Part 35

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Sudah hampir dua jam Langit dan juga Dara bersama. Mulai dari berjalan tak tentu arah menggunakan mobil milik Langit, mampir ke masjid untuk melaksanakan shalat maghrib, kembali mengitari jalanan tanpa tujuan, dan kemudian mereka makan di warung bakso pinggir jalan.

Langit bisa melihat jelas raut bahagia Dara. Gadis itu sedaritadi terus menerus bercerita perihal hari-harinya pada Langit.

Di warung ini, Langit menompang dagu menatap Dara yang masih asik bercerita.

"Terus, Lang, tadi pas di tempat sablon pas setor design. Si Pandu tiba-tiba teriak waktu ada tikus lewat. Yang paling parah, si Pandu lompat, tikusnya juga ikut lompat. Gue yakin sih kalau ada lo, Danu, sama Tora, si Pandu bakalan kalian ketawain abis-abisan."

Langit tertawa pelan. Satu Tangannya di atas meja masih asik mengusap lembut punggung tangan Dara. "Jadi tikus takut sama dia, dia takut sama tikus?" tanya Langit.

"Iya! Sumpah sih pas …."

"Kak Langit?"

Langit dan Dara menoleh. Keduanya mengerutkan alis kala melihat tiga orang gadis yang tidak mereka kenal menegur Langit.

"Eh, iya bener! Ini Kak Langit. Lagi sibuk gak, kak? Boleh minta foto?" tanya salah satunya terlihat excited.

Langit melirik Dara. Dara tersenyum dan mengangguk. Akhirnya, Langit mengangguk dan melepas genggaman tangannya pada Dara.

Satu persatu mulai berfoto bersama Langit.

"Wah, makasih ya, Kak. Kakak baik banget! Cinta dan Rahasia kapan tayang Kak?"

"Tunggu aja, ya." Langit tersenyum menanggapinya.

"Ini siapa, Kak? Adik Kakak? Terus, Kak Anaranya mana?" tanya salah satu di antaranya melirik ke arah Dara.

Dara tak menanggapi apa-apa. Ia memilih diam memasang wajah tenang seperti biasanya. Seolah, pertanyaan mereka tidak berpengaruh apa-apa baginya.

"Anara di rumahnya mungkin. Aku bukan Ibunya soalnya, jadi gak tau." Langit menghindari menjawab pertanyaan siapa Dara.

Ketiga gadis itu tertawa. "Astaga, gemes banget sih, Kak. Titip salam ya sama Kak Anara. Semoga malam Kakak menyenangkan." Mereka tersenyum dan melambaikan tangannya pada Langit.

Langit ikut membalas lambaian tangan mereka.

Setelah mereka pergi, Langit menghela napasnya. Padahal, malam ini ia hanya ingin berdua dengan Dara tanpa ada yang menganggu.

Maksudnya, bukan berarti Langit terganggu dengan mereka. Tapi, jujur, Langit sedikit terganggu dengan mereka yang membahas soal Anara di depan Dara seperti tadi.

Walaupun mereka tidak salah karena posisinya memang tidak tahu.

"Dara, maaf, ya." Langit kembali meraih tangan Dara dan mengelusnya pelan.

Dara mengangguk. "Gak papa. Gue ngerti kok." Dara membalas genggaman tangan Langit.

Tak lama, bakso pesanan mereka sampai. Dara dan Langit tersenyum. "Makasih," ucap mereka saat mangkuk Bakso sudah tersimpan di atas meja mereka.

"Iya, selamat menikmati. Baksonya bulet, jangan ditelen langsung, nanti jakun masnya ketuker sama bakso. Kan gak lucu kalau bakso jadi jakun, jakun jadi bakso," ujar penjual bakso itu.

Langit dan Dara tertawa. "Bisa aja si Mas," jawab Langit.

"Yaudah sok atuh di makan."

Langit dan Dara mengangguk. Setelah si penjual bakso itu pergi, Dara mulai memasukan bumbu seperti saus, kecap, dan sambal. Sedangkan Langit memilih dibening saja.

Kalau ia pakai bumbu, takutnya malah penyakitnya kambuh secara mendadak. Kan tidak lucu kalau waktunya bersama Dara kacau hanya gara-gara kecerobohannya.

"Gak pake ini?" tanya Dara seraya mengangkat kecap di tangannya.

"Enggak. Lo kan tau. Eh, lo bilang Papa gue udah kasih tau, kan?"

Dara mengangguk. "Oh iya, lupa." Dara tertawa pelan.

Akhirnya, mereka memilih memakan bakso mereka. Langit meraih ponselnya di saku celana. Kemudian, ia memilih mengabadikan momen Dara diam-diam tanpa sepengetahuan gadis itu.

Setelah selesai, ia memilih menyimpan ponselnya lagi.

"Enak banget ya baksonya. Nanti kalau lo udah beres urusannya dan ada waktu libur, gue minta ke sini lagi, lo mau ya?" tanya Dara.

Ini pertama kalinya Dara meminta pada Langit. Biasanya, Langit yang mepet-mepet dan mengajak Dara ke sana dan kemari.

Langit melebarkan senyumnya. Ia mengangguk. "Oke. Nanti kita ke sini lagi. Kayaknya, ini bakal jadi tempat favorit gue sama lo? Eh, lebay gak sih? Biarin deh, gak perduli, pokoknya fiks kalau kita ketemu dan jalan bareng lagi, kita sempetin ke sini. Kalau bisa sih jangan sempet, wajib."

Dara mengangguk. "Lebay." Dara tertawa lepas.

Lagi dan lagi, Langit tak bisa menahan senyumnya. Ia senang melihat Dara bisa tertawa lepas secara langsung seperti sekarang.

Semoga saja, kesalahan Langit kemarin bisa ia jadikan pelajaran. Dan tidak lagi membawa-bawa soal perasaan.

Lagipula, senyaman apapun dia pada Anara, nyatanya hanya Dara yang bisa membuatnya jatuh cinta.

***

Berlanjut ke taman kota. Langit dan Dara berjalan dengan tangan yang saling bertaut. Keduanya hanya mengelilingi taman yang lumayan ramai ini.

Wajar saja, malam ini malam minggu. Banyak pasangan atau bahkan mereka yang berjalan dengan teman-teman mereka sendiri.

"Dingin, gak?" tanya Langit seraya menatap ke arah Dara yang berada di sampingnya.

Dara menggeleng. Langit beralih merangkul Gadis itu dan kembali berjalan.

"Anget, kan? Iyalah, masa iya dirangkul sama orang ganteng enggak anget."

"Narsis banget lo." Dara tertawa dan mencubit perut Langit.

Langit tertawa. Tangannya mengusap-usap puncak kepala Dara dengan sayang. "Apa sih? Iri ya pacarnya gak ganteng kayak gue?"

"Gak papa sih pacar gue gak ganteng. Orang gue Sayang kok sama dia."

Langit tersenyum lebar. Tangannya langsung mencubit kedua pipi Dara dengan gemas. "Anak siapa sih lo? Pulang ke rumah gue aja, yuk! Mau gue kurung aja rasanya."

"Lang! Gila lo! Panas nih pipi gue," ucap Dara tak jelas karena tangan Langit masih setia berada di pipinya.

Cubitan Langit berubah menjadi usapan. Ia melirik ke sekitar taman. Dara ikut memperhatikan sekitar.

"Kenapa, sih?" tanya Dara heran.

Cup!

Langit mengecup pipi Dara sekilas. Kemudian, ia tersenyum dan berbisik, "Gue juga sayang sama lo."

Dara membelakkan matanya. Gadis itu sontak saja menatap ke sana kemari memastikan bahwa orang-orang tak memperhatikan mereka.

Dara memukul lengan Langit. "Gila lo! Tempat umum, anjir!"

"Kalau bukan tempat umum, emang boleh?"

"Gue gampar lo, Lang!" Dara menunjukan tangannya yang terkepal tepat di wajah Langit.

Langit tertawa. Tangannya langsung menurunkan tangan Dara dan membuka kepalan tangan itu. Kemudian, jari jemarinya saling bertaut dengan jari jemari milik Dara. "Gak cocok buat gampar gue. Cocoknya buat jadi pengisi jari gue yang kosong kayak gini," kata Langit.

"Bisa aja, lo." Dara terkekeh pelan.

Ini yang membedakan Dara dengan gadis-gadis lain. Dirayu seperti apapun, gadis itu tak akan baper.

Bahkan, Langit tak pernah melihat pipi Dara memerah saat ia rayu. Namun, Langit tahu Dara, jika dia sudah Sayang pada satu orang seberengsek apapun orang itu Dara akan tetap mempertahankan sebisanya.

Kalau sudah berkali-kali diberi kesempatan, dan orang yang ia pertahankan tidak juga sadar, Dara akan meninggalkannya. Sama seperti Cakra waktu itu.

"I Love you, Dar." Langit berbisik seraya mencium punggung tangan gadis itu.

"I Love you to, jangan?" tanya Dara.

"Haruslah!"

"Yaudah," jawab Dara seraya mengangguk.

Langit mengerutkan alisnya, "Apanya yang yaudah?"

"I Love you to, Langit."

Langit tercengir lebar. Dara menggampar pelan pipi cowok itu. "Apaan, sih? Kayak kuda."

"Emang mau punya pacar mirip kuda?"

"Gue—"

"Langit? Hai!"

Langit dan Dara menghentikan langkah mereka. Jika Langit langsung tersenyum, Dara justru malah diam melihat seorang gadis yang berjalan bersama seorang gadis lainnya.

Dara tahu itu Anara. Gadis itu terlihat sangat cantik walau hanya mengenakan baju biasa.

Wajahnya bersih karena pasti dirawat, bahkan, Dara yakin dirinya dan Anara berbeda jauh sekali.

"Lagi ngapain di sini?" tanya Anara.

"Ngemis."  Anara dan Langit tertawa bersamaan.

"Lo sama siapa ke sini? Sama Sundari doang?" tanya Langit.

Anara mengangguk. "Iya, pengen cari suasana baru aja. Udah lama banget gue gak jalan-jalan gini."

"Baru berani keluar kandang, lo?" tanya Langit meledek.

Anara memukul lengan Langit kesal. "Gak usah ngeledek, deh."

Tatapan Anara beralih pada Dara. Kemudian, matanya turun pada tangan Langit yang menggenggam erat tangan Dara. "Ini … Dara? Pacar lo?" tanya Anara.

"Oh, iya. Ini cewek gue." Langit beralih merangkul Dara.

Anara tersenyum lebar. Ia langsung mengulurkan tangannya. "Gue Anara! Cantik banget, gila. Gue kira si Langit cuman halusinasi doang bilang punya pacar cantik. Ternyata beneran cantik, ya."

"Dara," jawab Dara membalas uluran tangan Anara.

Jika Anara terlihat antusias ketika bertemu dengan Dara, berbeda dengan Sundari yang terlihat tidak suka.

"Oh iya, Dar, kali-kali ikut ke lokasi shooting, dong. Biar bisa semangatin Langit tuh." Anara melirik ke arah Langit.

Langit tertawa pelan. Sedangkan Dara, gadis itu terlihat tidak nyaman.

Dia akui Anara baik, namun entah kenapa Dara tidak suka melihat Langit yang begitu akrabnya dengan Anara.

Dara hanya tersenyum menanggapi.

"Kak Anara! Kak Langit! Eh, iya, beneran! Samperin, yuk!" Beberapa orang gadis menghampiri mereka.

Rangkulan Langit pada Dara perlahan terlepas. Dara tersenyum tipis, ia akhirnya memilih memasukan tangannya pada saku jaket.

"Cie … malam mingguan bareng. Kak boleh minta fotonya, gak?" tanya mereka.

"Oh, boleh-boleh." Anara tersenyum ramah.

Mereka antri satu persatu untuk berfoto bersama Anara ataupun Langit.

Tidak memakan waktu lama. Setelah selesai, mereka tersenyum ke arah Anara dan juga Langit. "Langgeng terus ya, Kak! Makasih fotonya, dah!" pamit mereka.

"E-eh, iya." Anara melirik ke arah Dara merasa tak enak hati.

Setelah mereka pergi, Langit merasa suasana mulai tak enak. Cowok itu akhirnya memilih merangkul Dara kembali. "Gue sama Dara duluan, ya."

"Iya. Dar, seneng ketemu sama lo, semoga kita bisa ketemu lagi, ya! Eh, gue mau foto bareng, dong!" Anara memberikan ponselnya pada Sundari. Kemudian, ia mendorong Langit. "Awas!"

Setelah berada di samping Dara, Anara langsung memeluk Dara dan tersenyum ke arah kamera.

Dara ikut tersenyum dan memilih membalas pelukan Anara.

"Mana lihat!" Anara mengambil ponselnya. "Bagus banget! Nama IG lo apa, Dar?" tanya Anara.

Dara menyebutnya.

Setelah itu, Langit menoyor kening Anara pelan. "Yeu! Anak kecil centil, dasar. Udah ah, gue sama Dara mau balik. Bye!"

Langit langsung menarik Dara.

"Dah, Dara!" Anara melambaikan tangannya dengan ceria.

"Itu pacarnya Langit, Nar? Enggak cocok, ya? Padahal cocokan sama kamu."

Anara langsung menatap Sundari tak suka. "Cocok enggak cocok itu masalah hati. Jangan asal nilai orang kayak gitu, deh. Gue gak suka."

***

Langit dan Dara berhenti tepat di rumah Dara. Mereka masih di dalam mobil, sedangkan tangan Langit masih menggenggam tangan Dara. "Makasih ya malam ini. Maaf juga kalau lo merasa terganggu sama beberapa orang yang minta foto sampe bahas Anara."

"Ini kan kerjaan lo sekarang, Lang. Di saat gue dukung lo buat maju, itu artinya gue udah siap sama semua resiko yang ada." Dara tertawa pelan.

Sudut bibir Langit menekuk ke bawah. "Terharu banget. Kenapa bisa sih gue punya cewek sesabar lo, Dar?"

"Berlebihan lo. Udah ah, gue mau turun, kasihan Reza di rumah sendirian."

Langit menahan tangan Dara. Cowok itu merentangkan tangannya. "Peluk, dulu."

Dara tertawa, gadis itu langsung masuk ke dalam pelukan Langit. Tangannya melingkar pada punggung cowok itu.

Langit mengusap lembut kepala bagian belakang milik Dara. Bibirnya mengecup puncak kepala gadis itu berkali-kali. "Gak tau mau sebanyak apa gue bilang, kalau gue cintaaaaa banget sama lo."

"Apapun yang lo lihat di berita televisi, internet, atau apapun soal gue sama Anara, jangan percaya. Karena perasaan gue sama lo gak akan pernah berubah, Dar. Maaf udah bikin lo kecewa." Langit melepas pelukannya dan menangkup pipi Dara.

Jempol tangannya mengusap pipi gadis itu dengan lembut. Perlahan, bibirnya mencium lembut kening Dara, kemudian turun pada kedua pipinya.

Saat akan menuju ke bibir, telapak tangan Dara dengan sigap menahannya sehingga Langit malah mencium tangan Dara.

Dara mendorong wajah Langit ke belakang. "Enak aja."

"Dikit lagi, Dar, ah!" Langit mendengkus sebal.

Dara tertawa. Gadis itu mencium pipi Langit sekilas. Setelahnya, ia cepat-cepat turun dari dalam mobil. "Dah!" Dara melambaikan tangannya.

Setelah gadis itu masuk ke dalam rumahnya, Langit tersadar. Tangannya langsung menyentuh pipinya sendiri. Ia tersenyum lebar. "Sial, aturan yang baper si Dara. Kenapa malah gue?"

Di dalam rumahnya, Dara tertawa. Ia merasa bahagia hari ini.

Ternyata benar, ketika mereka jarang bertemu dan ketika bertemu menghabiskan waktu bersama rasanya akan sangat berharga.

Berbeda ketika mereka bertemu setiap hari.

Dara memilih duduk di sofa ruang tamu. Rumah terasa sepi, entah kemana perginya Reza.

Dara memilih meraih ponselnya dan membuka aplikasi instagram.

Betapa terkejutnya Dara ketika melihat feed instagram milik Langit menunggah fotonya ketika di tempat bakso tadi.

Pertanyaannya, kapan Langit mengambil gambar itu? Dia tidak menandai akun Dara. Dan hanya ada keterangan emoticon burung merpati dan love berwarna merah.

Di sana Dara menunduk. Banyak yang menyangka bahwa itu adalah Anara. Ada juga yang menyangka itu adalah Dara dengan sebutan cewek tadi yang sama Langit. tapi mereka tidak tahu siapa nama Dara.

Mungkin, mereka yang berkata begitu yang tak sengaja melihat Langit dan Dara.

Dara tersenyum. "Makasih, Lang."

Bukan hanya Langit. Tetapi, Anara juga membuat insta story dengan Dara. Dia menandai akun Dara dengan caption "Di balik lelaki yang sukses, ada wanita hebat di belakangnya."

Dara tersenyum tipis.

Tring!

Langit : Bagus ya, bikin anak orang baper langsung kabur. Sana tidur, gue datengin lo dalem mimpi!

TBC

2000+ kata nih

Spesial part 300k readers! Yeay!

Hallo! Gimana? Seneng gak hubungan Langit sama Dara membaik?

Anara baik kannn?

Kesan setelah baca part ini?

Ada yang ingin disampaikan untuk Dara

Langit

Anara

Sundari

Spam Next di sini yuk!

See you!

500+ komentar kita next besok yuk!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro