Pandu mengedikan bahunya tak acuh. Cowok itu memilih beranjak dan kembali ke tempat duduknya.

Sedangkan Melly, ia tengah duduk bersama Danu dan mengerjakan tugas bersama di bangku Danu.

Tring!

Dara berdecak kesal. Gadis itu terpaksa menunda pekerjaannya dan memilih membuka notifikasi itu.

Langit : (Mengirim foto)

Langit : Ganteng banget ya? Mirip masa depannya Dara Rizqika Rahayu gak, sih?

Langit : Tadi katanya dia titip salam, gak sabar mau ketemu. Masa dia sombong ke gue, katanya pacar dia cantik banget. Gue kan jadi iri

Dara tertawa pelan. Langit mengirimkan foto dirinya sendiri yang memasang wajah sok ganteng.

Jari jemari Dara akhirnya memilih mengetikkan balasan.

Dara : Yaudah, bilang ke dia, yang semangat shootingnya. Biar cepet beres, cepet ketemu

Langit : Loh? Kok ngebales, sih? Emang belum masuk? Tapi, kata Langit makasih ya udah kasih semangat, dia langsung salto tuh. Lebay banget, kan?

Dara : Udah masuk. Tapi gurunya gak bisa dateng. Tapi dikasih tugas.

Dara : Salto? Gak sekalian terjun dari atas gedung?

Langit : Oh, yaudah sana kerjain. Main hp mulu_-

Langit : Enggak, masih sayang nyawa. Lagian, katanya, dia juga masih pengen jadi calon suaminya si Dara. Gila sih, bucin banget

Dara menggelengkan kepalanya pelan. Ia memilih membalas emoticon tertawa. Setelahnya, ia mematikan ponsel dan memilih mulai mengerjakan tugasnya.

Di bangku Pandu, Danu sedaritadi mencolek lengan Pandu beberapa kali menggoda cowok itu. "Liat, deh. Dara ketawa-ketawa sendiri. Gimana rasanya, Du?"

"Rasa apaan, jingan?! Gue sama Dara itu temen tanpa melibatkan perasaan!"

"Yakin? Emak udah setuju loh. Gak mau dipepet?" Tora menaik turunkan alisnya.

Pandu menggeleng tegas. "Enggak! Enak aja. Lo pada juga udah tau alasan gue betah cees-an sama Dara. Dara gak akan minta kepastian sama gue, dia orangnya gak baperan!"

"Tapi sama Langit dia langsung nyangkut," ucap Tora.

"Gue sadar diri, gue sama Langit beda jauh. Si Langit ganteng diakui sama semua orang. Lah gue? Cuman diakui sama Emak gue aja. Udahlah, intinya gue sama Dara temen real tanpa perasaan! Sekali lagi ngomong gue suka sama Dara, gue jadiin sop sama kambing lo pada!" Pandu menatap Danu dan Tora tajam.

Melly memilih fokus mengerjakan tugasnya saja. Rupanya, bukan hanya pada Melly. Pada Dara pun, Pandu enggan membuka hati.

Berarti, pendirian Pandu soal dirinya tidak akan berpacaran sebelum mendapat pekerjaan memang benar adanya.

"Baperan banget lo, Du. Gue kan cuman bercanda, musuhan aja lah kita!" Tora mendengkus sebal.

"Yaudah! Gak usah dateng lagi ke rumah gue lo. Awas aja pulang sekolah ngemis-ngemis minta makan sama Emak gue. Gue tendang lo sampe ke Antartika!"

***

"Bang, gue udah selesai kan?" tanya Langit pada managernya.

Namanya Aldo. Cowok berumur 26 tahun itu mengangguk. "Udah. Besok lo gak ada jadwal. Harusnya sih sampe lusa karena itu persiapan buat berangkat ke Bandung. Tapi, nanti lusa lo dapet undangan talk show bareng Anara. Setelah itu, Nanti hari selasa, kita berangkat ke Bandung."

"Kalau lo keberatan, kita bisa tolak."

Selain proses shooting di beberapa tempat berlokasi Jakarta, project film Cinta dan Rahasia pun, berlokasi di Bandung juga.

Langit mengangguk. "Lusa jam berapa emangnya?"

"Sore."

"Oh, yaudah. Gue bisa. Terima aja, Bang. Kalau gitu, gue udah bisa pulang sekarang, kan?"

Aldo memicingkan matanya. "Mau ketemu doi?"

"Yoi." Langit tertawa menanggapinya.
Aldo menggeleng pelan ketika Langit memilih melangkah pergi meninggalkan lokasi.

Saat sampai di parkiran, ia melihat Anara, manager, dan Asistennya tengah kebingungan di depan mobil.

Langit melangkah mendekati mereka. "Kenapa?" tanya Langit.

"Eh, ini, Lang. Tiba-tiba mogok, gak tau kenapa," jawab Anara.

"Udah telepon bengkel?" tanya Langit.

Asisten Anara mengangguk. Namanya
Sundari. Ia masih muda … umurnya sekitar 20 tahunan. "Udah, Mas. Tapi gak diangkat."

"Mau bareng gue aja?" tanya Langit menawarkan.

Manager Anara—Doni namanya. Ia menatap Anara dan Sundari bergantian. "Kalian aja, deh. Mobil biar gue yang urus."

"Eh, emang berani sendirian? Gak takut diculik?" tanya Langit bercanda.

"Ah, si Langit bisa aja. Orang mana yang mau nyulik muka sangar kayak gue?" Doni tertawa yang dibalas tawaan juga oleh Langit.

Langit kemudian menatap ke arah Anara dan Sundari. "Gimana? Mau bareng?"

"Emang gak ngerepotin?" tanya Anara.

"Yaelah, Ra. Kayak ke siapa aja. Ayo, gue tunggu di mobil. Bang Doni, duluan, ya!" pamit Langit yang diacungi jempol oleh Doni.

Langit memilih berjalan ke arah mobilnya dan masuk. Sembari menunggu Anara, ia memilih melihat-lihat story whatsapp Dara.

Hanya ada satu. Dan itu menunjukan design baju dengan caption mau? Pesen makannya.

Langit terkekeh pelan.

Tak lama, Anara dan Sundari masuk ke dalam mobil.

Langit mendongak. Cowok itu memilih menyimpan ponselnya ke dalam saku celana. "Udah?"

"Udah."

Langit akhirnya memilih menyalakan mesin dan melajukan mobilnya dengan kecepatan rata-rata.

Hari masih siang, dan Langit bersyukur urusannya lebih cepat dari yang ia kira. Ia tak sabar bertemu dengan Dara.

"Lang, lihat, deh." Anara menyodorkan ponselnya.

Langit melihatnya sekilas dan memilih fokus ke jalanan kembali. Namun, cowok itu tekekeh pelan.

"Cinta lokasi, Anara Alovi dan Langit Candra Alvarizki yang diduga lawan main di project barunya, ini potret kebersamaan keduanya." Anara membacakan artikel itu.

Ia tertawa keras sampai memukul lengan Langit beberapa kali. "Gila kali ya, mana mau gue sama lo."

"Dih, lo kira gue mau sama lo?" Langit mengacak puncak kepala gadis itu dengan gemas.

Anara menepisnya. "Ya pasti maulah. Gue kan cantik, bagus buat memperbaiki keturunan lo."

"Mohon maaf, nih, Pacar gue lebih cocok buat memperbaiki keturunan. Selain memperbaiki paras, dia juga memperbaiki ahlak." Langit tertawa, begitupun dengan Anara.

Sundari yang melihat mereka tertawa lepas begitu, rasanya senang sekali. Andai saja keduanya benar-benar couple di real life, sepertinya akan sangat cocok sekali.

Selain mereka nyambung, keduanya juga memiliki paras yang bisa dibilang Cantik dan Tampan. Dan lagi, jika mengobrol keduanya pasti sama-sama heboh dan membuat suasana menjadi hangat.

Sayangnya, Anara sudah memiliki kekasih. Langit juga sama. Apalagi, yang Sundari lihat, setiap break Langit dan Anara selalu bercerita dan saling membanggakan kekasih mereka masing-masing.

"Lo pikir ahlak gue gimana, huh? Emang minta gue jewer lo!" Anara menjewer telinga Langit.

"E-eh! Aduh! Ini gue lagi nyetir, Bocil!" Langit menepis tangan Anara.

Anara tertawa lagi. Langit mendengkus kesal. "Tau gini gak akan gue tolongin lo!"

***

Setelah mengantar Anara dan Sundari, Langit langsung pulang ke rumahnya. Cowok itu saat ini tengah duduk di balkon kamarnya menunggu sore tiba dengan gitar pemberian Dara yang berada di pangkuannya.

Dia tidak sendiri, di sampingnya ada Cakra dan juga Sonya. Persahabatan mereka mulai membaik sejak beberapa bulan yang lalu.

Sonya dan Cakra bukan lagi tunangan. Sonya dan Langit sepakat tidak membahas soal hubungan mereka yang dulu. Mereka bertiga sepakat untuk kembali menjadi seorang sahabat lagi.

"Berita soal kamu sama Anara cinta lokasi beneran?" tanya Sonya.

Langit yang tadinya tengah memetik gitar, langsung menatap ke arah Sonya dan tertawa. "Enggak lah. Yakali."

"Kalau bener, awas aja! Nih, bogeman Cakra siap mendarat di otak kamu biar bisa mikir." Sonya meraih tangan Cakra yang cowok itu kepalkan seperti akan menonjok.

"Enggak, kok. Emang sempet baper, tapi gue langsung sadar kok pas ketemu sama Dara. Akhirnya gue sama Anara ya pure cuman temenan. Lagian, dia juga udah punya pacar."

Cakra mengangkat sebelah alisnya. "Maksud lo, kalau dia enggak punya pacar, lo mau pepet dia?"

"Enggak, Bang! Kenapa sih pada curigaan banget. Gue kan udah ada Dara." Langit mendengkus pelan.

Cowok itu beranjak. Kemudian, ia memberikan gitarnya pada Cakra. "Gue mau mandi. Ada janji sama Dara."

"Katanya sore?"

"Males liat muka lo. Mendingan liat muka Dara. Bye!" Langit memilih masuk ke dalam kamarnya dan menuju kamar mandi.

Di lain tempat, Dara baru saja pulang. Bukan pulang sekolah, tapi pulang dari tepat sablon untuk setor design baju.

Syukurlah, dua kelas itu langsung setuju dengan design yang Dara dan Pandu buat.

Dara menyandarkan punggungnya di sofa. Ia menatap ke arah Reza yang terlihat anteng menonton televisi dengan keripik dalam toples yang ia peluk.

"Gak akan gue ambil, Za. Toplesnya simpen di meja bisa kali," sindir Dara.

"Rasanya beda," jawab Reza tanpa mengalihkan pandangannya dari televisi.

"Mandi sana, bau asem lo." Reza melirik ke arah Dara.

Dara mencium bajunya sendiri. "Enggak, anjir!"

"Enggak? Yaudah, berarti emang enggak."

Dara mendengkus pelan. Gadis itu memilih beranjak dan berjalan ke arah kamarnya. Setelah sampai, ia memilih merebahkan tubuhnya dan mengecek whatsapp.

Kemudian, ada beberapa notifikasi yang berasal dari Melly.

Dara membukanya.

Melly : Dar, ini beneran mobil Langit?

Melly : (Mengirim foto)

Melly : Gue dapet di salah satu akun fansnya Anara gitu

Di sana, foto Anara terlihat hendak masuk ke dalam mobil. Dan Dara ingat sekali, itu memang mobil milik Langit.

Caption yang tertulis di sana, 'Udah terang-terangan anter pulang, ya, sekarang."

Dara tak mau ambil pusing. Lagipula, mungkin memang ada alasan mengapa Anara pulang bersama Langit.

Wajar saja, Langit dan Anara public figure. Apa yang mereka lakukan, apa-apa pasti dibesar-besarkan.

***

Sore harinya, Langit benar-benar menepati janjinya. Saat ini, ia berada di depan rumah Dara dan menunggu sang pemilik rumah keluar.

Tak lama, pintu terbuka menampakan Dara yang tengah mengenakan baju t-shirt dengan celana jeans berwarna biru tua.

Langit tersenyum. Cowok itu menyodorkan satu mawar merah pada Dara. "Buat Dara, katanya dari Langit. Gue tadi ketitipan, kalau gak disampein, takut dikira gak amanah."

"Sok romantis banget ya dia. Biasanya juga enggak." Dara menerimanya.

Langit merentangkan tangannya. Dara langsung memeluk cowok itu. Langit tersenyum lebar, tangannya mengelus rambut Dara dengan lembut. "Malam ini, sama besok, waktu gue cuman buat lo," bisik Langit.

Dara mendongak. "Emang gak ada jadwal apa … gitu?"

"Enggak. Besok gue kosong, besok lusa ada jadwal sore doang. Terus… selasa gue berangkat ke Bandung, deh. Makannya gue mau habisin waktu gue sama Pacar gue." Langit mencubit pipi Dara gemas.

Dara melepas pelukannya. Gadis itu mengangguk. Tangannya terulur meraih tangan Langit mengajaknya masuk. "Ke dalem dulu. Ada Reza. Mama Ayu lagi ke Semarang sama Papa tadi pagi. Ada urusan katanya."

"Jadi sekarang, gue izin sama Reza nih mau bawa anak gadis keluar?"

"Iyalah. Yakali gak izin dulu."

Keduanya sampai di ruang tengah. Reza masih bertahan di posisinya. Yakni menonton tv.

Jika tadi ia memakan keripik, kini sudah berganti menjadi kerupuk pedas.

"Bang, sombong banget." Langit duduk di sofa. Sedangkan Dara, memilih ke belakang untuk membuat minuman.

"Lo kali yang sombong. Sekalinya nemu, berita Langit Anara di internet. Gila kali, ya, kalau beneran cinlok, gue mutilasi lo!" Reza menatap tajam ke arah Langit.

Langit tertawa, "Enggaklah. Yakali."

"Perasaan orang mana ada yang tau sih, Lang."

Langit menghela napasnya. Mengapa semua orang terdekatnya beranggapan Langit akan meninggalkan Dara dan memilih Anara?

Langit memilih tersenyum tak membalas ucapan Reza.

Tak lama, Dara kembali. Gadis itu membawa segelas es teh manis untuk Langit. Kemudian, ia duduk di samping Langit. "Di minum."

"Makasih." Langit mengacak puncak kepala Dara dengan lembut. Setelahnya, ia meraih gelas itu dan meminumnya.

Dara meraih jaket levisnya. Kemudian, ia pakai. "Kita mau jalan ke mana, nih?" tanya Dara.

"Ke hati gue bisa banget, nih."

Dara berdecak pelan. Sedangkan Langit langsung tertawa dan mencubit kedua pipi Dara. "Bercanda … gak usah main ke hati. Lo mah udah netep di hati gue, kok."

"Percaya deh sama Bapak Langit yang terhormat." Dara beranjak. Gadis itu melirik ke arah Reza.

"Za, gue sama Langit pergi, ya."

"Pergi aja, sana. Tega banget ninggalin gue di rumah sendirian." Reza mendengkus kesal.

Dara berdecak pelan. "Apaan, sih? Lebay banget. Ayo, Lang. Udah kan minumnya? Jangan kebanyakan, nanti perut lo isinya air doang."

Dara memilih berjalan meninggalkan Reza dan juga Langit.

Saat Langit beranjak dan akan pergi, Reza ikut beranjak dan menahan Langit. Ia berdiri di depan cowok itu.

Tangannya terulur membersihkan kedua pundak Langit seolah berdebu. Kemudian, ia merapikan jaket yang Langit kenakan. "Jangan pernah sakitin Dara. Karena kalau itu terjadi, lo bukan cuman berurusan sama gue. Tapi ini." Reza memperlihatkan tangannya yang terkepal pada Langit.

Langit tersenyum dan menepuk bahu Reza. "Lo tahu sebucin apa gue sama Dara, Bang." Langit tertawa pelan, "Gue gak akan sakitin Dara."

"Gue pegang omongan lo."

"Yaudah sana berangkat." Reza melirik ke arah pintu keluar. Langit mengangguk dan memilih pamit pergi.

Entah kenapa, Reza hanya takut Dara disakiti oleh Langit. Kalaupun bukan Langit, Reza takut Dara merasa sakit oleh pekerjaan Langit sekarang. Apalagi, berita soal Langit dan Anara sudah semakin banyak saja.

Dari mulai gosip cinlok, kemesraan mereka, dan lain-lainnya.

Semoga saja Langit dan Dara saling terbuka dan saling mengerti satu sama lainnya.

TBC

Double up 2000+ kata nih^^ kalau masih pendek, berarti kalian terlalu menikmati bacanya, asek T.T

Gimana kesan setelah baca part ini?

Ada yang ingin disampaikan untuk Langit

Dara

Anara

Reza

Pandu

Kalau Langit Dara terbit jadi buku fisik, kalian minat buat beli enggak?

Spam next di sini yuuukk

500+ komentar, next besok, bisa?

See you!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro