Part 37

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Maaf gue malah hapus foto lo di IG. Gue bener-bener emosi tadi gara-gara Bang Aldo."

"Foto doang, Lang. Apaan, sih? Lebay banget." Dara tertawa pelan.

Saat ini, keduanya tengah duduk di teras rumah Dara. Kepala Langit bersandar pada bahu gadis itu. "Gue kira, masuk dunia kayak gini itu gampang. Ternyata harus kuat mental." Langit tersenyum tipis.

"Lo masuk lingkungan apapun harus kuat mental, Lang. Sebaik apapun lingkungan, pasti bakal ada satu hama yang gak suka sama kita. Tugas kita ya harus siap siaga, lah."

Langit mengangguk lesu. Dara mengusap pelan pipi cowok itu. "Lo cuman belum terbiasa aja, Lang. Coba lo nimatin, jalaninnya harus ikhlas, lama-lama juga lo pasti terbiasa kok."

"Dar, bukan masalah itu. Gue gak nyaman kalau hidup gue diatur kayak gitu. Lagian, bukannya orang nonton film lihat alurnya? Kenapa ini malah harus repot pake acara gue sama Anara settingan, sih?" Langit mendengkus kesal.

Dara tertawa. Ia berdehem pelan. "Gini, Lang. Orang yang nonton film itu beda-beda. Ada yang karena alurnya, ada yang lihat cover doang langsung tancap gas, ada juga yang lihat dari sedeket apa sih si peran utamanya."

"Intinya ini kerjaan lo sekarang, suka enggak suka lo harus tetep jalanin. Kenapa coba?" tanya Dara.

Langit menegakkan tubuhnya. Wajahnya masih nampak tak bersemangat. "Gue udah terikat kontrak."

"Selain itu, emang lo gak sayang sama usaha lo yang udah berbulan-bulan? Langit, udah jadi aktor. Filmnya lagi proses shooting, gak lama lagi selesai, terus rilis. Bangga banget gak sih?" tanya Dara dengan mata berbinar.

Bukannya merasa senang karena Dara memberinya semangat, Langit malah merasa sedih, kecewa, marah pada dirinya sendiri yang tak bisa menjaga perasaan Dara.

Gadis itu … selalu mendorong Langit agar terus melangkah.

"D-Dar—"

"Langit Candra Alvarizki, si cowok cadel yang dulu nolong gue dari begal, bentar lagi wajahnya dikenal sama banyak orang. Langit Candra Alvarizki, cowok yang dulu main basket langsung pingsan, bakal jadi orang hebat dan buat semua orang bangga sama—"

Grap

Dara terkejut ketika Langit langsung memeluknya. Cowok itu menjatuhkan wajahnya pada bahu Dara. Melingkarkan tangannya begitu erat pada punggung gadis itu.

Gadisnya. Gadis paling kuat, Gadis yang selalu menghadapi masalah dengan tenang, gadis yang tak pernah mengizinkan Langit untuk mundur, Gadis yang membuat Langit merasa dirinya sehebat itu.

"G-gue sayang lo."

Dara tersenyum. Ia membalas pelukan Langit dan menyimpan dagunya pada bahu kekasihnya itu.

Tangannya mengusap pelan punggung Langit. "Lo harus jadi orang hebat, Langit. Buat Papa lo bangga," bisik Dara tanpa menghentikan usapan tangannya pada punggung Langit.

Langit tak menjawab dan memilih mengeratkan pelukannya.

Ia takut suatu hari nanti Dara lelah dan memilih pergi ketika dia tak lagi kuat menjalani hubungannya dengan Langit.

Jika Dara memilih pergi suatu hari nanti, apa bisa Langit menemukan gadis sekuat dan sesabar Dara?

"Kenapa lo masih mau bertahan sama gue? Padahal gue udah banyak bikin lo kecewa?"

"Dulu, ada orang yang narik gue biar gue bisa bangkit. Bahkan, dia gak pernah keberatan saat gue ngeluh soal masalah gue ke dia. Emangnya, salah ya kalau gue bertahan sama orang yang sebegitu berartinya buat gue?"

"Rasanya gak adil kalau gue ninggalin dia di saat dia butuh gue, Lang. Gue gak akan mungkin ninggalin lo, sedangkan lo orang yang udah buat gue bisa baikan sama Bokap gue."

Dara melepas pelukannya. Ia menatap Langit dengan senyum yang menghiasi bibirnya. "Apa yang gue lakuin ke lo sekarang, gak sebanding sama apa yang udah lo lakuin ke gue, Lang."

"Coba lo bayangin, kalau gue gak ketemu sama lo, siapa yang tahu sih gue udah baikan sama Bokap atau enggak? Dosa banget kan kalau gue musuhin orang tua seumur hidup?"

Jari Dara terulur mengusap lembut bibir Langit. "Senyum, Lang. Gue gak suka lihat lo jadi Langit yang lemah kayak gini. Langit yang gue kenal itu petikilan, gak bisa diem, terus kalau ngomong itu panjaaaaang banget."

Langit perlahan tersenyum. Walau tak dapat dipungkiri air matanya menetes. Ia menepisnya kasar dan mencoba untuk tersenyum lebar.

"Nah, gitu dong. Itu baru Langit. Apaan coba, masa cowok Narsis yang namanya Langit mewek!" ledek Dara.

Langit melengkungkan sudut bibirnya ke bawah. Ia kembali memeluk Dara dan menangis tersedu-sedu. "Gak bisa! Gue jadi cengeng banget, sial!" pekik Langit di bahu Dara.

Dara tertawa sangat keras kala mendengar pekikan yang keluar dari dalam mulut Langit.

Masa bodoh dengan image. Di depan Dara, mau jadi cowok petikilan, kayak orang gila, atau jadi cowok cengeng sekalipun, Langit tidak perduli.

Lagipula, Dara bukan orang lain. Dara kekasihnya, ya … kekasihnya.

***

Esok harinya, Dara berangkat ke sekolah bersama Reza. Katanya, dia malas membawa motor karena tidak enak badan.

Reza tidak keberatan. Lagipula, motor yang Reza kendarai setiap hari kan, milik Dara.

Dara turun, saat motor sudah terparkir sempurna. Semua mata tertuju padanya, terutama anak-anak kelas 10.

Dara yang melihat itu mengerutkan alisnya heran.

"Mereka kenapa, sih?" tanya Dara merasa risih diperhatikan seperti itu.

Reza melirik sekitar. "Ada apa?" tanya Reza pada mereka semua.

Mereka menggeleng, bahkan langsung mengalihkan pandangan pura-pura tidak melihat.

Dara berdecak pelan. Ia memilih berjalan ke arah kelasnya meninggalkan Reza yang masih berada di parkiran.

"Dara Rizqika Rahayu, bagus sih namanya. Tapi sayang, katanya sih perebut cowok orang. Iya gak, sih?"

Dara memutar bola matanya malas. Mereka pasti korban film belum tayang tapi keburu baper lihat Behind the scane doang.

"Dar, lo bukannya pacaran sama Cakra, ya? Kok tahu-tahu sama Langit, sih? Mana pas Langit udah terkenal lagi. Abangnya disikat, Adiknya digas," sindir Kakak kelas pada Dara.

"Iya ya, padahal kalau dilihat-lihat lebih keren Cakra gak sih daripada Adiknya? Eh, emang pada dasarnya panjat sosial, jadi ya gitu, tuh!"

Mereka semua menertawakan Dara. Dara masih memasang wajah tenang seperti biasanya.

"Kasihan ya, Cakra. Ceweknya enggak tahu diri. Padahal nih ya, mukanya gak cakep-cakep amat, tuh. Harusnya dia bersyukur dipacarin sama cowok ganteng kayak dia. Eh, enggak tahu diri!" sahut Kakak kelas lainnya.

"Tampang sok kalem, padahal mah munafik!"

Dara mengabaikan mereka dan memilih meneruskan jalannya. Untung saja hari ini ia tidak berselera untuk membalas mereka.

Lagipula, buang-buang waktu. Ya … namanya juga manusia. Menilai hanya melihat dari satu sisi tanpa tahu kebenarannya bagaimana.

Saat Dara melangkah masuk ke dalam kelasnya, rupanya sudah banyak Kakak kelas lainnya yang menunggu kehadiran Dara.

Dara berdecak pelan. Tahu begini, dia tidak akan berangkat sekolah.

"Oh, ini? Ternyata biasa aja, ya?" ucap salah satunya saat Dara menyimpan tasnya di meja.

Gadis itu memilih duduk. Sudah ramai orang, namun tak ada satupun yang berani menolong Dara.

"Gue denger-denger, lo putus dari Cakra, terus pacarin Adiknya?"

"Kenapa?" tanya Dara.

"Enggak, nanya aja, sih. Gila, ya, muka pas-pasan belagu banget embat Adek Abang," jawabnya sinis.

Dara terkekeh pelan. "Kasian ya, lo cantik tapi kerjaannya ngurusin hidup orang."

"Maksud lo?!"

"Tanya diri sendiri, lah. Dateng-dateng ngelabrak. Mana gak jelas banget lagi pembahasannya. Emangnya, kalau lo ngelabrak gue gini … bakal dapet penghargaan, ya?" tanya Dara sok kaget.

Gadis itu mengangguk anggukan kepalanya. "Atau … lo juga mau ikut pansos dari gue? Secara kan ya, sekarang gue lagi diomongin banyak orang. Nah, aksi lo ini, bisa banget nih lo vidio'in, gue jamin deh followers lo nambah." Dara tersenyum dan menepuk pundak Kakak kelasnya itu dengan berani.

Entah sudah tradisi di setiap sekolah atau bagaimana. Biasanya Kakak kelas selalu ikut campur ketika salah satu adik kelasnya memiliki masalah.

Datang ke kelas, melabrak, padahal dia tidak ada sangkut paut apapun dengan permasalahan itu.

Budaya begini yang seharusnya dihentikan. Mereka yang sok berkuasa ketika bersama antek-anteknya, belum tentu berani jika berhadapan satu lawan satu.

"Lo dilihatin temen-temen gue. Gak malu?" tanya Dara seraya melirik teman-teman sekelasnya.

Kakak kelas itu terlihat kesal kemudian pergi meninggalkan kelas Dara.

Dara menghela napasnya pelan. Ia bersyukur dirinya bukanlah orang penakut. Ternyata, hidup tanpa orang tua sejak kecil tidak seburuk itu untuk melatih keberaniannya.

Jika keluarga baik-baik saja, belum tentu Dara akan tumbuh menjadi Gadis yang kuat.

Mungkin, ini yang dimaksud setiap masalah pasti ada hikmahnya. Dan Dara benar-benar merasakannya.

"Dar, Dar, Dar! Gila, gue lihat si koridor Kakak kelas lagi ngomongin lo semua. Lo gak papa? Gila ya itu orang, asal fitnah aja."

Pandu berteriak dari arah pintu kelas seraya berjalan ke arah Dara. Cowok itu langsung duduk di sampingnya. "Muka lo pucet banget, Dar. Lo gak papa? Kepikiran? Mau minum oskadon pancen oye?"

"Gue gak papa. Emang gak enak badan aja. Bentar lagi upacara, nih. Danu, Tora, sama Melly mana?"

Pandu berdehem pelan. "A-anu, si Danu lagi bantai orang ditemenin si Tora juga. Kalau Melly, kata si Danu sih izin gak masuk, ada urusan keluarga."

"Bantai orang?"

Pandu berdecak pelan. Ia beranjak, mengambil tas Dara, kemudian membawa topi sekolah.

Setelah itu, ia memakaikan topi itu pada Dara. Tangannya terulur menarik pergelangan tangan Dara keluar kelas.

"Du, apaan, sih?"

"Enggak sih-sih." Pandu masih menarik pergelangan tangan Dara hingga akhirnya, mereka sampai di koridor kelas 12.

Di sana, anak-anak perempuan kelas 12 yang tadi menyindir Dara, digabung dengan yang melabrak Dara tengah duduk ketakutan di kursi koridor.

Di depan mereka ada Danu dan juga Tora.

"Lo pada denger gue! Gue gak takut sama siapapun, kecuali orang tua sama Tuhan. Mau lo cowok, ataupun cewek, kalau lo pada usik Temen gue sampe nyebar fitnah terus ngeroyok rame-rame. Urusan kalian sama gue!" Suara Danu terdengar begitu lantang.

Gadis-Gadis itu terlihat ketakutan. Iya, Dara paham kalau dibentak tiba-tiba begitu siapa sih yang tidak gemetar?

"Kalau sekali lagi gue lihat kalian ngelanbrak Dara dengan alasan alay lo itu, jangan harap kalian gue lepasin!" Tora menunjuk mereka dengan marah.

"Kalau gue denger kalian masih ngomongin yang enggak-enggak soal Dara, kalian bukan cuman berurusan sama gue. Sama Abangnya Dara juga, sama Pandu, sama Cakra." Danu menekan nama Cakra.

Jika Cakra mendengar ini, Danu yakin dia juga akan marah karena apa yang mereka bicarakan tentang Dara, Langit, dan juga Cakra sama sekali tidak benar.

Dara tersenyum tipis. Pandu, Danu, dan Tora benar-benar melindungi Dara.

Setelah itu, Tora dan Danu memilih melangkah meninggalkan koridor menuju lapangan bersama Dara dan juga Pandu.

Tangan Danu terulur merangkul bahu Dara. "Kalau Nyokap gue lihat gue ngamuk kayak tadi, gue yakin gue langsung kena lemparan panci. Soalnya omongan gue tadi sok iyey banget. Padahal cuman geretak, mana berani gue kasar sama cewek," ucap Danu pelan.

Danu, Pandu, Tora, dan Dara tertawa bersamaan.

"Makasih, ya. Tapi keren." Dara mengacungkan jempolnya.

"Iya lah, best friend kan harus saling lindungin. Modal nyali aja dulu, urusan selamat atau enggaknya urusan belakangan." Tora tertawa.

Ada hal yang lebih membahagiakan daripada Cinta. Menurut Dara, berdekatan dengan sekumpulan orang-orang konyol yang memiliki hati yang begitu tulus adalah hal yang amat sangat membuatnya bahagia.

Mereka bertingkah layaknya orang gila, namun ketika salah satu dari mereka terusik, mereka tak akan rela.

Danu, Tora, dan juga Pandu. Dara harap, ia akan terus bersama mereka sampai waktu yang selama-lamanya.

TBC

Aku nangis pas ngetik scane Langit sama Dara, bye!

Kesan setelah baca part ini?

Harapan untuk persahabatan Dara, Pandu, Danu, Tora?

Ada yang ingin disampaikan untuk Langit

Dara

Pandu

Danu

Tora

Spam next di sini, yuk!

600 komentar kita next besok!

Gila sih double up hari ini T.T

Semoga suka!

See you!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro